Dalam sebuah pertemuan santai dengan seorang kawan senior yang mampir di kantor Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebuah percakapan santai mengalir. Kebetulan, kami sedang berdiskusi tentang sebuah buku penting karya seorang politikus Partai Masyumi yang berjudul: Renungan dari Tahanan. Sampai pada satu titik simpul diskusi, kawan senior ini berujar: “Itulah ilmuwan, dia tidak bisa bohong tapi bisa salah. Berbeda dengan politikus, dia tidak boleh salah, tapi bisa bohong…”
Jika simpulan kawan senior ini benar, tiba-tiba saya teringat pada biografi seorang intelektual besar yang melahirkan magnum opus: Muqaddimah. Ya, dia Ibnu Khaldun. Karirnya di bidang politik harus ia akhiri untuk melahirkan karya intelektual besar yang sampai kini masih tetap dirujuk sebagai embrio pertumbuhan Ilmu Sejarah dan Sosiologi modern. Beginilah riwayat singkat Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun
Namanya Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin al-Hassan bin Muhammad bin Jabir bin Muhammad bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khaldun. Demikian Syed Farid Alatas dalam Ibnu Khaldun: Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi(2017: 15-17) merunut silsilah keluarga Ibnu Khaldun. Ia lahir di Tunisia pada Ramadhan 732 H/1332 M.
Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Seville, Andalusia (Spanyol), lalu hijrah ke Tunisia pada pertengahaan abad ke-13. Ibnu Khaldun berasal dari keluarga kelas atas, dari kalangan politisi dan ilmuwan, pada masa Dinasti Umayyah, al-Murabitun, dan al-Muwahhidun yang berkuasa pada akhir abad ke-11 di Andalusia. Ayah Ibnu Khaldun telah merintis karir di luar tradisi keluarga (politisi) yang memutuskan untuk menjadi ilmuwan. Langkah karir sang ayah inilah yang kemudian diikuti oleh Ibnu Khaldun.
Jaringan epistemologi keilmuan Ibnu Khaldun terbentuk sejak masa kecil di bawah asuhan anggota keluarga yang memang memiliki kultur keilmuwan secara turun-temurun. Ia belajar menghafal dan menulis al-Qur’an, fikih mazhab Maliki, hadis-hadis rasul, dan puisi dari para ulama dan guru ternama di Tunisia, terutama berguru kepada Abu Abdillah Muhammad bin Jabir bin Sultan bin al-Qaisi al-Wadiyashi, ulama terkemuka yang memberi lisensi (ijazah) kepada Ibnu Khaldun untuk mengajar bahasa dan hukum di wilayah Ifriqiyah (Afrika) pada masa kepemimpinan Abu al-Hasan (Sultan Mariniyun). Guru besar yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan intelektualisme Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Ibrahim al-Abili, seorang rasionalis (Alatas, h. 17-18).
Karir Politik
Berdasarkan penuturan dalam autobiografinya, selama proses belajar kepada para guru besar yang sangat berpengaruh pada masanya itu, Ibnu Khaldun mulai menemukan kerangka konseptual bagaimana mekanisme dan proses belajar yang efektif. Sampai memasuki usia akil baligh, ia terus belajar menimba ilmu dan hikmah (filsafat) hingga terjadi musibah besar yang mengerikan pada tahun 1348 M.
Wabah penyakit sampar (pes) telah menyebar mengakibatkan kematian massal, termasuk kedua orang tua Ibnu Khaldun dan para gurunya. Kondisi dilema sempat dirasakan Ibnu Khaldun: antara tinggal di Tunisia atau mengejar karir politik dengan berpindah ke Fez, atau memutuskan bergabung dengan sang guru, al-Abili.
Tampaknya, Ibnu Khaldun memutuskan untuk melanjutkan tradisi keluarga dengan menempuh karir di bidang politik. Pada pertengahan abad ke-14, Tunisia diperintah di bawah Dinasti Hafsiyun. Sultan Abu Ishaq secara de jure adalah raja, tetapi sistem pemerintahan di bawah kendali kepala staf istana (hajib), bernama Abu Muhammad bin Tafragin.
Ibnu Khaldun mendapat amanah dari Tafragin untuk menjabat sebagai juru tulis (sahib al-‘alamah). Ia bertugas menulis puja dan puji syukur di antara basmalah(dalam struktur surat resmi) dan menulis dokumen naskah resmi negara.
Memasuki dunia politik jelas penuh intrik. Pilihan ini sempat membuat dilema Ibnu Khaldun. Bermacam-macam tawaran kedudukan baru tidak memuaskan dahaga Ibnu Khaldun yang menghendaki kehidupan dengan semangat ilmiah seperti yang dicita-citakan para leluhurnya. Ketika para ilmuwan Maghribi (Maroko) dan Andalusia (Spanyol) berkunjung ke Fez, Ibnu Khaldun sangat senang menerima kedatangan mereka. Semangat untuk kembali menimba ilmu pengetahuan terus tumbuh.
Muqaddimah
Pada tahun 1365 M, Ibnu Khaldun menjalin relasi dengan Muhammad, mantan penguasa al-Muwahhidun yang dimakzulkan dan sedang dipenjara di Fez. Konspirasi Ibnu Khaldun dengan Muhammad terendus oleh penguasa Fez. Ia pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara pada tahun 1337 M. Selanjutnya, karir politik Ibnu Khaldun diwarnai dengan gesekan-gesekan kepentingan politik yang sangat keras, bahkan ia dideportasi dari Tunisia.
Konspirasi yang dibangun oleh Ibnu Khaldun dengan kekuatan-kekuatan oposisi memiliki motif ‘terselubung.’ Motif tersebut berkaitan dengan cita-citanya yang ingin menimba ilmu pengetahuan dengan cara keluar dari Tunisia menuju Andalusia. Pada tahun 1363 M, ia diterima oleh Sultan Mahmud di Granada dan mendapat amanat sebagai duta besar yang bertugas menghadap raja Kristen di Castille. Namun jabatan politik inipun tidak memuaskan Ibnu Khaldun karena ia kembali terjebak pada konspirasi-konspirasi politik yang memaksanya untuk melarikan diri dari Granada (Alatas, h. 22-23).
Keputusan Ibnu Khaldun untuk berhenti dari karir politik menandai babak baru dalam perjalanan karir intelektualnya. Ia bersama keluarganya kemudian menetap di wilayah kekuasaan Banu Arif (Afrika Utara). Penguasa setempat mengizinkan Ibnu Khaldun dan keluarganya menetap di sebuah bentang bernama Qal’at Ibn Salama. Di dalam benteng yang sepi inilah, Ibnu Khaldun menulis dan menyelesaikan karya monumentalnya, Muqaddimah.
Tuduhan dan Pencapaian
Muqaddimah karya Ibnu Khaldun mendapat respon beragam dari kalangan raja-raja, para birokrat, ilmuwan, dan filosof pada masanya. Tidak sedikit yang menyanjung orisinalitas karya ini, tetapi sangat banyak yang mengritik, mencela, bahkan menuduh Ibnu Khaldun melakukan plagiarism—dianggap menjiplak kitab Rasail karya Ikhwan al-Shafa (Alatas, h. 37).
Kelompok aliran konservatif yang paling keras mengritik konsep-konsep baru yang ditawarkan Ibnu Khaldun. Tetapi dalam kajian-kajian terbaru telah jelas bahwa karya Ibnu Khaldun jauh lebih orisinil ketimbang karya-karya para filosof lain pada masanya. Sekalipun sekilas tampak seperti menjiplak karya Ikhwan al-Shafa, tetapi sebenarnya Ibnu Khaldun menawarkan pendekatan dan metode baru dalam menganalisis pola relasi interaksi sosial manusia berdasarkan teori yang di kemudian hari menjadi geneologi ilmu sosiologi modern. Setidak-tidaknya itulah hasil pembacaan George Ritzer dalam bukunya, Teori Sosiologi Modern(2015: 5).
Setelah karya Muqaddimah disusul dengan Kitabal-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar di Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar(tiga jilid besar) yang sangat fenomenal. Ternyata, karya Muqaddimah yang telah mendapat sambutan beragam dari para ilmuwan dan filosof pada zamannya hanyalah sebatas ‘pengantar’ dari Kitabal-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar di Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar. Di sinilah sosok Ibnu Khaldun menawarkan konsep kebaruan dalam proses analisis sosiologis-historis penulisan sejarah.
Ia banyak menggunakan instrument teoritis untuk mengungkap dan mengurai fakta-fakta di masa lalu tentang kejadian-kejadian atau aktivitas para tokoh dalam sejarah. Dengan konsep epistemologi yang empiris, ia menawarkan paradigma baru historiografi umat Islam yang mencakup berbagai macam topik.
Selain Muqaddimah dan Kitabal-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar di Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, Ibnu Khaldun juga menulis Lubab al-Muhassal fi Ushul al-Din(Ringkasan Dasar-dasar Agama), Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin min al-‘Ulama wa al-Hukama wa al-Mutakallimin—ringkasan karya Fakhruddin al-Razi (filosof muslim yang memiliki kecenderungan naturalis dan Syifa’ al-Sa’il(karya tasawuf) (Majid Fakhri, 1987: 146).
***
Selain menulis kitab, Ibnu Khaldun juga banyak mengulas, mereview, dan mengritik karya-karya para filosof sebelumnya. Seperti karya al-Busiri (Kitab Burdah), karya-karya Ibnu Rusyd (tentang logika, aritmatika, dan lain-lain).
Itulah sepenggal riwayat Muqaddimah dan Ibnu Khaldun, seorang politikus yang mengakhiri karirnya dengan menempuh jalan sunyi sebagai seorang intelektual besar. Namanya tetap harum hingga kini, di belahan bumi barat maupun timur.