Perspektif

Covid-19 dan Wacana Pembebasan Narapidana Korupsi

5 Mins read

Silih bergantinya kebijakan hukum negara di tengah situasi bencana nasional non-alam, Covid-19, tidak harus menghilangkan nalar berpikir kita yang sehat dalam menghadapi situasi ini. Fiat justitia pereat mundus, sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, (hukum) keadilan harus tetap ditegakkan. Asas hukum itu mengingatkan kita semua dalam situasi apapun meskipun dalam kegelapan. Kedaruratan prinsip negara hukum adalah keniscayaan konstitusi yang tidak bisa disampingkan (non dergable) melainkan harus selalu dijunjung tinggi dan ditegakkan.   

Wacana pembebasan narapidana korupsi berhembus seiring dengan alasan kemanusiaan dan upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Dukungan apresiasi sejumlah pihak, baik dari anggota DPR, anggota KPK, merupakan langkah mundur dari semangat pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai agenda reformasi. Wacana itu juga mengganggu kewarasan dan nalar sehat dalam berpikir secara hukum atau juris denken.

Berita kompas.com menyebutkan hingga rabu pukul 15.00 jumlah narapidana yang dikeluarkan sebanyak 13.430 orang. Yasona menyebutkan 15.482 narapidana kasus narkotika setingkat kurir masa hukuman 5-10 tahun. Ada 300 narapidana korupsi ada yang berusia 60 tahun telah menjalani dua pertiga tahanan. Ia menyebutkan para tahanan tersebut dapat dikeluarkan melalui program asimilasi di rumah sehingga tidak terjadi diskriminasi, sehingga perlu ada revisi PP No. 99/2012.

Pertimbangan sosiologis yang dibangun di balik dikeluarkannya Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 menjadikan alasan kondisi lapas LPPKA dan rutan yang memiliki tingkat hunian tinggi sangat rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19. Dan Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasiona, sehingga perlu dilakukan langkah cepat dan upaya penyelamatan terhadap Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan yang berada di Lapas, LPKA, dan Rutan. Kerentanan atas penyebaran dan penularan Covid-19 sebagai dasar sehingga perlu dilakukan pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dan integrasi (vide konsideran menimbang a,b, dan c).

Secara mutatis mutandis, dasar pemikiran tersebut terkesan dicopy paste dalam Peraturan Menteri No. 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberi Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Maka secara de facto, landasan pemikiran di balik kedua perbuatan tata usaha negara tersebut secara an sich hanya menggunakan dasar pemikiran sociological-medis. Baik dari sisi kondisi Rutan dengan hunian tinggi dan rentan terpapar Covid-19 dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam tanpa mempertimbangkan alasan yuridis untuk menjalankan suatu ketentuan hukum tertentu.

Baca Juga  Profesi Penulis, Terlihat Gagah Tapi Rentan Secara Ekonomi

Maka pertanyaan hukum yang muncul di balik fakta hukum tersebut adalah apakah suatu keputusan bisa dikeluarkan oleh seorang pejabat pemerintahan setingkat Menteri dengan bisa disandarkan atas alasan kekhawatiran resiko penyabaran penyakit tanpa didasari oleh suatu ketentuan hukum bisa dibenarkan secara hokum? Sebab, dalam tradisi suatu keputusan menteri selalu didasari atas pertimbangan melaksanakan suatu ketentuan yang bersifat delegatif dari suatu peraturan yang lebih tinggi.  

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka pijakan hukum yang tepat menganalisis isu hukum tersebut adalah UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Sebab, baik kedua UU tersebut merupakan instrumen hukum untuk menguji keabsahan suatu keputusan atau tindakan pejabat administrasi pemerintahan dan menegakkan tertib hukum perundang-undangan yang baik.

Berdasarkan Pasal 5 UU Administrasi Pemerintahan bahwa Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan: a. asas legalitas; b. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan c. AUPB. Selanjutnya dalam Pasal 7 disebutkan Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB.

Berdasarkan norma hukum dalam ketentuan kedua pasal tersebut bahwa suatu keputusan haruslah disandarkan pada prinsip atau asas legalitas, yakni suatu dasar hukum peraturan perundang-undangan. Tidak disebutkan dalam kondisi kedaduratan nasional atau bencana non-alam akibat wabah penyakit bisa menjadi alasan menyampingkan suatu peraturan perundang-undangan.  

Demikian halnya UU yang disebutkan terakhir dalam Pasal 8 ayat (2) UU PPP menyebutkan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (penulis: di dalamnya termasuk peraturan yang ditetapkan menteri) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepajang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Peraturan Menteri ini dikeluarkan tidak menyebutkan menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan apa, termasuk atas dasar kewenangan apa yang diberikan. 

Jika merujuk pada analisis ketententuan norma hukum di atas dan dikaitkan dengan landasan menimbang baik keputusan maupun peraturan Menteri aquo, maka perbuatan hukum tindakan pemerintahan bermasalah secara hukum administrasi dan hukum perundang-undangan Indonesia.  Atau dalam bahasa Laica Marsuki, ada tindakan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya berkenaan dengan perbuatan penguasa yang melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad).  

Baca Juga  Pengakuan Seorang Relawan Covid-19

Ide membebaskan narapidana korupsi dan penerapan hukum atas dasar situasi pandemi virus Corona (Covid-19) sebagai bencana nasional-non alam tidak serta-merta atau secara automtically menjadi alasan pembenaran untuk menyampingkan prinsip legalitas dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, mencermati Diktum kedua huruf a angka 4 dalam keputusan menteri aquo menyebutkan asimilasi dilaksanakan di rumah, jika dikaitkan dengan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, secara tegas disebutkan dalam Pasal 11 ayak (1) bahwa pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan dilaksanakan di Lembaga pemasyarakatan.

Dalam pasal 10 ayat (2) pembinaan tahap lanjutan meliputi perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. Artinya, ketentuan hukum dalam PP 31/1999 yang secara hirarki memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dikesampingkan dan diubah ketentuan tata cara prosedur asimililasi yang tadinya dilakukan dalam lapas dengan keputusan aquo dilaksanakan di rumah.

Pertanyaan hukum dan konflik hukum di atas adalah, apakah suatu  keputusan dan atau tindakan administrasi pemerintahan dapat menyampingkan pranata hukum yang telah ada atau peraturan yang lebih tinggi dengan alasan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam sehingga dapat memberikan wewenang Menteri untuk mengesampingkan hukum yang berlaku? Atau apakah suatu keputusan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diterima kebenarannya dengan pertimbangan bentuk upaya kemanusiaan atas penanggulangan dan pencegahan wabah penyakit Covid-19? Selain itu, apakah menteri diberi wewenang untuk mengesampingkan hukum dengan alasan telah terjadi bencana nasional?

Perlu diketahui bahwa kedua kebijakan ini dikeluarkan sebelum adanya penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat Covid-19. Sebab, keputusan Presiden Jokowi menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat nanti tanggal 31 Maret 2020 melalui Kepres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Berdasarkan UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 10  secara tegas menyebutkan Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Baca Juga  Pendidikan Kolonial: Aksi Guru-Guru Transformatif

Dalam hal ini yang dimaksud sebagai Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia (vide Pasal 1 angka 33). Artinya, penetapan kedaruratan kesehatan tidak diberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk menetapkan atau melakukan penafsiran dan menerapkannya sebagai pertimbangan hukum dalam keputusannya.

Hal yang sama diatur dalam Pasal 7 UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 7 ayat (1) huruf d wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah, Pemerintah yang dimaksukan dalam UU ini adalah Pemerintah Pusat, yaitu Presiden Republik Indonesia (vide Psl. 1 angka 24).

Bisa dibayangkan bagaimana rusaknya tata hukum negara jika keputusan menteri bisa menyampingkan hukum yang lebih tinggi. Apalagi jika nantinya melakukan pembebasan narapidana khusus, seperti tindak pidana korupsi, bisa dilakukan hanya melalui keputusan menteri. Apalagi nantinya atas harapan Menteri PP No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No.32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan akan revisi demi meloloskan narapidana korupsi.

Sebab, dalam ketentuan Pasal 38 A secara tegas menyebutkan asimilasi untuk narapidana (seperti tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme) diberikan dalam bentuk kerja sosial pada lembaga sosial. Diubah dengan menyesuaikan keputusan menteri aquo yang asimilasi dilakukan di rumah. Di samping itu ada syarat khusus yang harus dipenuhi bagi narapidana khusus seperti bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan, telah mengajukan kesadaran, dan penyesalan atas kesalahan yang dilakukan dan menyatakan ikrar kesetian kepada NKRI dan tak akan mengulangi perbuatnnya. (vide psl 43A)

Maka semangat pemberantasan korupsi sebagai amanah reformasi dan memberikan efek jera kepada tindak pidana kejahatan luar biasa ini menjadi sia-sia. Padahal kerugian yang ditimbulkan baik kejahatan narkoba, korupsi, terorisme, dan kejahatn luar biasa lainnya tidak hanya menimbulkan kerugian yang besar bagi negara, masyarakat, dan menimbulkan kerugian, kecemasan, ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. 

Editor: Arif

Avatar
3 posts

About author
Dr. Nasaruddin Umar, SH, MH, staf pengajar di Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *