Perspektif

Propaganda Takfiri: Dari Teologi hingga Gerakan Politik Ikhwanul Muslimin

4 Mins read

Propaganda “takfiri” bukanlah hal yang baru dalam khazanah keberagamaan masyarakat Indonesia. Ia dibiarkan hidup sebagai konsekuensi dari kebebasan beragama yang diterapkan di Indonesia. Meskipun awalnya propaganda ini berakar pada landasan teologis dan usaha untuk memahami Al-Qur’an dan Sunah. Namun pada taraf ekstrem ia akan mempengaruhi situasi kondusif yang sudah berjalan di negara ini.

Kekhawatiran ini bukanlah tanpa dasar. Kejadian di Mesir beberapa tahun belakang bisa menjadi sebuah refleksi. Di mana propaganda ini, yang saat itu digagas oleh Ikhwanul Muslimin, mempengaruhi situasi politik di Mesir. Sehingga pembahasan mengenai Ikhwanul Muslimin dan propaganda “takfiri” menjadi urgen untuk mengambil pelajaran.

Akar Gerakan Takfiri Ikhwanul Muslimin

Gerakan-gerakan “Takfiri” – mengkafirkan dengan mudah orang-orang yang berbeda pandangan dengannya – yang terjadi di era kontemporer dianggap sebagai perpanjangan tangan dari pemikiran Khawarij, yang pada masa itu keluar dari kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan tidak menganggap kepemimpinannya.

Akar dari pandangan “takfiri” ala Ikhwanul Muslimin sendiri berkembang bersama dengan pendiriannya pertama kali. Di mana Hasan Al-Banna sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin, tidak menganggap adanya kepemimpinan (imāmah) dan adanya negara. Bahkan, dirinya menganggap bahwa siapa pun yang tidak sepakat dengan pandangannya, maka ia termasuk Khawarij itu sendiri.

Pendapat Hasan Al-Banna dimodifikasi oleh Sayyid Qutb dengan istilah yang populer dengan “Jahiliyyatul Ummah” (umat Jahiliyyah), yaitu pandangan bahwa umat dan masyarakat Islam kembali ke masa Jahiliyyah, sehingga para pengikut Ikhwanul Muslimin harus mengisolasi diri dari masyarakat tersebut, bahkan kalau perlu melakukan kudeta terhadap mereka.

Pendapat ini terus diwarisi oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin setelahnya, seperti Hasan Al-Hadhibi yang mengkafirkan gerakan revolusi sebagaimana termaktub dalam kitab pedoman Ikhwanul Muslimin Ma’ālimu ‘alā At}-T}arīqi, Al-Ghazali, hingga Al-Qaradhawi yang mengkafirkan para pengkritik gerakan Ikhwanul Muslimin.

Baca Juga  Beginilah Cara Ikhwanul Muslimin Masuk ke Indonesia

Pendapat-pendapat tokoh terkemuka Ikhwanul Muslimin kemudian diformulasikan menjadi sebuah metode “takfir” yang menginisiasi sebuah pengaturan khusus yang ditujukan kepada “Jamātu al-Muslimīn” (Masyarakat Islami) yang menurut mereka merupakan masyarakat yang mempertahankan gerakan takfir kepada umat Jahiliyyah dan mengisolasi diri dari umat tersebut.

Pengaturan ini disusun oleh Ali Ismail dengan melandaskannya atas prinsip-prinsip dan pokok-pokok ajaran Mu’tazilah dan Khawarij. Di mana keduanya merupakan dua aliran teologis yang kontra dengan Ahlu Sunnah wa Al-Jamā’ah.

Bid’ah Gerakan Takfiri Ikhwanul Muslimin

Gerakan takfiri ini menuai kritik dari beberapa tokoh, salah satunya adalah Dr. Mahmud ‘Assaf. Berkaitan gerakan tersebut, ia menyebutkan beberapa penyimpangan yang dikenal dengan bid’ah. Penyimpangan tersebut bermula dari pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin yang mulai memisahkan diri dari masyarakat dan menamai golongan mereka dengan istilah-istilah yang tidak sesuai dengan mereka. Sebut saja seperti golongan takfir dan hijrah yang mengkafirkan masyarakat ataupun umat, dan golongan yang selamat dari api neraka.

Musthafa Syukri, pemimpin gerakan ini, mengangkat dirinya sebagai pemimpin umat Islam dengan cara mengambil baiat dari pengikut-pengikutnya setelah menunjukkan argumentasi yang melandasi pemikiran takfiri kepada mereka. Ia tidak menghiraukan pendapat salah satu sahabat, apalagi ijmak ulama dan umat karena ia meyakini bahwa sahabat dan ulama adalah manusia pada umumnya.

Dari sinilah kesesatan itu muncul, di mana ia dan golongannya mengkafirkan ulama dan para hakim dari kalangan Muslim. Mereka juga mengkafirkan siapa pun yang mengikuti ulama dan para hakim tersebut. Dengan mengkafirkan mereka, berarti golongan Musthafa Syukri menghalalkan darah, harta, dan kehormatan mereka.

***

Selain berimplikasi kepada darah, harta, dan kehormatan umat, konsep takfir ini juga berimplikasi pada perwalian. Dimana seorang anggota Ikhwanul Muslimin harus membatalkan perwaliannya kepada kedua orang tuanya dan menjatuhkan perwaliannya kepada pimpinan golongan.

Baca Juga  Komentar Ibnu Rusyd Atas Republik Plato

Begitu pula seorang anak perempuan yang perwalian kepada ayahnya tidak dianggap karena posisi ayahnya yang dalam pandangan mereka termasuk golongan kafir. Sehingga hadis “ولا ولاية لكافر على مسلم” (tidak berlaku perwalian seorang kafir atas muslim) diterapkan dalam kasus ini. Dari sini, para pimpinan golongan menikahi para perempuan Ikhwanul Muslimin tanpa persetujuan ayahnya dengan dalih persyaratan baiat.

Prinsip Mu’tazilah yang diadopsi oleh golongan ini adalah tidak menghiraukan syiar Islam, salat, azan, menghafal Al-Quran, dan tidak pula menghiraukan ulama Ahlu Sunnah wa Al-Jamā’ah. Sehingga, meskipun dalam suatu negara hal-hal di atas masih ditemukan, namun ia tetap disematkan oleh golongan ini sebagai negara kafir.

Tentu prinsip ini bertentangan dengan Ahlu Sunnah, di mana suatu negara tetap pada keislamannya selama di dalamnya masih ditemukan azan dan salat, serta masyarakat yang masih memungkinkan menjaga keduanya.  

Dari Teologi Menuju Politik

Prinsip-prinsip teologi Ikhwanul Muslimin di atas bukanlah tanpa dampak negatif yang lebih besar. Penghalalan darah, harta, dan kehormatan muslim lain yang tidak sejalan dengan pandangannya menjadikan Ikhwanul Muslimin menjadi golongan yang keras dan siap melakukan apa pun kepada muslim lain.

Pandangan ini tentunya secara ekstrem akan lebih berimplikasi pada kondusifitas negara, di mana Ikhwanul Muslimin tumbuh sebagai organisasi transnasional.

Hasan Al-Banna sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin, tidak mengakui adanya negara-negara kecil di tengah ketiadaan khalifah. Ia pun tidak mengakui adanya negara-negara yang bermacam-macam.

Bahkan dalam suatu percakapan dengan salah satu rekannya, ia berkata, “Bahwa penderitaan yang diwariskan oleh para penguasa diktator tidak akan bisa dihilangkan kecuali dengan pendirian negara Islam.”

Bahkan Al-Ghazali dalam bukunya Humūmun Dāiyatun halaman 11, menyebutkan bahwa pertikaian yang terjadi dari pendirian negara Islam sebenarnya hanya melahirkan bahaya yang ringan.

Baca Juga  Devide et Impera dan Tradisi Masa Kini, Apa Hubungannya?

Pada kenyataannya, pandangan di atas sudah menjadi prinsip Ikhwanul Muslimin dari sejak berdirinya. Dimana umat ini bagaikan mayat dan masyarakat semuanya dalam keadaan Jahiliyyah. Tidak bisa diragukan lagi, bahwa tidak mengakui adanya negara-negara yang masih tergolong negara Islam dan menolak negara-negara kecil yang berdikari, serta menyembunyikan khurūj (keluar dari pemerintahan yang sah) mengindikasikan adanya kelemahan yang jelas dalam memahami syariat, ketidaktahuan terhadap politik dan sejarah.

Tiga faktor ini seharusnya menjadi perhatian bersama para tokoh dan ulama Muslim di Indonesia, khususnya untuk merekonstruksi pemahaman yang parsial dan fanatis.

Referensi:

Al-Wasifi, Ali As-Sayyid. 2010. Ikhwānu Al-Muslimīn baina Al-Ibtidā Ad-Dīniy wa Al-Iflās As-Siyāsiy. Mesir: Darul Masyariq Al-Islamiyyah.

Al-Isma’ili, Abu Bakr Ahmad bin Ibrahim. 1999. I’tiqādu Ahli Sunnah. Riyadh: Dar Ibnu Hazm.

Editor: Soleh

Muhammad Fiqih Cholidi
2 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal dan Institut PTIQ Jakarta Minat Kajian Islam: Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Teologi, Filsafat Sains, Kosmologi, Filsafat
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *