Walaupun organisasi yang memperjuangkan ideologi khilafah telah dibubarkan secara resmi oleh pemerintah, akan tetapi ideologi yang dibawanya berkembang dan tumbuh pada masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, tak jarang masih terdengar di telinga kita teriak-teriakan khilafah. Hal tersebut menjadi tantangan bagi ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila yang menjadi ideologi negara ini sebenarnya sesuai dengan prinsip dasar syariat Islam. Dalam Pancasila, tidak terdapat satu kalimat pun yang bertentangan dengan syariat Islam dan ajaran agama lainnya.
“Indonesia bukanlah negara teokrasi, bukan pula negara sekuler. Ia adalah negara yang berlandaskan Pancasila.”
Ungkapan itu, meskipun mengandung arti yang membingungkan bagi kebanyakan orang, selalu diulang-ulang oleh para pejabat kita, dan sangat ditekankan oleh Presiden Soeharto sendiri.
Indonesia Bukan Negara Sekuler, Teokrasi, Maupun Agamis
Mengatakan bahwa negara ini bukanlah negara sekuler, bukan pula negara teokrasi atau negara agamis, bagi mereka yang tidak memahami problem ideologis bangsa ini, akan terdengar absurd. Namun pada kenyataannya, itulah “cara yang tepat” bagi mayoritas masyarakat Indonesia, secara ideologis, dalam memandang negerinya sendiri.
Indonesia merupakan negara hukum yang mengakui eksistensi masyarakat yang meyakini agama dan keyakinannya masing-masing. Sungguh merupakan aplikasi dari contoh yang telah dilakukan oleh Rasulullah di negara Madinah dengan mengakomodir semua agama. Bahkan suku yang tidak beragama sekalipun disatukan dalam sebuah masyarakat yang dipimpin Rasulullah, yaitu Masyarakat Yatsrib, yang berlandaskan Piagam Madinah.
Sistem yang dibangun Rasulullah dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern saat ini; dapat dikatakan bahwa sistem tersebut merupakan sistem politik par excellence.
Sehingga jika dilihat dari tujuan dan fundamental maknawi di mana sistem itu berpijak, tidak salah untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius. Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter sekaligus, karena hakikat Islam yang sempurna telah merangkum urusan-urusan materi dan rohani.
Dalam politik Islam dikenal konsep kepemimpinan. Untuk memahami konsep tersebut maupun jenis negara yang ada dalam khazanah Islam itu sendiri, perlu untuk terlebih dahulu memahami definisi makna dari konsep kepemimpinan dari sisi etimologi maupun terminologi.
Di antara konsep kepemimpinan negara, terdapat berbagai sebutan untuk kepala negara. Seperti khalifah, amirul mu’minin, perdana menteri, presiden, dan sultan. Semua gelaran itu tidak ada yang bertentangan dengan hakikat syariat Islam yang diciptakan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan umum manusia dan makhluk Tuhan lainnya.
Cita-cita dan harapan dari segelintir komunitas yang mewacanakan mengganti model negara bangsa menjadi negara agama boleh dibilang hanya ilusi belaka. Hal itu karena perkembangan dan tuntutan zaman yang berbeda, tidak bisa dimungkiri bahwa Islam sekarang hampir tersebar ke seluruh belahan dunia.
Perkembangan Islam Itu Menyesuaikan Zaman
Orang Indonesia harus memahami perkembangan Islam, tidak dengan cara yang satu, melainkan berubah-ubah menurut masa dan waktunya. Oleh karenanya, para ahli tafsir ketika menafsirkan ayat:
صُحُفِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسى
(QS. al-A’la: 19), sering mengutip pesan utamanya:
يَنْبَغِي لِلْعَاقِلِ أَنْ يَكُوْنَ حَافِظًا لِسَانَهُ عَارِفًا بِزَمَانِهِ مُقْبِلًا عَلَى شَأْنِهِ
“Hendaknya orang berakal menjadi pribadi yang menjaga lisannya, mengetahui perkembangan zamannya dan menunaikan tugas-tugasnya.”
Masa sekarang sudah tidak ada khalifah. Tidak ada negara Islam, semuanya negara nasional. Sebab, model negara yang ada saat ini sudah final dan jelas dari sisi arah, tujuan, sistem, dan mekanisme ketatanegaraannya. Sementara model negara yang diwacanakan belum jelas arah, tujuan, sistem, dan mekanisme ketatanegaraannya.
Seluruh generasi muda, terutama para bapak bangsa, harus belajar mengisi kemerdekaan ini dan memahami dinamika politik yang sangat tinggi sebagai salah satu ciri bangsa yang sedang berkembang.
Agar para generasi muda tidak mudah kena penyakit ‘galau’, yang berakibat hilangnya jadi diri sebagai generasi harapan bangsa; untuk mengisi sistem bernegara yang sudah dipersiapkan oleh para founding father melalui tetesan keringat, air mata, dan darah.
Pada satu sisi, fenomena ‘perilaku galau’ dari sebagian anak bangsa yang mewacanakan dan bahkan memobilisasi massa untuk mendukung konsep khilafah Indonesia menjadi tanggung jawab bersama. Tidak terkecuali orang tua, guru, tokoh pendidik, dan tokoh masyarakat lainnya.
Pada sisi lain, tentu sangat mendesak bagi seluruh lapisan masyarakat dan semua komponen bangsa untuk ikut serta mengambil peran strategis; sehingga dapat menyiapkan serta meningkatkan wawasan kebangsaan dan memperkuat semangat nasionalisme yang berlandaskan pada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
Bukan Khilafah, Melainkan Pancasila Sebagai Falsafah Dasar Indonesia
Sebagai manusia Indonesia yang berwatak republik, tentu sikap diam bukanlah cara cerdas dan tuntas dalam menghadapi fenomena-fenomena bernama negara agama yang bermimpi bisa menjebol pertahanan kekuatan negara bangsa.
Yang mana sejak dilahirkan oleh para tokoh bangsa, telah menjadikan nilai-nilai agama sebagai dasar dan falsafah yang tidak lekang dimakan zaman; dan tidak terkalahkan oleh paham-paham yang berkembang dan diterapkan pada banyak negara.
Jati diri bangsa para generasi muda harus dikokohkan dalam mempertahankan Pancasila sebagai falsafah dasar negara, dan bukan falsafah dasar beragama. Bila wacana tersebut dapat diwujudkan dalam segala gerak-gerik berbangsa, wacana negara apapun pada akhirnya tidak akan dapat menggoyahkan semangat nasionalisme kebangsaan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.
Editor: Zahra