Metode kalam adalah cara kerja yang digunakan oleh para tokoh kalam guna mendudukkan persoalan akidah secara dialogis dan sistematis agar mudah dipahami oleh masyarakat. Para mutakkalimin telah menjelaskan bahwa dasar-dasar akidah telah ada di dalam nash, dan mereka tidak menolak kebenaran tersebut.
Oleh sebab itulah, dalam memutuskan suatu hal, para mutakallimin selalu berpedoman pada nash. Mereka menentukan nash sebagai pedoman mereka. Setelah itu, mereka akan menentukan argumentasi guna memperkuat akidah yang telah ada di dalam nash.
Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd dikenal dengan nama Averroes di Barat. Ia dikenal karena serangan kritik al-Ghazali terhadap Ibnu Rusyd. Tidak hanya itu, sebelum mendapat serangan dari al-Ghazali, Ibnu Rusyd telah dikenal karena kritiknya terhadap metode kalam yang ada.
Ibnu Rusyd sering mengusulkan tentang metode kalam agar kembali kepada Al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan pertama yang harus dimiliki oleh setiap mukmin adalah pengetahuan tentang keimanan dan keyakinannya terhadap Islam. Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd selalu mengusulkan agar kalam kembali kepada makna harfiah Al-Qur’an.
Ibnu Rusyd sangat menolak metode yang dilakukan oleh mutakallimin yang memisahkan antara akal dan nash. Karena menurutnya, pengetahuan yang paling utama berasal dari Al-Qur’an (Ali Ashar, 2013).
Tujuan dari ajaran syariat adalah mengetahui kebenaran Tuhan (‘ilm al-haqq) dan beramal dengan benar (al-‘amal al-haqq) (Afrizal M, 2006). Menurut Ibnu Rusyd, ilmu yang harus diketahui oleh umat Islam adalah ilmu tentang keesaan Allah dengan cara mengenal Allah dan seluruh ciptaannya serta mengenal kehidupan akhirat yang terdapat siksaan di dalamnya.
Menurut Ibnu Rusyd, tujuan kalam dalam mempererat keimanan di masa ini justru kurang tercapai, sebab semua orang justru berdebat demi mempertahankan pendapat yang mereka pegang. Karena alasan itulah, Ibnu Rusyd melakukan kritik terhadap golongan tersebut.
Golongan tersebut di antaranya yaitu hasywiah, sufi, mutakallimin, dan golongan filosof (Afrizal M, 2018).
Golongan Hasywiah
Pertama, golongan hasywiah. Golongan hasywiah adalah golongan yang hanya menggunakan ayat Al-Qur’an secara zahir tanpa pertimbangan. Menurut golongan ini, wahyulah yang hanya dapat memperkuat keimanan seseorang. Akal seseorang justru akan memperlemah keimanan seseorang terhadap Allah. Oleh sebab itulah, hanya perlu argumen syar’i untuk menjawab persoalan.
Ibnu Rusyd tidak menyalahkan argumen golongan hasywiah, karena memang ada seseorang yang hanya dapat memaknai ayat Al-Qur’an secara zahir tanpa tafsir. Namun, Ibnu Rusyd menolak pendapat hasywiah yang melarang menafsirkan Al-Qur’an dan juga mengharamkan takwil.
Golongan hasywiah mengharuskan umat Islam untuk hanya berpedoman pada zahir ayat Al-Qu’an. Pendapat tersebutlah yang ditolak dan dikritik oleh Ibnu Rusyd. Menurut Ibnu Rusyd, golongan ini terlalu tekstualis. Padahal, ada ayat Al-Qur’an yang tidak jelas dan justru harus ditakwil untuk memahaminya.
Kelompok Sufi
Kedua, kelompok sufi. Kelompok sufi merupakan kelompok yang berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dengan daya rasa yang ada dalam diri mereka yang berpusat dalam hati. Pengetahuan tentang Tuhan bagi kelompok sufi disebut dengan ma’rifah.
Menurut kelompok sufi, cinta dalam hati mereka lebih tinggi dari akal mereka. Ibnu Rusyd tidak menolak konsep yang ditawarkan oleh kelompok sufi.
Cara sufi untuk mengenal dan dekat dengan Allah adalah dengan melepas syahwat dan hanya menghadapkan diri kepada Allah. Menurut Ibnu Rusyd, jika kelompok sufi hanya menggunakan hati dan perasaan mereka, maka sufi tidak menganggap adanya akal dan tidak mempergunakan akal sesuai dengan fungsinya. Ibnu Rusyd justru menginginkan nash yang diperkuat dengan akal.
Golongan Mutakallimin
Ketiga, golongan mutakallimin. Ibnu Rusyd mengkritik dua golongan mutakallimin, yaitu golongan Mu’tazilah dan Asy’ariah (Harun Nasution, 1987). Kedua golongan ini saling berseberangan.
Mu’tazilah menghendaki penggunaan akal lebih banyak ketika ada kendala dalam persoalan. Sedangkan Asy’ariah lebih cenderung menggunakan wayhu dalam menjawab persoalan. Ibnu Rusyd menghendaki keseimbangan antara nash dan akal, bukan berat sebelah. Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd mengkritik dua golongan mutakallimin ini.
Golongan Filosofi
Keempat, golongan filosofi. Filsuf muslim yang mendapat kritik dari Ibnu Rusyd adalah Ibnu Sina. Ibnu Rusyd mengkritik penggunaan bilangan dalam menjelaskan wujud Tuhan. Pembahasan wajibul wujud sebagai Tuhan dan mumkinul wujud sebagai alam semesta yang kemudian berubah menjadi wajib al-wujud li ghairih.
Menurut Ibnu Sina, sama halnya dengan bilangan keempat yang mampu mengubah kedudukan bilangan sebelumnya. Menyamakan Tuhan dengan bilangan adalah kritik yang diberikan Ibnu Rusyd terhadap Ibnu Sina.
Ibnu Rusyd sendiri dalam metodenya ingin menyeimbangkan antara akal dan nash. Ayat-ayat yang mudah dipahami (mukhkamat) tidak perlu ditakwilkan dengan akal, karena ayat tersebut telah mengandung arti yang sangat jelas secara zahir. Sedangkan, ayat-ayat yang sulit dipahami secara zahir (mutasyabihat) haruslah ditakwilkan dengan akal.
Editor: Lely N