Derita Manusia di Taman Fatamorgana
Secara subtansial, masalah yang dihadapi oleh manusia ialah karena dia tidak pernah puas dengan apa yang sudah didapatkannya.
Setiap kali dia mendapatkan sesuatu, maka terbayanglah di pelupuk matanya yang lain yang didambakannya pula. Keinginan yang lebih “wah”, yang lebih mewah, yang lebih prestisius, yang bergensi, dan yang dapat menyilaukan mata orang lain, dalam rangka menunjukkan kedigdayaan diri di khalayak dunia maya dan dunia nyata.
Maka, dia akan berusaha mati-matian untuk mendapatkannya demi ambisi, materi, kursi, gensi, dan sensasi demi meraih puja-puji di wilayah publik kesohoran fatamorgana.
Sang pembawa risalah agung, Rasulullah Saw, mengingatkan manusia tentang tabiat ketidakpuasan tersebut, seperti sabdanya:
“Seandainya turunan Adam memiliki dua lembah emas, niscaya dia menginginkan lembah emas yang ketiga. Hanya tanah saja yang dapat memenuhi rongga perut turunan Adam. Dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Setelah terpenuhi ambisi, gensi, sensasi, dan telah mendapatkan materi dan kursi, serta telah meraih “mabuk” puja-puji di wilayah publik kesohoran fatamorgana, justru ia berlaku memutar arah.
Ia merasa letih mengikuti alur ambisi, gensi, dan sensasinya sendiri. Dia bosan dengan materi yang mati-matian diusahakannya. Dia gelisah dengan kursi “panas” yang didudukinya. Padahal dahulu, sangat ia rindukan dan ia rebut demi kepuasan.
Gambaran seperti itu umpama “Liuk dan kemerduan suara suling yang rindu kembali ke pokoknya (batang/pohon).” (Bait Masnawi Jalaluddin Rumi).
Menurut Yunasril Ali (2002: 130), sebenarnya, menurut kesaksian biologis, manusia adalah spesies istimewa. Karena kemampuannya bertahan dan beradaptasi dengan segala bentuk situasi dan kondisi.
Ketika menemukan jalan buntu, justru ketika itu pula dia menemukan jalan baru. Ketika terhimpit seribu-satu persoalan, justru bersama dengan itu pula dia mampu menempatkan segalanya itu di bawah telapak kakinya.
Ketika jalan di bumi telah tertumbuk, maka dia mi’raj ke langit, mentransendensikan dirinya ke Pusat Kasih Sayang. Itulah misteri manusia.
Roh Istimewa
Dengan demikian, dia sebenarnya bukan hanya spesies istimewa, karena unsur-unsur biologisnya, tetapi lebih-lebih lagi karena di dalam dirinya ada sesuatu yang istimewa, yaitu roh.
Mengapa roh dalam jasad manusia itu istimewa? Karena dimensi jasad (jasmani/fisik) berasal dari tanah, dan dimensi jasad (jasmani/fisik) memiliki sifat-sifat ketanahan, yakni bisa merasa puas dan kenyang dengan hal-hal yang bersifat ketanahan (asesoris jasmani dan pernak-pernik fisik serta dorongan pemuasan akan ambisi, materi, kursi, gensi dan sensasi yang bersifat nafsu), dan selanjutnya akan kembali kepada tanah, asal kejadiannya.
Sedangkan, dimensi roh (spiritual/rohaniah) yang bersumber langsung dari Tuhan, memiliki sifat-sifat keilahiahan (ketuhanan), maka dia rindu untuk berada di sisi Ilahi, dan hanya merasa terpuaskan dengan selalu bersama Tuhan dan di dalam-Nya.
Inilah yang terkandung dari sinyal langit Ilahiah yang menyatakan:
“Ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS. Al-Ra’d {13}: 28)
Hidup memang mencari kebahagiaan, namun belum tentu mampu mendapatkan ketentraman kalbu, bila chips tidak mampu ber-tajalli kepada-Nya hingga berpendar pada semesta luas dan dapat mengekses “aplikasi”-Nya secara utuh.
Dan salah satu cara dan strategi untuk mampui mengekses-Nya adalah dengan habituasi karakter ihsan pada kehidupan aktual.
Habituasi Karakter Ihsan Melahirkan Manusia-Tauhid
Habituasi adalah pembiasaan pada, dengan, atau untuk sesuatu; penyesuaian supaya menjadi terbiasa (terlatih) pada habitat.
Sedangkan yang dikatakan karakter ihsan adalah seperti dalam hadis Rasulullah Saw yang menyatakan:
“Ihsan ialah bahwa engkau mengabdi kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak nelihat-Nya, (engkau rasakan) bahwa Dia melihatmya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, ihsan adalah puncak keimanan. Pada taraf iman, mukmin meyakini dengan sepenuh kalbunya akan adanya Tuhan, tetapi ketika sampai pada taraf ihsan, Muhsin merasakan kehadiran Tuhan sepanjang hajatnya. Oleh sebab itu, setiap kali dia akan terjebak kepada perbuatan terkutuk, dia merasakan ada “tangan” gaib yang mencegahnya.
Untuk melihat bagaimana habituasi karakkter ihsan pada kehidupan aktual, maka ada baiknya melihat kilas balik di dalam sejarah. Sebagaimana yang umum diketahui, bahwa termasyhur cerita pertemuan antara Ibnu Umar dengan anak kecil sang pengembala kambing.
Saat Ibnu Umar melakukan perjalanan di luar kota Makkah Al-Mukarramah, Ibnu Umar r.a melihat seorang anak kecil sang pengembala yang mengembalakan sejumlah puluhan kambing di hamparan padang yang luas. Terjadilah komunikasi antara Ibnu Umar dan seorang anak kecil sang pengembala kambing tersebut:
***
“Duhai anak kecil, sang pengembala kambing, jual lah seekor kambingmu ini kepadaku!” Pinta Ibnu Umar.
“Mohon maaf Bapak, puluhan kambing ini bukanlah milikku, tetapi semua kambing ini adalah milik tuanku. Aku hanya sekedar menggembalakannya saja.” Jawab anak kecil yang mengembalakan kambing tersebut.
“Katakan saja pada tuanmu, bahwa ada serigala yang menerkam seekor kambingnya.” Sahut Ibnu Umar.
Anak kecil, sang pengembala kambing membantah, “Wahai Bapak, bukankah Allah Swt senantiasa mengetahui yang sebenarnya atas apa yang kita lakukan?!”
Ibnu Umar terdiam. Ia terharu. Ternyata anak kecil, sang pengembala kambing memiliki karakter ihsan dan merupakan manusia-tauhid yang autentik. Ibnu Umar merasakan mendapatkan pelajaran habituasi karakter ihsan yang luar biasa dari seorang anak kecil, sang pengembala kambing. Dan…tak lama kemudian hari, Ibnu Umar pun membebaskan anak kecil, sang pengembala kambing itu dari perbudakan.
Dari cerita di atas, jelaslah, bahwa habituasi karakter ihsan akan melahirkan sosok manusia-tauhid yang berjiwa ihsan. Selain itu, habituasi karakter ihsan bukanlah usaha dan kemampuan yang hanya bisa dilakukan oleh para nabi, rasul, wali Allah, alim, ulama, rohaniawan, agamawan saja. Bahkan habituasi karakter ihsan juga dapat dilakukan seorang budak, sang pengembala kambing. Hanya tinggal usaha dan upaya sekuat tenaga untuk membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Transformasi Habituasi Karakter Ihsan pada Kehidupan Aktual
Banyak usaha dan daya upaya yang dapat dilakukan supaya karakter ihsan dapat menjadi jiwa-raga (lahir-batin), yakni dengan melakukan transformasi pengetahuan, pemahaman, hingga melahirkan kebijaksanaan tentang karakter ihsan. Lalu mengembangkannya pada habituasi (pembiasaan dan latihan) dalam setiap detak dan detik kehidupan yang diarungi.
Adapun transformasi habituasi karakter ihsan pada kehidupan aktual yang dapat mendarah-daging dalam jiwa-raga (lahir-batin) sang hamba Tuhan adalah:
Pertama, karakter ihsan adalah ciri autentik seorang Muslim.
Menurut Madjid (1987: 175), bahwa seorang Muslim adalah seorang yang senantiasa modern, maju, progresif, terus-menerus mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi diri dan masyarakatnya.
Dan inilah yang disebut ihsan (harfiah: memperbaiki), salah satu dari dua perintah Tuhan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu akan keadilan dan ihsan.” (QS. {16}: 90)
Kedua, karakter ihsan wujud penghayatan sedalam-dalamnya akan kehadiran Tuhan.
Ihsan adalah penghayatan yang sedalam-dalamnya akan kehadiran Tuhan: Ketika kita menyembah kepada Tuhan seolah-olah kita melihat-Nya (al-ihsan-u huwa an ta’bud-a’l-lah-a ka annaka tara-hu).
Dalam hadis ini, memang seolah-olah dibolehkan kita mempunyai bayangan tentang Tuhan karena kita tidak mungkin berpikir secara abstrak murni. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa gambaran kita tentang Tuhan tidak boleh dimutlakkan, apalagi menggambarkan Tuhan sebagai bayangan kita yang pada akhirnya Tuhan seperti ciptaan kita sendiri. Inilah yang dinamakan berhala (Madjid, 2002: 74).
Ketiga, karakter ihsan merupakan etos bekerja profesional.
Sebagaimana dijelaskan Madjid (2002: 26), bahwa untuk mencapai nilai optimal, agama memberi petunjuk agar kita tanamkan dalam diri kita etos ihsan, yang secara harfiah berarti bekerja sebaik-baiknya.
Dalam bidang keruhanian murni, Nabi Saw, memberi petunjuk, “ihsan ialah bahwa engkau menyembah Tuhan seolah-olah engkau melihat Tuhan itu.” (Hadis: Rasulullah Saw, ditanya tentang ihsan, lalu beliau jawab), “Yaitu hendaknya engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihatnya, maka (ketahuilah) Dia itu melihat engkau.” (Hadis Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ibn Majah, dan Ahmad).
***
Keempat, karakter ihsan adalah pangkal kesuksesan dalam semua bidang kehidupan.
Dari sudut agama, pangkal kesuksesan dalam semua bidang kegiatan ialah ihsan. Nilai keruhanian ini melandasi kesungguhan dan dedikasi, menuju kepada optimalisasi kerja sehingga menghasilkan sesuatu yang sebaik-baiknya. Ini bukanlah anjuran untuk perfeksionisme, melainkan optimisme (Madjid, 2002: 25).
Kelima, karakter ihsan merupakan kedekatan kalbu rohani pada Ilahi.
Durasi hidup yang terus maju, dalam ruang dan waktu yang sudah ditentukan. Hamba Tuhan senantiasa berusaha dengan daya upaya untuk memantapkan “gelombang” chips–nya pada lokus kalbu yang ber-tajalli kepada-Nya.
Inilah sinyal langit menjelaskan dekatnya sang hamba dengan Tuhannya, selama ia mampu menjauhi eksis aura negatif dan virus godaan (setan) dalam kehidupan yang bisa merusak kesubliman kalbu. Seperti firman Allah:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada nadi lehernya.” (QS. Qaf {30}: 17)
Keenam, karakter ihsan wujud kesadaran diri dalam liputan “kamera” Ilahi.
Dalam dunia maya dan dunia nyata, semua yang menggunakan HP “pintar” dapat mensosialitakan dirinya ke jagad maya. Jejak digitalnya tidak dapat hilang selama masih tersimpan di langit. Begitu pula dengan rekaman kamera dan liputan video dan bidikan poto kamera. Dokumen itu tersimpan dengan rapi.
***
Analogi tersebut sangat pas, bagaimana para para malaikat Allah (Rakib-Atib) mendukumenkan segala sepak-terjang sang hamba selama hidupnya, dan begitu telitinya rekaman awal hidup hingga ajal menjeput tersimpan dalam “kaset-hitam-putih” (semisal “CD”) yang bisa diputar ulang kapan pun dan dimana pun. Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah:
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula pembicaraan antara jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadalah {58}: 7)
Ketujuh, karakter ihsan mengajarkan sikap mawas diri dan waspada terhadap perhitungan (hisab) Tuhan.
Tuhan tidak pernah tidur, sehingga Dia tidak pernah lalai satu detik pun untuk mengetahui sepakterjang manusia dalam kehidupannya. Hal tersebut termaktup dalam firmanNya:
“Dan jangan sekali-kali anda mengira bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Cuma Dia mengulur waktu kepada mereka sampai datang suatu saat yang pada waktu itu terbelalak mata mereka.” (QS. Ibrahim {14}: 42).
Dari ketujuh nilai transformatif dari habituasi karakter ihsan pada kehidupan aktual dapat menjadi jati diri di wilayah publik, tentu tidak akan ada perilaku asosial, amoral, dan abnormal, serta asusila.
Maka, menjadi kewajiban pribadi masing-masinglah usaha dan daya upaya untuk mentransformasi habituasi karakter ihsan pada kehidupan aktual, baik sebagai umat beragama maupun sebagai warga bangsa yang beradab.
Editor: Yahya FR