Meski dalam sejarah terjadi perbedaan tanggal, para ulama Alquran dan sejarawan bersepakat bahwa Kitab Suci agama Islam ini diwahyukan pada bulan Ramadan, tahun Kedua Hijriyah.
Menurut tradisi masyarakat Asia Tengah, Ramadan adalah salah satu dari bulan-bulan yang disucikan. Karena mereka bersepakat bahwa pada bulan-bulan suci itu tidak diperbolehkan untuk melakukan peperangan, pertumpahan darah, dan lain semacamnya, yang merusak dan merugikan harkat-martabat manusia.
Secara historis, Alquran yang turun membawa risalah kenabian Muhammad Saw., diklaim untuk seluruh umat manusia. Membawa misi pembebasan manusia, terutama kaum lemah dan perempuan. Rahmat bagi alam semesta. Oleh karena itu, beberapa pengkaji Alquran dan Islam berpendapat bahwa Islam adalah agama kemanusiaan. Atau boleh dikatakan, salah satu misi pewahyuan risalah Muhammad adalah humanisme Alquran dalam bingkai teologi rahmah.
Klaim ini tentu banyak ditentang, terutama di Barat. Ukurannya, konsepsi Alquransendiri dipandang tidak sejalan dengan nilai-nilai humanisme. Realitas Alqurandan muslim yang mendemosntrasikan kekerasan menunjukkan inkonsistensi. Dalam momentum peringatan Nuzul Alqurantahun 1441 H di masa pandemi Covid-19 ini penting dipertanyakan kembali: benarkah praksis humanisme Alquran masih faktual dan relevan?
Alquran Kitab Kekerasan?
Tentangan pertama terhadap humanisme Alquran berasal dari sarjana Perancis: Ernest Gellner. Bahan kajian sosiolog ini adalah konsep umma. Menurutnya, konsep umma dalam Alqurandengan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa telah mendorong orang Islam menjadi komunitas yang tertutup. Komunitas tertutup ini, dalam pandangan Gellner, secara ideologis melahirkan konsep praksis yang meniadakan ruang bagi pluralisme
Implikasinya, konsep praksis umma dalam Alquranitu memantik pikiran dan sikap intoleran orang Islam terhadap orang lain yang berbeda (Gellner 1981).
Alquran dalam konteks realitas Islam di Timur Tengah dipandang turut menyumbangkan otoritarianisme. Islam memiliki akar dan semangat otoritarian sebagaimana praktek-praktek politik di Negara-Negara Timur Tengah. Watak otoritarian Islam di Timur Tengah ini dapat dilacak pada model politik turun-temurun dalam tradisi politik dan dilegalkan dalam sistem politik (A. Bayat 2007).
Watak konseptualnya, jelas Samuel P. Huntington, dapat dilacak dalam ayat-ayat Alqurandan data historis tentang ekspansi teritorial Islam yang dilakukan dengan pedang dan kekerasan (Huntington 1998).
Alih-alih menjadi agama rahmat yang ditopang oleh humanisme Alquran dalam bingkai teologi rahmah, masyarakat muslim justeru dicekoki oleh praktek—pinjam judul buku karya Salman Rushdie (1988)—buhul-buhul Ayat-Ayat Setan. Sebab, realitas Alquran justru dipahami mengajarkan pandangan yang mendiskreditkan perempuan, mendorong perilaku kekerasan, tidak memberi ruang kebebasan berpendapat, dan praktek jahiliyah lainnya.
Umma: Ideologi Tertutup atau Terbuka?
Amin Abdullah mengatakan bahwa konsep umma dalam Alquran memiliki makna netral (Abdullah 2011). Bermakna netral, karena bisa memuat pesan positif dan negatif tergantung konteks yang dirujuk. Misalnya, yang positif merujuk konteks permohonan Ibrahim agar masyarakat (umma) Hijaz menjadi masyarakat yang aman dan sejahtera serta tunduk patuh hukum.
Konteks penyebutan umma sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi perbedaan dan suka berbuat keadilan. Sedangkan yang negatif merujuk umma terdahulu yang suka ingkar janji dan mempermainkan timbangan dagangan. Dan umma yang suka bertikai dan berperang dengan sesamanya.
Secara historis, umma dalam konteks Negara Kota Madinah memiliki visi praksis terbuka. Sebagaimana dilaporkan, warga masyarakatnya tidak hanya beragama Islam, melainkan juga Yahudi, Nasrani, dan Politeis. Mereka hidup berdampingan dalam naungan aturan hukum yang disepakati bersama antara komunitas warga Negara Kota Madinah itu, di bawah kepemimpinan Muhammad.
Bagi Robert N. Bellah (1970) dan Karen Amstrong (2007), Piagam Madinah dan kepemimpinan Muhammad menunjukkan praksis masyarakat beradab, di tengah kompleksitas persoalan masyarakat Arab yang masih memraktekkan kesukuan. Menurut Bellah, hal itu menyajikan narasi konsep sekaligus praktek kehidupan plural berasaskan kepentingan seluruh masyarakat yang heterogen.
Alquran sebenarnya hanya sedikit menggunakan kata perang (qital). Perang bahkan hanya dipergunakan sebagai upaya membela diri. Yang banyak disalah-pahami memang kata jihad, yang dilekatkan pada perjuangan mempertahankan atau melakukan ekspansi Islam. Dan hal itu didukung oleh konsep umma paska zaman kekhilafahan bergeser maknanya lebih memaparkan sifat tertutupnya. Secara historis dan sosiologis, paska praksis Negara Kota Madinah berakhir, umma memiliki makna hanya terkait masyarakat Islam.
Dalam situasi sekarang, terutama dalam konteks dunia yang interconnected, apalagi di tengah pandemi Covid-19, perdebatan tentang umma tertutup atau terbuka, sepertinya perlu digeser ke topik lain yang lebih produktif terkait humanisme Al Qur’an.
Misalnya, tentang ketahanan pangan, ketersediaan bahan makanan pokok, masker, dan APD bagi tenaga medis, ketersediaan air bersih, kesehatan, pendidikan, pemberdayaan perempuan dan kepedulian lainnya terhadap kemanusiaan. Humanisme Alquran perlu didorong lebih konkret menyelesaikan problem kemanusiaan di atas.
Humanisme Al Qur’an: Kitab Keselamatan Manusia
Bagaimana jika didapati orang yang sangat relijius, rajin ibadah, dan kebaikan invidual lainnya tetapi anti sains. Di tengah pandemi Covid-19, temuan sains melaporkan bahwa penyakit tersebut menular karena kerumunan. Demi ibadah dan pahala, orang itu justeru menentang temuan sains tersebut. Sejatinya orang ini sedang lupa tentang realitas humanisme Al Qur’an.
Realitas humanisme Alquran paling tidak memiliki tiga poin penting. Pertama, humanisme Alquran adalah sistem berpikir. Kedua, humanisme Alquran adalah kepedulian kepada nilai-nilai kemanusiaan. Ketiga, humanisme Alquran adalah subjek yang mampu berdialog reflektif (terbuka) dan teleologis (tujuan produktif) untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Dengan kata lain, realitas humanisme Alquran adalah praksis peduli kemanusiaan.
Sistem berpikir humanisme Alquran, hadir dari kewarasan dan penggunaan akal dalam memandang realitas historis. Dalam hal ini, orang beragama diarahkan terlibat dalam perlindungan dan penyelamatan kemanusiaan. Jadi beragama seharusnya tidak mengenyampingkan keselamatan dan kebahagiaan manusia. Apalagi hanya dilakukan demi egoisme, fanatisme ibadah, dan berharap pahala saja.
Dalam lima unsur maqashid al-syari’ah, menjaga jiwa (hifzh al-nafs) disebut nomor dua setelah menjaga agama (hifzh al-din). Dengan demikian, menyayangi dan mengasihi manusia juga merupakan amanat Alquran terhadap pemeluknya, setara dengan berjihad menjaga agama ini. Karena itu, keteledoran dalam melindungi jiwa manusia bisa disebut sebagai kegagalan praksis humanisme Al Qur’an.
Akhirnya, beragama sejati dengan sinaran humanisme Alquran adalah beragama dalam bingkai teologi rahmah (kasih sayang) demi tercapainya keselamatan dan kebahagiaan seluruh umat manusia. Wallahu a’lam.