Seni dan Wayang dalam Islam
Akhir-akhir banyak orang berbicara bahwa seni wayang adalah haram. Namun apakah benar seni dan wayang dalam Islam itu haram? Urun rembug sedikit, semoga bisa mencerahkan.
Posisi Seni dalam Islam: Al-Quran
Dalam Al-Quran ada satu surat khusus yang membicarakan tentang seniman (khususnya para penyair), yaitu surat ke-26: Asy-Syu’ara. Pembahasan khususnya ada pada ayat 224-227. Kalau demikian halnya dengan syair, niscaya demikian jugalah halnya dengan seni yang lain, kecuali seni yang akan membawa kepada mempersekutukan Allah dengan yang lain, (Tafsir Al-Azhar, Hamka, hlm. 518). Termasuk seni pewayangan.
Allah mengkritik para penyair (ayat 224-225):
1). Mereka selalu diikuti orang-orang yang sesat (الْغَاوُونَ ). Seorang penyair mengungkapkan apa yang terasa di hatinya baik atau buruk. Semua lepas dengan tidak tertahan-tahan. Umumnya, penyair tidak mempunyai tujuan hidup atau risalah yang akan diperjuangkan, hanya semata memandang seni untuk seni, banyaklah orang yang semacam mereka pula, yang jiwa gelisah pula yang mengikuti mereka.
2) Mereka mengembara di setiap lembah artinya segala aspek kehidupan ditulisnya menjadi syair, lagu, atau karya seni yang lain. Segala aspek kehidupan dapat dijadikan sumber inspirasi. Arah dan pola pemikirannya pun tidak jelas dan mereka larut di setiap perbuatan yang tidak ada gunanya itu (لَهْوَ الْحَدِيثِ ).
3) Bahwa penyair itu tidak mengerjakan seperti apa yang dia tulis/tidak realistis (يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ ). Istilah yang umum dipakai adalah karya fiksi/karya imajinasi.
Dua ayat selanjutnya Allah memberi solusi ayat 226-227 bahwa mereka: 1) harus beriman (seperti tercantum dalam rukun iman), 2) beramal saleh menciptakan karya-karya yang bermanfaat. 3) banyak dzikir/menyebut asma Allah dalam setiap karyanya, dan 4) mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Setelah berbuat dzalim, harus mau berubah, harus bertaubat, mau berjihad menegakkan kalimat Allah. Cara kerja dan corak karyanya harus berbeda.
Ucapan Penyair yang Paling Benar
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالَهَا شَاعِرٌ كَلِمَةُ لَبِيدٍ أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللَّهَ بَاطِلٌ
1513- Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘ Ucapan penyair yang paling benar adalah syair Labid yang berbunyi: ‘Ketahuilah, apa saja selain Allah (yang dipertuhankan) adalah bathil.'” (Muslim: 7/49)
Posisi Seni dalam Islam: As-Sunnah
Sejak dulu orang Arab suka syair (seni). Setiap tahun mereka mengadakan perlombaan syair. Syair-syair terbaik akan digantung di dinding Kakbah. Tiap kabilah akan mengirimkan penyair dan karyanya, Ada beberapa penyair shahabat Rasulullah. yaitu; al-Walid ibn al-Mughirad, Abdulah bin Rawwah
Ketika ayat Qs. Asy-Syu’ara: 224-227 diturunkan, para penyair mulai gelisah, seperti terungkap dalam hadits di bawah ini: (Sumber : Tafsir Ibnu Katsir)
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit, dari Abul Hasan Salim Al-Barrad ibnu Abdullah maula Tamim Ad-Dari yang telah menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah Swt.: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Asy-Syu’ara’: 224) datanglah Hassan ibnu Sabit, Abdullah ibnu Rawwahah dan Ka’b ibnu Malik kepada Rasulullah Saw. seraya menangis, lalu mereka berkata, “Allah telah mengetahui ketika menurunkan ayat ini, bahwa kami adalah para penyair.” Maka Nabi Saw. membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh. (Asy-Syu’ara’: 227) Nabi Saw. bersabda, “Seperti kalian ini.” dan banyak menyebut Allah. (Asy-Syu’ara’: 227) Nabi Saw. bersabda, “Seperti kalian ini.” dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. (Asy-Syu’ara’: 227) Nabi Saw. bersabda, “Seperti kalian ini.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir dari Ibnu Ishaq.)
Pentas Seni di Masjid Rasulullah
Salah satu bentuk kontroversi di tengah masyarakat Islam saat ini ialah melakukan pertunjukan kesenian di Masjid. Namun demikian, Nabi Muhammad Saw benar-benar telah mengizinkan menyaksikan pertunjukan seni dari Habasyah yang memboyong sejumlah peralatannya di masjid Nabi untuk memberikan hiburan tersendiri bagi umatnya. Bahkan Aisyah sendiri memberikan jamuan makan dan minum di sela-sela pertunjukannya. Dalam hadis riwayat Muslim dari ‘Aisyah disebutkan kelompok seniman Habasyah itu menampilkan seni tari-musik pada hari Raya ‘Id di masjid Nabi. Nabi sendiri memanggil ‘Aisyah untuk menyaksikan pertunjukan itu, kepala ‘Aisyah diletakkan di pundak Nabi sehingga ‘Aisyah dapat menyaksikan pertunjukan tersebut.”
Rasulullah Saw menyadari sepenuhnya, bahwa syair hanyalah media/alat untuk menyampaikan pesan. Pesan menjadi esensi dan bukan syairnya. Kalau syair dijadikan sebagai medium untuk menyampaikan kejelekan, maka di sini Rasulullah tidak membolehkan dan bahkan mencelanya. Maka, beliau mengecamnya, “Mulut seseorang yang dipenuhi nanah lebih baik daripada mulut seseorang yang dipenuhi syair.”
Lebih jauh, Rasulullah saw tidak menjaga jarak dengan tradisi bersyair di tengah masyarakat Arab Jahiliah. Mendengarkan dan mendendangkan syair bukan hal tabu yang harus dijauhi. Masalahnya bukan pada syairnya, tetapi bagaimana penyair menjadikannya sebagai media untuk konteks dakwah dan tujuan kebenaran/kebaikan.
Seni Sebagai Media Dakwah
Sebuah karya seni (termasuk pewayangan) terlahir karena dua prinsip, yaitu dulce dan utile. Dulce bermakna bahwa karya seni yang tercipta itu harus bisa memberi hiburan atau menyenangkan penonton/pembaca. Utile, bahwa suatu karya yang tercipta isinya harus memberi manfaat kepada pembaca/pennoton.
Dari dua prinsip ini lahir karya seni murni, dengan prinsip seni untuk seni semata sehingga karya yang tercipta menjadi liberal. Dan yang kedua, disebut seni bertendens yaitu suatu karya seni yang disusun untuk maksud tujuan tertentu misal untuk berdakwah, untuk pendidikan, dan bahkan bisa berkesenian untuk kepentingan politik.
Pada praktiknya, Rasulullah SAW sendiri bersikap terbuka (tapi kritis) terhadap aneka gejala kebudayaan di sekitarnya. Dengan tetap berpegang pada komitmen kerasulan dan tugas kemanusiaannya, beliau memberikan bimbingan dalam menghadapi berbagai perwujudan kebudayaan masyarakatnya. Beliau sangat akrab dengan beberapa penyair dan memberikan inspirasinya terhadap buah karyanya.
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً
5010. Dari Ubay Bin Ka’ab, bahwa Nabi SAW pernah Bersabda, “Sesungguhnya dalam syair itu terdapat hikmah” Shahih: Muttafaq ‘Alaih (Diriwayatkan dari Shahih Sunan Abi Daud bab Syair)
Dari situ, seni budaya dihimpun dalam tiga kelompok besar, yaitu ma’ruf, munkar, dan syubhat.
- Seni budaya yang makruf, yaitu bentuk seni budaya memiliki nilai posotif sesuai dengan roh Islam dan dapat mendukung misi dakwah.
- Seni budaya yang munkar. yaitu bentuk seni budaya yang setelah dikaji serius secara substansial merupakan nilai negatif yang merusak dan bertentangan Islam dan tidak dapat ditoleransi. Seni budaya yang munkar ini dapat dianggap sebagai ancaman.
- Seni budaya yang syubhat. yaitu perwujudan seni budaya yang identitasnya masih tersamar antara makruf dan munkar sehingga manimbulkan keragu-raguan, dan belum diketahui keberadaannya secara pasti sebagai sesuatu yang berguna atau mengancam bagi dakwah pengembangan umat. Hal yang demikian ini kita serahkan kepada ahli syari’at agar terus dikaji lebih lanjut.
Rasulullah bersabda, efektivitas syair (seni) untuk dakwah itu, seperti halnya anak panah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، قَدْ أَنْزَلَ فِي الشِّعْرِ مَا أَنْزَلَ، فَقَالَ: “إِنَّ الْمُؤْمِنَ يُجَاهِدُ بِسَيْفِهِ وَلِسَانِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَكَأَنَّ مَا تَرْمُونَهُمْ بِهِ نَضْح النبْل”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Abdur Rahman ibnu Ka’b ibnu Malik, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah Swt. telah menurunkan di dalam surat Asy-Syu’ara’ ayat-ayat yang menyangkut mereka (mengecam mereka).” Maka Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya orang mukmin itu berjihad dengan pedang dan lisannya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh apa yang kamu lontarkan melalui syairmu kepada mereka seakan-akan seperti lemparan anak panah.
Baik dari bunyi ayat atau dari keterangan dalam sejarah, nampaklah bahwa Nabi kita Muhammad s.a.w. pun tidak keberatan mempergunakan syair sebagai media (alat) dakwah.
Wallahu a’lam bish showwab
Editor: Nabhan