Bagi generasi 90-an, Pinokio adalah salah satu ikon yang sukses untuk mendeskripsikan kebohongan pada anak-anak. Lewat Pinokio, para orang tua berhasil menjelaskan bahwa perbuatan berbohong atau dusta itu tidak disukai dan sebisa mungkin dihindari. Sampai dewasa pun pada akhirnya kita mengikuti pandangan masa kecil, sehingga menjadi norma yang terbenam dalam hati kita untuk tidak berbohong. Kita akan merasa jengkel apabila kita telah dibohongi ataupun kita akan merasa sedikit resah karena telah berbohong.
Banyak kasus dan kisah yang menceritakan buah pahit dari kebohongan. Tapi apakah sekali-kali kita pernah berpikir hakikat kebohongan itu sendiri? Dan bagaimana manusia bisa berbohong? Apakah bisa kita terlepas dari kebohongan?
Hakikat Dusta
Mengenai hakikat kebohongan atau dusta, penulis ingin mengajak pembaca kepada suatu ilustrasi tentang seseorang yang buta warna. Seseorang yang normal dan buta warna diminta untuk melihat warna suatu bunga, kemudian masing-masing memberitahukan apa yang mereka lihat pada seseorang yang sama.
Seseorang yang normal mengatakan bahwa ia melihat bunga berwarna merah, sedangkan orang yang buta warna mengatakan bahwa ia melihat bunga itu berwarna ungu. Keduanya terlibat perdebatan yang sengit tentang warna bunga yang mereka lihat. Keduanya sama kolotnya karena mereka yakin tentang apa yang mereka lihat itu nyata.
Pertanyaannya, siapa yang berdusta di antara mereka? Jika dusta diartikan salah, maka apakah yang normal telah jujur karena ia menunjukkan warna yang sebenarnya? Lalu, apakah yang buta warna berdusta karena ia melihat warna ungu itu sama nyatanya dengan orang yang normal melihat warna hijau?
Di mana Kebenaran?
Ilustrasi di atas membawa kita pada pertanyaan selanjutnya, yaitu di manakah letak kebenaran? Apakah ada pada warna bunga itu? Atau pada orang yang memandangnya? Atau dengan kata lain, apakah kebenaran itu terletak pada fenomena? Ataukah pada manusia? Bagaimana jika fenomena tersebut terkait dengan manusia? Contoh sederhana yang dapat kita lihat ialah kehidupan keluarga yang secara ekonomi kurang. Dilihat dari kondisinya, seharusnya keluarga tersebut tidak merasa bahagia, akan tetapi keluarga tersebut merasakan kebahagiaan karena selalu bersyukur.
Jadi kebenarannya, apakah keluarga tersebut bahagia atau tidak? Kalau kebenarannya terdapat pada kondisi keluarga, maka keluarga tersebut secara ekonomi kekurangan dan tidak bahagia. Akan tetapi, jika kebenaran ada pada diri keluarga yang merasakan, maka kebenarannya adalah keluarga tersebut bahagia karena mereka selalu bersyukur.
Kebenaran Menurut Para Filsuf
Mengenai letak kebenaran, penulis teringat pada filsuf Richard Rorty, ia menyatakan bahwa “Kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, karena kalimat-kalimat itu bergantung pada kata-kata, dan kata-kata adalah milik manusia, maka begitupun kebenaran adalah milik manusia”. Sampai di sini, kita dapat simpulkan bahwa kebenaran terletak pada manusia lewat bahasa. Bahasa sendiri sangat terkait dengan pikiran. Ia adalah produk dari persepsi atau pikiran manusia itu sendiri.
Permasalahannya yaitu bahasa dalam dirinya mengandung ambiguitas. Di satu sisi, bahasa mereduksi pikiran untuk kepentingan pemahaman, di sisi lain ia bisa bersifat hiperbolik, melebih-lebihkan dan melampaui pikiran itu sendiri. Dunia bahasa tidak pernah sedemikian literal dan apa adanya, alias dusta.
Namun, Michel Foucault, dalam teorinya Rezim of Truth berpendapat bahwa kebenaran terbentuk dalam suatu sistem atau rezim. Rezim ini semacam dasar yang menjadikan kebenaran berfungsi, lengkap dengan aturan-aturan yang membuat seseorang mampu membedakan antara benar dan salah. Dalam hal ini, kita dapat melihat bagaimana kebenaran dan kesalahan di setiap tempat sangat berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan kepentingan yang berbeda-beda di setiap tempat rezim kebenaran tersebut.
Martin Heidegger, dalam pandangan faktisitasnya, ia menyatakan bahwa manusia senantiasa tidak mampu mengatasi keterlemparannya pada dunianya. Manusia tidak bisa memilih untuk menjadi perempuan atau laki-laki, berkulit hitam atau putih, terlahir di Indonesia atau di Australia, atau lainnya. Manusia sejak berada di dunia selalu terhubung dan tidak pernah sama sekali terpisah dari dunianya. Dalam hal ini, manusia tidak mampu melawan keberadaannya pada suatu sistem atau rezim kebenaran yang ada dan tidak terlepas dari dirinya.
Jujur dan Dusta: Dua Sisi Mata Uang
Dalam keilmuan neurosains, mungkin kita pernah mendengar alat pendeteksi kebohongan. Sederhananya, alat ini mendeteksi kebohongan lewat aktivitas otak yang direkam melalui alat khusus. Namun, apakah alat lie detector ini cukup valid? Dalam beberapa percobaan neurosaintifik, ditemukan bahwa orang yang berbohong bahkan mampu lebih tenang dari pada orang yang jujur.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa orang yang berbohong memiliki tujuan yang sama dengan orang yang jujur, yaitu sama-sama berusaha meyakinkan seseorang bahwa ia berkata jujur. Oleh karena itu, aktivitas otak untuk berbohong sama dengan aktivitas otak untuk berkata jujur. Sangat sulit untuk membedakan antara orang yang jujur dengan orang yang berbohong.
Bukti-bukti neurosains sendiri menunjukkan bahwa orang yang tidak pernah berbohong, hanya ditemukan pada orang yang mengalami gangguan parkinson di mana otak yang berperan dalam berdusta terganggu. Otak orang yang normal adalah otak yang mampu berkata dusta. Hal ini membawa pada paradoks tentang dusta itu sendiri. Dusta secara moral adalah penyakit, akan tetapi jika seseorang tidak bisa berdusta maka itu adalah penyakit secara neurosains. Manusia selama mampu berkata jujur, maka ia selalu berpotensi juga untuk berkata dusta.
Kebenaran Hakiki
Manusia dengan segala potensi dustanya, serta didukung dengan keterlemparannya pada dunia yang telah dilingkupi sistem kebenaran tertentu, seakan-akan membawa pada pernyataan bahwa nyaris tidak ada kebenaran yang absolut dalam diri manusia. Tujuan penulis di sini adalah menyadarkan para pembaca bahwa kita senantiasa lupa dengan adanya kebenaran yang hakiki. Tak lain adalah Islam. Islam adalah agama yang benar dan haqq. Islam tidak dibentuk dan diproduksi oleh manusia sebagaimana sistem kebenaran lainnya. Islam adalah sistem kebenaran yang dianugerahkan oleh Allah yang Maha Benar kepada umat manusia sebagai pembimbing dan petunjuk.
Akhir kata, kita telah melihat bagaimana peluang manusia untuk berkata jujur sama besarnya dengan peluangnya untuk berdusta. Manusia dengan mudah menjadi Homo Hoaxinensis karena kepentingan tertentu. Maka penulis mengajak para pembaca untuk senantiasa memfilter dan tidak mengunggulkan satu sistem kebenaran tertentu. Karena pada hakikatnya, manusia tidak akan lepas dari dusta. Kita harus senantiasa berhati-hati dalam berucap, dan marilah kita menjunjung tinggi kebenaran yang hakiki, yakni kebenaran Tuhan dalam Islam lewat firman-Nya dan kabar-kabar melalui Rasul-Nya.
Wallahu a’lam bishawab.
Editor: Lely N