Perspektif

Libur Dua Hari karena Berbeda Idul Adha: Wujud Moderasi Beragama

3 Mins read

Libur Idul Adha tahun ini ditetapkan dua hari yaitu tanggal 28 dan 29 Juni 2023. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2023 yang ditandatangani Presiden Jokowi 22 Juni 2023. Meskipun secara eksplisit tidak tertulis, publik paham bahwa keputusan presiden tersebut terkait akomodasi lebaran haji “versi” Muhammadiyah.

Muhammadiyah yang mempedomani metode hisab wujudul hilal (perhitungan astronomis), telah menetapkan Idul Adha 10 Dzulhijah 1444 H bertepatan 28 Juni 2023, pas sehari setelah jemaah haji wukuf (puncak ibadah haji) di Arafah. Sementara. pemerintah (baca: NU) melalui metode imkanur rukyat (melihat langsung) menetapkan lebaran haji, 10 Dzulhijjah 1444 H bertepatan dengan tanggal 29 Juni 2023.

Keputusan Presiden Jokowi tersebut meneguhkan sikap pemerintah selama ini, terkait tata kelola agama yakni komitmen mainstreaming moderasi beragama. Sejak pemerintahan Jokowi, melalui Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pemerintah gencar melakukan program moderasi beragama.

Penguatan Moderasi Beragama

Rekognisi pemerintah terhadap Idul Adha “versi” Muhammadiyah tanggal 28 Juni 2023 menarik untuk cermati. Apalagi ketiga menteri (Menag, Menaker, dan Menpan RB) yang menandatangani hari libur nasional dan cuti bersama semuanya berlatar belakang NU. Hemat kami, keputusan ini merupakan contoh implementasi moderasi beragama yang dipraktikkan pemerintah.

Sejak pemerintahan Jokowi periode pertama (2014-2019) sampai dengan sekarang, pemerintah Indonesia meluncurkan berbagai program penguatan moderasi beragama. Kementerian Agama RI menjadi leading sektor implementasi program moderasi beragama. Apapun program di Kementerian Agama selalu dikaitkan dengan moderasi beragama.

Beberapa di antaranya adalah Rumah Moderasi Beragama (RMB), Masjid Pelopor Moderasi Beragama (MPMB), Penyuluh moderat, Tafsir Alquran moderasi beragama, Indeks moderasi beragama, dan lain sebagainya. Ada kesan “apapun makanannya, minumnya moderasi beragama” (Sofanudin, 2023). Pemerintah dan Kementerian Agama RI juga menyusun peta jalan (road map) moderasi beragama tahun 2020-2024 (Tim Pokja Kemenag, 2020).

Baca Juga  Pilkades Serentak dan Wajah Demokrasi Kita

Penguatan moderasi beragama menjadi arah kebijakan negara untuk menciptakan tata kehidupan beragama yang harmonis, rukun, damai dan toleran. Kebijakan penguatan moderasi beragama diperkuat lagi dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2023 yang secara spesifik membentuk Badan Moderasi dan Pengembangan SDM.

Tata Kelola Agama

Tata kelola agama oleh negara sejak era Presiden Soekarno sampai dengan Presiden Jokowi jika disederhanakan meliputi tiga isu sentral, yakni isu layanan keagamaan, kerukunan umat beragama dan moderasi beragama.

Pertama, isu layanan keagamaan. Isu ini dimulai dari pembentukan Kementerian Agama RI pada 3 Januari 1946. Layanan keagamaan pada masa itu terbatas pada persoalan NTC (nikah, talak, dan cerai), penerangan agama Islam, dan pendidikan agama Islam. Melalui KMA No 2/1185/KJ/1946, Kementerian Agama hanya melakukan layanan agama minimalis (Islam dan Kristen).

Layanan keagamaan pada era sekarang ini semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Saat ini, ada enam agama besar yang dilayani oleh Kementerian Agama RI. Selain itu, ada 164 penghayat kepercayaan yang tergabung dalam MLKI yang dilayani oleh Direktorat KMA Kemendikbud Ristek Dikti.

Layanan pencatatan perkawinan menguat pada era Presiden Soeharto dengan lahirnya adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada era Jokowi regulasi ini disempurnakan terutama terkait batas usia perkawinan, menjadi 19 (sembilan belas) tahun.

Selain itu, perluasan layanan umat beragama dan kepercayaan muncul dengan munculnya berbagai regulasi: pengelolaan zakat (UU 23/ 2011),  Jaminan Produk Halal (UU 33/2014), penyelenggaraan haji dan umrah (UU 8/ 2019) dan pesantren (UU 18/ 2019). Sebelumnya juga muncul PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Isu lain adalah tentang Surat Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional tanggal 24 Januari 2006 tentang Pemenuhan hak-hak sipil bagi penganut agama Konghucu. Demikian juga melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017 para penghayat kepercayaan dapat dilayani administrasi kependudukannya.

Baca Juga  Kritik Hendropriyono Soal Palestina, Mu'ti : Bukan Sikap Negarawan

Kedua, isu kerukunan umat beragama (KUB).  Di dalam isu KUB terdapat beberapa sub isu terkait perlindungan agama, penyiaran agama, dan pendirian rumah ibadat. Hal ini jelas terlihat pada UU Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 tentang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Setelah itu, lahirlah SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya (Lubis, 2022).

Terkait dengan penyebaran agama, SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1979 Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Dalam regulasi ini mengartikan penyiaran agama sebagai segala kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran sesuatu agama.

PNPS 1965 kerapkali digunakan untuk melindungi kepentingan agama ketika ada “penyimpangan” agama.  Misalnya terkait SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, Tahun 2008 tentang “Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Pada era Soeharto familiar jargon trilogi kerukunan umat beragama; internal umat, antar umat beragama, dan umat beragama dengan pemerintah. Pada periode SBY, muncul PBM Nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan KUB, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan pendirian rumah ibadat.

What Next?

Berbeda dengan sebelumnya, kebijakan pengelolaan kehidupan beragama era Jokowi menggunakan pendekatan moderat. Sebagai contoh pelarangan ormas HTI dan FPI tidak dengan cara kekerasan ataupun pengadilan. Melalui Perpu No 2/2017, organisasi HTI dilarang tetapi orangnya tidak ditangkap/dipenjara (Burhani 2021).

Pendekatan serupa dilakukan ketika menetapkan Hari Santri melalui Kepres 22 tahun 2015 yang sedikit banyak mengakomodir kalangan NU. Kepres baru Nomor 16 Tahun 2023 ini pada dasarnya upaya pemerintah mengakomodir aspirasi warga Muhammadiyah. Pendekatan moderat, terbukti bisa menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah.

Baca Juga  Kala Orientalis Meragukan Keotentikan Al-Qur'an, Begini Jawaban Logis dari Ulama Muslim

Saat ini, masyarakat menunggu pendekatan moderat pemerintah untuk penyelesaian kasus keagamaan lain seperti problem Pesantren Al-Zaytun Indramayu Jawa Barat. Wallahu’alam.

Editor: Soleh

Aji Sofanudin
5 posts

About author
Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *