Fatwa

Hukum Membaca Tarji’ Ketika Musibah

3 Mins read

Pertanyaan dari Saudara Shubhan, Solo (Surakarta), Jawa Tengah. Pertanyaan sebagai berikut: pada akhir-akhir ini banyak terjadi musibah, baik gempa bumi maupun banjir, yang melanda beberapa daerah di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu di pengajian dari seorang da’i, dijelaskan karena dosa para pemimpin, sehingga harus dihukum, atau dosa rakyat itu sendiri, mungkin karena perjudian, perzinaan, dan sebagainya. Yang kami tanyakan, apakah boleh kita ucapkan innaa lilllaahi wa innaa ilaihi raaji’uun?

Jawaban dari Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai berikut:

Pertanyaan saudara sangat baik dan sangat sesuai dengan keadaan di Indonesia akhir-akhir ini. Musibah-musibah tersebut memang merupakan suatu ujian dari Allah SWT. Sebenarnya, ujian dari Allah tidaklah selalu berupa kesengsaraan, melainkan juga berupa kenikmatan. Seperti ujian kepada Nabi Sulaiman. Beliau diuji dengan kenikmatan yang luar biasa, baik harta maupun ilmu pengetahuan, sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah yang artinya: “… (Sulaiman) berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (karunia-Nya) …”. [QS. al-An’am (27): 40]

Setiap orang tidak dapat lepas dari cobaan atau ujian. Bahkan tanpa cobaan iman dan takwa seseorang tidak dapat meningkat. Bagaikan pelajar atau mahasiswa, apabila ingin naik tingkatan yang lebih tinggi, ia harus melalui ujian. Allah SWT dalam firman-Nya menegaskan bahwa cobaan atau ujian ditimpakan kepada manusia untuk mengetahui siapa yang paling baik iman dan amalnya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya yang artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. al-Mulk (67): 2]

Secara garis besar, cobaan itu ada dua macam:

  1. Cobaan yang serba nikmat, seperti kekayaan, kesehatan, pangkat dan sebagainya. Apabila orang yang diberi cobaan yang serba nikmat, dan dapat menggunakannya sesuai dengan hukum Allah, yaitu bersyukur kepada Allah. Misalnya orang yang diberi kekayaan, ia mau mengeluarkan zakatnya, orang yang diberi pangkat tidak menjadi sombong, orang yang diberi jabatan tidak menyalahgunakan jabatannya, orang yang diberi ilmu tidak menolak memberikan pelajaran, dan sebagainya. Maka ia telah lulus dari cobaan Allah. Apabila sebaliknya, maka ia tidak lulus dari cobaan Allah. Telah menjadi tabiat manusia, apabila diberi cobaan kenikmatan ia amat senang dan tidak bersyukur, dan apabila diberi cobaan kesusahan ia menjadi sangat susah, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya yang artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.Sekali-kali tidaklah demikian, sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” [QS. al-Fajr (89): 15-20]
  2. Cobaan yang serba menyedihkan; seperti kemiskinan, kematian orang tua atau saudara, kecelakaan, kebanjiran, gempa bumi, kelongsoran, dan sebagainya. Apabila orang yang terkena musibah yang menyedihkan itu dapat bersabar, maka ia telah lulus dari cobaan atau ujian. Kita wajib bertawakkal dan rela terhadap cobaan atau ujian Allah SWT. Sebab sebenarnya cobaan itu salah satu tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Dalam suatu hadits disebutkan sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan; dan sesungguhnya Allah swt apabila mencintai suatu kaum, maka dia memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa rela terhadap cobaan itu, maka Allah meridlainya, barangsiapa marah (tidak rela) terhadap cobaan itu, maka Allah akan marah kepadanya.” [HR. at-Tirmudzi dan Ibnu Majah]
Baca Juga  Empat Mazhab Mengharamkan Musik, Benarkah?

Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa sebenarnya orang muslim yang mendapatkan musibah adalah orang yang dicintai Allah swt, maka apabila ia mendapatkan musibah, hendaknya membaca istirja’, yaitu membaca: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya”, dan juga membaca hamdalah, yaitu membaca, “Segala puji hanya bagi Allah seru sekalian alam.”

Karena musibah tersebut tidak lebih parah, dan harus meyakini bahwa musibah tersebut adalah untuk menghilangkan dosa-dosanya atau untuk meningkatkan derajatnya apabila bersabar, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. al-Baqarah (2): 155-157]

Perlu diketahui bahwa kemarahan tidaklah membawa faidah, melainkan akan menimbulkan kemarahan Allah. Adapun sabar terhadap musibah, akan memperoleh pahala, dan Allah akan mengganti yang lebih baik dari yang telah hilang, dan wajib meyakini bahwa di balik musibah ada hikmahnya. Pada ayat lain Allah berfirman: “… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 216]

Dalam suatu hadits diungkapkan sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Umi Salamah, bahwa ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Setiap muslim yang terkena musibah, lalu ia mengucapkan apa yang diperintahkan Allah: Kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya, Ya Allah, lepaskanlah aku dari musibahku, dan gantilah untukku yang lebih baik daripadanya, niscaya Allah menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya (yang telah hilang).” [HR. Muslim, an-Nawawiy: 6/474]

Baca Juga  Ragam Tafsir Ayat Musibah dalam Al-Qur’an

Dari penjelasan tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa mengumpat musibah yang ditimpakan Allah adalah haram. Sebab di balik musibah terkandung hikmah yang sangat besar. Demikian juga, setiap ada musibah diperbolehkan membaca: innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

Sumber: Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 7.  

Editor: Arif

Related posts
Fatwa

Meluruskan Bacaan Takbir Hari Raya: Bukan Walilla-Ilhamd tapi Walillahilhamd

1 Mins read
IBTimes.ID – Membaca takbir ketika hari raya merupakan salah satu sunnah atau anjuran yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Anjuran tersebut termaktub di…
Fatwa

Menggibahi Orang Lain di Group WhatsApp, Bolehkah?

2 Mins read
Di era banjirnya informasi yang tak dapat terbendungkan, segala aktivitas manusia nampaknya bisa dilacak dan diketahui dari berbagai media sosial yang ada….
Fatwa

Fatwa Muhammadiyah tentang Tarekat Shiddiqiyyah

4 Mins read
IBTimes.ID – Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, tarekat adalah jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds