Falsafah

Ibnu Sina (1): Sang Pangeran Dokter di Dunia Islam

3 Mins read

Ibnu Sina, dikenal di dunia Barat dengan Avicenna, dan digelari sebagai Amir al-Athibba (pangeran dokter-dokter). Ia dilahirkan pada tahun 370 H. (980 M.) di Bukhara. Sejak kecilnya, orang bijak ini menampakkan Bakatnya yang luar biasa dan hebat dalam memperoleh ilmu dan keahlian.

Ia pun memperoleh kedudukan yang terhormat di kalangan teman-temannya, karena keunggulannya dalam ilmu-ilmu dan kejuruan-kejuruan Islami, sehingga dijuluki dengan gelar-gelar besar seperti, Syaikh al- Rais dan Hujjah al-Haq, yang masih dikenal di Timur hingga saat ini. Ia bernasib baik karena orang tuanya yang bermazhab Ismaili memperhatikannya secara seksama dan mengajarinya. Sebagaimana kedudukan orangtuanya, adalah sebagai tempat bertemunya para ulama (cerdik cendikia) dari segala penjuru.

Ibnu Sina menamatkan Al-Quran al-Karim dan menguasai nahwu (tata bahasa arab), pada umur sepuluh tahun. Ia kemudian sengaja memperlajri ilmu logika dan ilmu pasti, yang diambilnya dari Abu Abdillah Natali. Setelah ia berhasil dalam pelajaran-pelajarannya secara baik, ia sengaja mempelajari ilmu-ilmu alam, metafisika, yang didalamnya terdapat metafisikanya Aristoteles, yang perlu dibacanya berulangkali dan dicatatnya, dari awal hingga akhirnya, sampai hafal tapi tanpa memahami isinya.

Akibatnya setelah menemukan keterangan al-Farabi mengenai buku Aristoteles itu secara kebetulan, ia dapat mengatasi apa yang awlanya tertutup baginya, yaitu yang berkaitan dengan buku aristoteles tersebut. Sejak itu Ibnu Sina tak perlu lagi melakukan studi-studi secara dangkal. Sebaliknya pemahamannya bertambah mendalam ketika sampai pada umur 18 tahun. Menurut kenyataannya, menjelang akhir hayatnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh murid terdekatnya Jurjani, bahwa ia pada sepanjang kehidupannya telah menghasilkan ilmu-ilmunya yang sebagian besar ditulis ketika ia berumur delapan belas tahun.

***

Kecemerlangan Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, telah menjadikan sultan (penguasa) mendekatinya (memanggilnya), dan terbukalah pintu-pintu perpustakaan Istana baginya, sebagaimana kedudukan terhormat yang diperolehnya. Tetapi, kericuhan-kericuhan politis yang terjadi di Asia Tengah, sebagai akibat bertambahnya keuasaan Mahmud Ghaznawi menyebabkan sukarnya kehidupan dan bertambahnya goncangan di tanah airnya, yang memaksa Ibnu Sina Hijrah dari Bukhara ke Jurjaniyah.

Baca Juga  Para Filsuf Islam di Timur

Lalu meninggalkan daerah itu menuju Jurjan (georgia), pada tahun 403 H. (1012 M.), merupakan tahun-tahun petualangan yang menewaskan kawan-kawan Ibnu Sina, dan ia sendiri menyebrangi Sahara menuju Khurasan. Inilah dan sebagian suber-sumber islam menerangkan, bahwa ia hendak mengunjungi penyair sufi terkenal Abu Said Abul Khair, sebelum sampai ke Jurjan. Juga mengharapkan ia akan bertemu dengan para pecinta dan penyelamat peradaban Qabus bin Wusymejir.

Tetapi sesampainya di tempat tujuan ia mengetahui bahwa orang yang akan dikunjunginya telah tewas. Hal yang diketahuinya secara tiba-tiba ini, menggugah keberanianya untuk mencoba hidup di sebuah dusun kecil selama beberapa tahun, yang dilanjutkan dengan hidup di pinggiran (luar) kota antara 405 H. (1014 M.) dan 406 H. (1015 M.). Ketika itu Persia berada di bawah Buwaihiyyin. 

Sedang sebagian mereka memerintah wilayah-wilayah (propinsi, daerah kekuasaan) Negara. Sedang Ibnu Sina memanfaatkan waktu sebaik-baiknya di istana Fakhru ad-Daulah, di luar kota itu. Lalu ia meninggalkannya dan menjuju ke Hamadan untuk menemui yang lainya di dinasti Buwaihi, yaitu  Syamsu ad-Daulah. Pertemuannya membawa taufik (berkat).

Sebagai kelanjutannya ia diminta mengobati sultan yang sedang sakit, dan sembuhlah Syamsu ad-Daulah. Ibnu Sina kemudian disenangi di lingkungan istana, yang akhirnya mengantarkanya menjadi menteri. Sedang jabatan yang mempunyai beban berat ini dipikulnya bertahun-tahun sampai wafatnya sultan. Maka saat itu kebijaksanaan politik bertentangan denganya. Ia menolak untuk menduduki jabatan meteri selanjutnya.

Akibatnya, ia dipenjarakan. Ia sendiri tidak dapat melepaskan diri dari penjara, sehingga tiba kesempatan emas untuk melepaskan diri, yaitu ketika hamadan terkepung oleh pihak oposisi, ia menyamar dengan berpakaian seperti seorang Drwisy (fakir).

Sementara di Hamadan Ibnu Sina menyiapkan keberangkatannya ke Isfahan, yang telah diharapkan untuk mengunjunginya selama bertahun-tahun sebelumya, karena dianggapnya sebagai pusat ilmu yang penting, dan mempunyai masa depan.

Baca Juga  Ortodoksi, Ortopraksi dan Heteredoksi (Bagian 3)

Di sana ia dapat menikmati ketentraman hidup cukup lama, yaitu selama sembilan tahun. Pusat ilmu itu mendapat perhatian sepenuhnya dari negara, dan dipeliharanya. Dan dalam waktu sembilan tahun itu Ibnu Sina berhasil menulis beberapa buku penting.  Juga memulai mempelajari ilmu astronomi, dan berhasil menciptakan teleskop.

Apapun bentuk masalahnya, sehingga ia mendapat waktu yang menentramkan ini, setelah mengalami kekacauan dalam hidupnya, akibat serbuan yang disebabkan oleh Ma’ud Ibnu Ghaznawi – terhenti, adalah merupakan penyebab Ibnu Sina meninggalkan tanah tempat kelahirannya ketika masa mudanya, dan penyebab hilangnya sejumlah karya-karya orang bijak ini.

Sampai-sampai keterkejutan (hiangnya karya-karyanya) ini, membuat ia sangat menderita, sehingga kembalinya lagi ke Hamadan, danwafat pada tahun 428H. (1037 M.). disini di Hamadan masih ada Kuburnya hingga saat ini.

***

Demikianlah pada akhir kehidupannya, ia telah menyaksikan berbagai perubahan politik, yang sebenarnya diakibatkan oleh banyaknya kesukaran. Ia telah banyak memperoleh kebahagiaan, juga menikmati hari-hari yang ceria, dan sekaligus kesulitan. Ia bekerja sesuai lazimnya, sebagai seorang dokter bagi sejumlah keluarga istana. Juga ia berkecimpung dalam dunia kemasyarakatan sedemikian rupa, dan terkadang ia berperan serta ikut dalam menghadapi beban berat yang dipikul degara dengan penuh tanggung jawab.

Tetapi pada saat yang bersamaan, ia merenungi kehidupan akliyah (eksistensi pemikiran) secara mendalam, sebagaimana jelas-jelas terlihat dari nilai-nilai karyanya, dan berbagai ragam murid-muridnya. Sungguh ia adalah termasuk orang yang mendapatkan kenikmatan kekuatan fisikal yang prima. Di malam hari ia sering menghadiri festival-festival yang menggembirakan. Yang kemudian dilanjutkan untuk menulis buku-bukunya, yang sebagaian meruakan masalah-masalah falsafi dan ilmu-ilmu.

Tokoh yang biasa bergelimang dalam dua kehidupan politik dan istana ini mampu meletakkan asas madrasah filsafat pada abad pertengahan, dan mampu menyatukan Baraqathisme dan Jalinusisme di bidang kedokteran, serta mampu mempengaruhi bentuk-bentuk ilmu dan kejuruan islami, yang tokoh lainnya belum sempat melakukannya, baik sebelum maupun sesudahnya.

Baca Juga  Bagaimana Ibnu Khaldun Memandang Peradaban?
Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds