Feature

Iman dan Darah

2 Mins read

Ritual pengorbanan adalah salah satu dari ritual yang sudah sangat tua dalam sejarah manusia. Ritual ini ditemukan di berbagai tradisi keagamaan berbagai suku. Hubungan antara manusia dengan Zat yang diyakini sebagai Maha Kuasa ditandai dengan ritual persembahan dari barang-barang yang dimiliki manusia, baik hewan, hasil pertanian, bahkan manusia.

Di dalam ritual pengorbanan masa lalu, terutama pengorbanan hewan dan manusia, darah adalah intinya. Darah diyakini sebagai inti kekuatan hidup yang disucikan. Melalui darah yang dialirkan, tuhan menjadi hidup, dan karenanya, manusia dan alam juga hidup.

Potensi yang diyakini ada di dalam darah korban digunakan untuk berbagai tujuan. Intinya adalah dewa atau tuhan harus “disuap” agar dia berbaik-baik pada manusia. Jika tidak memberi berkah, setidaknya sang dewa tidak memusuhi manusia dan berbuat aneh-aneh yang mengakibatkan bencana. Berbagai kajian sejarah dan antropologi mencatat bahwa berbagai ritual korban di masa lalu berkaitan dengan kesuburan, penyucian, dan penebusan dosa. 

Korban persembahan harus disesuaikan dengan selera dewa atau tujuan dari pelaku ritual. Dewa tertentu hanya cocok dengan kurban tertentu. Misalnya, dalam ritual korban kaum Vedic, Dewi Malam dan Pagi diberi persembahan susu sapi hitam yang memiliki anak berwarna putih. Dewa Indra mendapat persembahan sapi, sedang Dewa Surya mendapat persembahan kambing jantan putih.

Di masyarakat Yunani Kuno, binatang berwarna hitam dipersembahkan bagi para Dewa Dunia Kegelapan. Kuda-kuda yang berlari cepat disembelih untuk dipersembahkan pada Dewa Matahari, Helios. Babi yang sedang hamil dipersembahkan pada ibu bumi, Demeter.

Itulah beragam catatan sejarah tentang ritual korban yang seluruhnya dipersembahkan untuk dewa atau tuhan. Tuhan diperlakukan sebagai monster serakah yang kelaparan dan minta dipuasi dengan minum darah persembahan.

Baca Juga  Mencoba Memahami Iman Menggunakan Nalar

Tuhan dilukiskan sebagai raksasa pemarah yang  selalu mengancam kehidupan manusia. Amarahnya hanya bisa diredam melalui persembahan korban. Tidak cukup dengan darah binatang, bahkan ada beberapa dewa yang begitu kejamnya hingga minta darah anak laki-laki terbaik atau perawan yang belum terjamah tangan lelaki. 

Idul Adha yang merupakan momentum ibadah korban merevolusi konsep ritual korban ini. Ketika Nabi Ibrahim, Bapak Tauhid bagi umat Yahudi, Nasrani, dan Muslim, hendak mengorbankan putra tercintanya, Ismail (atau Ishak), Allah menggantinya dengan seekor domba. 

Anda boleh memiliki tafsir apapun tentang kisah Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan putranya atas nama ketundukan pada Allah. Tapi pada akhirnya, Allah mengganti sang putra  dengan seekor domba. Ketika domba tersembelih, binatang itu tidak disajikan untuk dinikmati Allah, tapi untuk dinikmati manusia. Allah tidak mengunyah daging domba dan ketika haus meminum habis darahnya.

Ketika Allah meminta manusia untuk berkorban, yang dia minta dari hamba-Nya adalah keimanan dan ketakwaan pada-Nya. Konsep keimanan dan ketakwaan dalam ibadah korban tidak diwujudkan dengan memberi daging dan darah pada Allah. Alih-alih meminta daging dan darah, yang diperintahkan Allah pada hamba-Nya adalah berbagi dengan orang-orang tak mampu. Berbagi dengan mereka yang tersingkirkan, yang menikmati setusuk sate adalah sebuah kemewahan, di saat segelintir orang bisa menggelar pesta yang berharga milyaran.

Dalam surah al-Hajj ayat 37, Allah berfirman: “Daging dan darah korban itu sekali-kali tidak akan sampai pada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.” Ayat ini didahului dengan ayat yang menjelaskan dimana daging hewan korban itu untuk dibagikan kepada orang yang tak mampu. Sekalipun, bisa juga dimakan oleh orang yang berkecukupan.

Baca Juga  Menakar Kemampuan Berkurban Kita

Inti ibadah korban adalah berbagi dengan orang lain. Allah tak kelaparan hingga membutuhkan daging. Allah juga bukan drakula yang mulutnya berlepotan darah. 

Agama ini diturunkan tidak untuk memuasi kelaparan Allah. Perintah menyembelih binatang korban dalam Islam bukanlah ritual persembahan darah. Ini adalah pembuktian keimanan dan ketakwaan. Dan, bukti keimanan dan ketakwaan itu adalah dengan mewujudkan kasih sayang dan berbagi kebahagiaan dengan mereka yang dirundung kemalangan.

Dengan mengambil pelajaran dari Gus Dur bahwa “Tuhan Tak Perlu Dibela”, kita bisa memahami bahwa Tuhan tak perlu diberi makan karena Dia tak pernah kelaparan. Tuhan tak perlu disiapkan hidangan minuman darah karena Dia tak pernah kehausan. Yang butuh bantuan makanan dan minuman adalah mereka yang kelaparan. 

Semoga Idul Adha ini mengingatkan kita, bahwa wujud keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah adalah berkorban untuk kebaikan kemanusiaan. Bukan justru sebaliknya, berteriak membela Tuhan dengan mengorbankan manusia dan kemanusiaan.

Ahmad Zainul Hamdi
27 posts

About author
Pimpinan Umum Arrahim.id; Direktur Moderate Muslim Institute; Senior Advisor Jaringan GUSDURian Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds