Perspektif

IMM Bukan Ikatan Mahasiswa Manja

5 Mins read
Oleh: Ode Rizki Pratama*

Tulisan IMM Bukan Ikatan Mahasiswa Manja ini dimaksudkan sebagai argumentasi bantahan terhadap esai kawan saya, Akmal di kanal Ibtimes.id (30/10/19) dengan judul Ikatan Mahasiswa Manja.

Akmal yang baik dan para pembaca yang budiman, pinarak setelah membaca esai ini, saya kira pikiran kalian akan berubah. Tapi jangan lupa, siapkan kopi dan rokok sebatang biar tetap santuy.

Kamis kemarin, di sela-sela acara makan malam bersama beberapa kawan Youth Leaders Peace Camp, tak sengaja saya membuka Twitter dan muncul di linimasa saya cuitan dari akun @IBTimesID. Judulnya cukup mengundang penasaran saya sebagai kader IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Judul itu seperti yang ada di paragraf awal tulisan ini.

Awalnya, saya pikir dalam hati “wah tulisan ini sepertinya bagus nih, kayaknya penulisnya cukup kritis melihat IMM. Tak banyak loh kader yang bisa melakukan autokritik terhadap organisasinya sendiri dengan argumentasi naratif seperti ini”. Tapi setelah membacanya tuntas, kiranya tulisan Akmal itu patut diberi bantahan.

Pernyataan Tidak Butuh Jawaban

Untuk itu saya menaruh dua poin penting, yaitu soal logika yang dipakai dan argumentasi pendukung serta evidence (bukti)-nya yang saya kira agak bermasalah.

Pertama, kawan Akmal yang baik, saya apresiasi karena saudara bisa mengkritik organisasi ini dengan esai dan barangkali maksud saudara ada juga yang benar bahwa, sebagian Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) terlalu ‘meninabobokan’ IMM. Sebab, sebagian kader, kritik dengan cara elegan seperti ini mereka tak sanggup.

Kebanyakan dari meraka paling menyek hanya sambat dalam hati dan separuh memilih mundur alon-alon dari IMM setelah tau organisasinya tidak bebas dari masalah. Itu tidak hanya di IMM, organisasi lain saya kira mengalami hal yang sama. Apalagi menawarkan solusi, saya pikir kok telalu jarang bagi mereka.

Tapi Akmal, dalam hal ini kita perlu menyusun argumen dengan baik. Di bagian awal saudara mengatakan, ada kawan HMI mengajukan satu pernyataan bahwa ‘IMM itu Ikatan Mahasiswa Manja’ dan saudara sampai saat ini berfikir untuk menjawabnya.

Baca Juga  7 Tips Jitu, Menulis 25 Buku Dalam Satu Tahun Era Covid-19

Saudara, secara logika ini keliru. Ingat “pernyataan” itu tidak butuh jawaban, yang dibutuhkan adalah bukti argumentatif (dukungan jika setuju, atau sebalinya bantahan kalau tidak setuju). Sedangkan, hal itu layak dicari jawabannya jika itu berupa ‘pertanyaan’ (baca buku logika).

Argumen yang Melompat dan Bukti yang Kurang

Kedua, menurut saya, di bagian selanjutnya saudara banyak menyusun argumen yang tidak nyambung, dalam bahasa lain bisa disebut melompat. Misalnya, di sini “… ikatan ini belum dapat sama sekali disebut sebagai organisasi yang mandiri, berdiri di atas kaki sendiri. Dalam banyak kesempatan IMM masih mengekor kepada Muhammadiyah (jika tidak ingin dikatakan menyusu)”. 

Dalam argumen ini, selain gagal menaruh batasan yang jelas, saudara coba menyokongnya dengan dua pendukung yakni soal kebijakan khusus di PTM dan kemandirian ekonomi IMM serta akibat pragmatisme proposal fiktifnya. Namun, secara ide saudara rapuh. Terlihat tertatih-tatih untuk mengatakan sistem ekonomi mandiri adalah kunci kemandirian IMM.

Di samping itu, bukti yang saudara sampaikan tidak tertata dengan baik dan jelas. Padalah hal itu bisa saja benar jika ada data berupa hasil riset terukur yang saudara lampirkan. Maka tidak salah bila esai itu dikatakan sempit, sebuah generalisasi kosong dan mengada-ngada.

Sebetulnya, secara sederhana ada dua masalah mendasar pada esai saudara; Pertama, keburaman maksud. IMM yang disebut mengekor/didikte itu pada PTM atau pada Muhammadiyah. Kedua, keburaman konsep. Saudara tidak mampu membedakan antara “bergantung hidup” dan “berkiblat watak” pada Muhammadiyah.

Studi Kasus: IMM di Malang

Untuk itu, mari memakai kacamata yang jernih melihat IMM secara lebih luas dan kritis. Saudara juga perlu jalan-jalan ke Malang dan beberapa daerah lain untuk lebih dalam memahami IMM.

Di Malang misalnya, ada PTM yang dikenal dengan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Di kampus tencinta-–dan juga banyak masalah–ini tidak ada kata spesial dan manja bagi IMM. Di UMM tidak ada kebijakan khusus seperti mahasiswa wajib Masta (agenda pra-perkaderan) apalagi DAD (agenda perkaderan).

Baca Juga  Pemuka Agama Harusnya Jadi Penyeru Perdamaian

Semua organisasi kemahasiswaan boleh merekrut dan mengadakan perkaderan di UMM. Sehingga di Malang sangat asik kita dengar ada kader IMM-UMM, PMII-UMM, GMNI-UMM, HMI-UMM dan seterusnya. Mereka semua punya Komisariat di UMM namun tidak difasilitasi kampus hatta IMM tidak dikasih ruang khusus di setiap Fakultas.

Tentu alasan di balik tidak diberikannya kebijakan khusus itu supaya IMM sebagai eksponen Muhammadiyah yang ada di kampus bisa lebih mandiri, kritis, maju dan berdaya saing sesuai prinsip fastabiqul khairat. Alasan ini tentu sangat baik.

Oleh karena itu daya kritis para kader tidak hilang. Bahkan, dalam beberapa kesempatan IMM dan jajaran organisasi mahasiswa ekstra kampus (omek) itu beraliansi untuk melakukan protes (aksi) terhadap kebijakan-kebijakan PTM yang tidak berpihak pada mahasiswa.

IMM Bukan Ikatan Mahasiswa Manja

Dalam keterlibatan saya di IMM Malang misalnya, saya lihat gerakan IMM cukup kuat dan mandiri jika dibandingkan dengan berbagai omek lain. Tentu ini klaim saya, namun dalam kurun lima tahun ini saya hitung yang paling banyak secara keorganisasian mengadakan aksi turun ke jalan (vertikal) adalah IMM.

Juga gerakan sosial kemasyarakatan (horisontal) lainya cukup masif dengan sumbangan lewat crowdfunding serta iuran kader. Tentu ini bukan hal buruk seperti merengek di ketiak penguasa. Sekali lagi, IMM bukan Ikatan Mahasiswa Manja.

Jangan disangka saluran dana dari PTM dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah di Malang itu mudah. Sulitnya minta ampun, urusan administrasi birokrasi, tertib luar biasa kalau ke IMM. Hal ini memicu IMM untuk kreatif mencari dana kegiatan organisasi secara mandiri, misalnya Bidang Ekonomi dan kewirausahaan (Ekowir) Cabang Malang.

Beberapa komisariat membuat inovasi/karya berupa makanan, pakaian, cinderamata untuk dijual saat bazar maupun lewat internet. Langkah itu cukup membantu pendanaan program organisasi. Selain itu ada bantuan suka rela dari saudagar Alumni IMM maupun Muhammadiyah yang dermawan. Tentu tidak terikat.

Walaupun kita semua tahu, sebetulnya secara konstitusinal PTM sebagai bagian dari Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) sudah kewajibannya membiayai (membina) IMM yang ada di wilayahnya. Itu hak spesial IMM yang seharusnya dipenuhi oleh AUM di manapun. Berbeda dengan organisasi lain yang tidak punya AUM misalnya.

Baca Juga  Being Optimistic in the Midst of Calamity

Lebih dari itu, IMM tidak hanya ada di PTM. Walaupun di PTM, IMM berstatus organisasi otonom (Ortom) namun di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) lain ia dianggap omek biasa.  Sama dengan omek lainnya, membangun eksistensi IMM di non-PTM sesungguhnya tidak mudah, sebab tidak semua kampus memberi ruang yang sama untuk Omek.

Akibatnya, soal perkaderan dan pendanaan oganisasi cukup menantang. Sekali lagi mereka harus lebih kreatif untuk itu. Dalam tantangan yang ada, di Malang IMM berhasil berdakwah bahkan di kampus yang berbasis Nahdlatul Ulama, yang secara kultur pandangan keagamaan berbeda. Itu butuh effort yang tinggi dan untuk melakukan itu saya yakin kader manja tidak mungkin bisa.

Kemandirian dan Wacana BUMI

Terakhir sebagai contoh, lebih luas lagi, di wilayah yang berbeda, beberapa kader dari Papua misalnya, mampu secara mandiri mencari sponsor untuk bisa jauh-jauh datang bejalar ke Pulau Jawa. Dalam banyak temuan, di Jawa mereka ikut DAM, forum JIMM, dan berbagai forum pemikrian lainya dengan jumlah dana cukup besar tapi tidak merengek ke PTM.

Oh iya, perlu diingat bahwa realisasi Badan Usahan Milik Ikatan (BUMI) sebagai sektor usaha mandiri IMM sudah pernah dimulai beberapa tahun lalu oleh DPP namun gagal. Sebab, sebetulnya hal itu tidak mendapat dukungan positif dari Muhammadiyah karena alasan kematangan manajerial dan sustainability. Badan usaha hanya oleh dimiliki oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah.

Pun jika mau dipaksakan fokus ortom selain Aisyiyah sebetulnya bukan pada ekonomi persyarikatan namun pada pembangunan sumber daya manusia Muhammadiyah. Itu sebabnya hatta Pemuda Muhammadiyah yang lebih dewasa dan Nasyiatul Aisyiyah tidak punya badan usaha sendiri. Semoga malam ini ada cuitan baru dari akun Twitter @IBTimesID.

Wallahualam bisshawab.

*) Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Malang Raya

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds