Hustle culture merupakan tren baru dewasa ini. Jika mengacu pada Oxford Learner’s Dictionary, secara harfiah hustle berarti mendorong seseorang agar bisa bergerak lebih cepat secara agresif. Dengan demikian, hustle culture secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah budaya yang membuat orang-orang bekerja tanpa henti kapan pun dan di mana pun.
Lahirnya hustle culture erat kaitannya dengan munculnya istilah workaholic pada tahun 1970-an di Barat yang menggambarkan para pekerja dengan jam kerja berlebih. Gila kerja yang dimaksud tidak selalu mengacu kepada pekerjaan formal di sebuah institusi atau perusahaan, tetapi juga mengacu pada seseorang yang aktif dan selalu sibuk melakukan aktivitas apapun. Dengan demikian, fenomena hustle culture tidak hanya dirasakan oleh pekerja saja, akan tetapi juga di kalangan para pelajar. Semisal mereka yang mengikuti banyak ekstrakulikuler dan ikut banyak organsasi.
Penganut hustle culture percaya bahwa apa yang telah dilakukan tak pernah cukup untuk mencapai kesuksesan. Mereka yang terjerat dalam hustle cultre dinamakan hustlers. Ciri utama dari seorang hustlers yakni merasa bersalah apabila waktunya diisi dengan refreshing atau istirahat.
Penyebab Berkembangluasnya Hustle Culture
Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab lahirnya budaya tersebut. Pertama, kebutuhan yang semakin tinggi. Ada satu generasi yang ditambahkan bukan berdasarkan tahun kelahiran melainkan posisi dan tanggungjawabnya dalam sebuah keluarga yakni generasi sandwich.
Istilah ini dipekerkenalkan pertama kali pada tahun 1981 oleh Profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington Amerika Serikat bernama Dorothy A. Millier. Generasi sandwich merupakan generasi yang memiliki tanggung jawab menanggung hidup tiga generasi yaitu orang tua, diri sendiri berserta anaknya.
Kondisi tersebut dianalogkan seperti sandwich, di mana sepotong daging terhimpit oleh 2 buah roti. Roti tersebut diibaratkan orang tua dan anak, sedangkan isi utama sandwich berupa daging, mayonnaise, dan saus yang terhimpit oleh roti diibaratkan bagai diri sendiri.
Generasi sandwich terbanyak berasal dari generasi milineal, yaitu generasi yang lahir di antara tahun 1980 hingga tahun 2000. Di Indonesia generasi milineal sendiri berjumlah 191,08 juta jiwa (70, 72%) dilansir dari laman kemenkopmk.go.id.
Kedua, konstruksi sosial, di mana kesuksesan seseorang diukur dengan jabatan dan kondisi finansial yang baik. Semakin tinggi karir seseorang, maka hidupnya disebut semakin mapan dan semakin dipandang oleh masyarakat. Tokoh-tokoh seperti Elon Musk yang membagikan kisah bagaimana ia menjadi jutawan, juga turut mengembangkan pola pikir masyarakat di mana anak muda harus bekerja keras tanpa henti untuk menjadi orang sukses.
Di kalangan umat Islam pun terkenal mahfudzat Arab yang berbunyi al-waqtu atsmanu minadz-dzahabi (waktu lebih berharga dari pada emas). Mahfudzat tersebut sekilas mendukung budaya hustle, di mana seseorang dituntut untuk tidak menyia-nyiakan waktunya. Terlebih jika kita membaca biografi para ulama, merekapun ‘gila’ kerja dan sedikit waktu yang digunakan untuk istirahat.
***
Semisal saja Muhammad bin Hasan (132-189), murid Imam Abu Hanifah yang tidak tidur malam kecuali sedikit. Al-Baqilani, beliau bahkan tidak tidur malam hingga selesai menulis 35 lembar. Syaikh Ibnu Taimiyah ketika sakitpun beliau tetap membaca buku. Al-Hafizh al-Mundziri (581-656 H), ketika makan juga di hadapannya ada buku. Tetangganya berkata bahwa setiap malam di rumah al-Mundziri terlihat cahaya terang, karena beliau sibuk dengan belajar.
Imam Nawawi, beliau makan hanya sekali untuk sehari semalam, yakni ketika salat Isak. Jika dihitung masa hidupnya dengan karya tulisnya, maka rata-rata beliau menulis empat buku tulis setiap harinya. Khatib al-baghdadi (392-463 H), ahli hadis dan sejarawan, beliau berjalan sembari membaca kitab. Imam Haramain (419-478 H), guru Imam Ghazali, beliau tidak tidur kecuali tertidur dan hanya makan ketika punya selera makan.
Dalam Siyar A’lam an-Nubala, Imam adz-Dzahabi menyebutkan, bahwa seorang ahli hadis ‘Ubaid bin Ya’isy guru dari Imam Bukhari dan Muslim, beliau tidak pernah makan malam dengan tangannya, akan tetapi disuapi oleh saudarinya, oleh sebab beliau sibuk menulis hadis.
Padahal hustle culture membawa dampak negatif bagi kesehatan fisik maupun mental. Berdasarkan penelitian pada 2018 yang dipublikasikan di Current Cardiology Reports, mereka yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu ditemukan memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti infark miokard (Serangan jantung) dan penyakit jantung coroner.
Sedangkan dampak negatif bagi kesehatan mental, hustle culture dapat menyebabkan seseorang mengalami gejala depresi, kecemasan, hingga pikiran untuk bunuh diri. Lantas, bagaimana al-Qur’an memandang kerja dalam kehidupan manusia?
Kerja Perspektif Al-Qur’an
Ada setidaknya enam istilah yang digunakan oleh al-Qur’an dalam mengungkapkan nilai kerja antara lain: ‘amal, kasb, juhd, ibtighaa’, sa’yu dan su’aal. Term-term tersebut menunjukkan bahwa kerja dan usaha manusia dipandang secara positif baik untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun untuk menopang kehidupan orang lain.
Islam memberikan peniliaian yang tinggi terhadap kerja, karena kerja merupakan pokok keberlangsungan hidup manusia, baik secara individu maupun sosial, biologis maupun fisiologis (QS. An-Nisaa’: 100). Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada manusia, bahwa sikap meminta-minta akan merendahkan nilai kemanusiaan dan sikap tersebut harus dijauhi oleh masyarakat muslim seperti yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 273.
Dalam pandangan fuqahaa’, kerja dikategorikan sebagai kewajiban individu yang di atasnya ditunaikan kewajiban kolektif. Hal ini, karena kebuthan kolektif tidak akan terpenuhi sebelum kebutuhan individu tercukupi.
Namun perlu digarisbawahi, bahwasanya usaha atau kerja yang dianjurkan al-Qur’an, bukan hanya sekadar kerja yang kapitalistik yakni hanya berorientasi pada pertambahan nilai barang, melainkan
diorientasikan pada nilai-nilai suci. Nilai suci dari materi ditentukan oleh fungsi dan kegunaannya untuk kemaslahatan dalam memenuhi hajat hidup manusia.
Hal terebut dapat dilihat bagaimana al-Qur’an menyebut objek yang diusahakan secara konseptual bukan secara numerik atau materi. Seperti maal (harta), kanz (simpanan), fadal (keutamaan), rizq (rezeki), mataa’ (kesenangan), khazaanah (simpanan), ajr (upah), ziinah (keindahan) dan lain-lain. Term-term terebut terbingkai dalam konsep tauhid. Ketika kesadaran manusia terhadap materi hanya terfokus pada orientasi yang dekat, al-Qur’an memandang kesadaran tersebut secara negatif. Soalah—dalam konteks ini—al-Qur’an tidak merestui usaha manusia terhadap materi.
Islam menganjurkan manusia mengutamakan hal-hal yang bersifat spiritual dan mengambil faedah secara wajar dari hasil yang diupayakan (QS. Al-Qasas: 77). Islam menetapkan nilai pribadai manusia dan menentukan batas-batasnya serta menetapka kewajiban yang perlu demi keseimbangan antara pribadi dan lingkungannya (Marcel, 1980).