Oleh: Muhamad Bukhari Muslim*
Suasana perhelatan Tanwir IMM di Lombok berlangsung hangat. Pidato yang disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir disambut gemuruh tepuk tangan oleh peserta Tanwir. Hal itu karena yang disampaikan Haedar dalam pidatonya menyoroti masalah cadar. Sesuatu yang menjadi keresahan warga IMM. Sesuatu yang ditakutkan menjadi ‘alarm’ tentang masuknya paham keagamaan konservatif di tubuh IMM.
Kader-kader ikatan yang progresif merasa bersyukur ketika persoalan ini diangkat langsung oleh pimpinan tertingginya. Sebab hal ini telah lama menjadi bahan diskusi mereka, baik di warung kopi ataupun di forum-forum diskusi. Khususnya anak-anak IMM yang berpikiran maju, paham akan identitas keagamaan Muhammadiyah, dan gelisah terhadap paham keagamaan IMM yang berpotensi berjalan mundur belakang. Berubah orientasinya dari yang dulu inklusif dan berkemajuan menuju ekslusif dan berkemunduran.
IMM dan Cadar
Jujur, kritik yang dilancarkan Haedar Nashir soal cadar tersebut sangat menggigit. Sangat berbeda ketika disampaikan anak IMM sendiri. Itu mungkin karena posisi atau jabatan Haedar sebagai orang tertinggi di persyarikatan. Jabatan yang disandangnya itu membuat isi penyampaiannya soal cadar jadi lebih ber-power dan menghujam ke bawah.
Masuk soal cadar. Saya melihat bahwa
ada semacam kekhawatiran dalam diri Haedar Nashir jika keberadaan IMMawati bercadar itu akan menggerogoti dan mereduksi paham keagamaan ala Muhammadiyah dan menggantinya dengan paham keagamaan yang mereka dapatkan dari luar. Itu tercermin dalam kalimatnya berikut:
“Pertama, secara teknis, (cadar)
mengalami banyak-banyak kesulitan. Kemudian yang kedua, dalam tertib sosial, ada kesulitan untuk saling mengenal. Dalam konteks keperluan publik juga ada urusan-urusan yang memang muka harus tampak. Jadi tidak perlu khawatir, walau demi
kehati-hatian, wajah perempuan muslimah akan tetap punya muru’ah, terjaga dan dijaga. Karena masing-masing baik perempuan muslimah ataupun laki-laki muslim punya marwah, yang kedua punya akhlak, yang ketiga ada hukum, yang keempat ada tertib sosial. Nah, inilah yang dipakai tarjih. Saya ingin anak IMM selesai
soal ini, yakni merujuk pada tarjih. Bagi yang ada punya pemahaman lain karena
mungkin belajar dari tempat lain, maka berilah pemahaman dengan cara bil hikmah (dengan hikmah), wal mauizotil hasanah (nasehat yang baik), wa jadilhum billati hiya ahsan (debatlah mereka dengan cara yang baik).
Perhatikan kalimat beliau bagian, “Bagi
yang ada punya pemahaman lain karena mungkin belajar dari tempat lain, maka
berilah pemahaman”. Hal itu paling tidak sedikit memberi bocoran pada kita bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Haedar dan mungkin juga sebagian anak IMM dari fenomena maraknya IMMawati bercadar bukanlah cadar itu sendiri, melainkan
apa yang berada di baliknya (beyond). Orang dengan kemampuan semiotik
akan mampu menangkap pesan tersebut.
Apalagi jika ditambahkan dengan realitas bahwa banyak dari mereka yang bercadar, sering tidak mengembangkan dan mengamalkan paham keagamaan ala Muhammadiyah. Mereka walaupun telah masuk IMM, masih menerapkan pola pikir keagamaan lain yang secara diametral bertentangan atau bersebrangan dengan Muhammadiyah.
Sebut saja misalnya kelompok Salafi, Tarbiyah, dan Hizbut Tahrir. Mereka masuk ke IMM dengan tetap memakai baju lama yang seharusnya ditanggalkan. Ini harus segera diantisipasi dan dicarikan solusi atau jalan keluarnya.
IMM dan Tantangan Konservatisme
Masuknya arus konservatisme di tubuh IMM sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari masifnya penyebaran paham keagamaan salafi atau paham Islam populis lainnya yang sudah merambah ke generasi milenial, termasuk di dalamnya mahasiswa.
Penyebaran itu dilakukan melalui kajian-kajian keislaman di kampus, halaqah-halaqah atau seminar-seminar. Mereka yang tak mempunyai filter terhadap input informasi keagamaan yang ada, maka mudah untuk dirasuki. Terlebih lagi mereka yang tidak punya dasar (basic) pemamahan Islam yang kuat.
Selain itu, meminjam analisis Mufti Labib Djalaluddin dalam tulisannya Muhammadiyah dan Tantangan Konservatisme, bahwa hal yang menyebabkan paham keagamaan konservatif tersebut dapat masuk dalam tubuh Muhammadiyah adalah semangat puritanisme yang menjadi misi Muhammadiyah itu sendiri dan dengan slogannya “Kembali pada Al-Qur’an dan sunah.”
Hal ini oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan punya niat lain sering dijadikan dalih. Terutama anak-anak IMM yang mempunyai latar belakang salafi. Mereka sering mengatakan, “Sudahlah. Antara salafi dan Muhammadiyah tidak usah dipertentangkan. Toh keduanya punya ajaran yang sama”.
Dari mana mereka bisa menganggap sama? Itu karena kelompok yang memiliki jargon kembali pada Al-Qur’an dan sunah bukan hanya Muhammadiyah, tapi juga ada kelompok Salafi. Jadi, puritanisasi beragama yang dicita-citakan Muhammadiyah sering kali menjadi pintu kamuflase masuknya paham-paham Salafi.
Akibatn, a mahasiswa-mahasiswa ikatan yang diharapkan menjadi ‘cendekiawan berpribadi’, di mana pemikiran-pemikirannya diharapkan dapat memberikan pencerahan pada umat agama dan bangsa, malah terjatuh pada pemahaman yang sempit dan kaku. Sesuatu yang jauh dari harapan dan cita-cita dari IMM itu sendiri untuk kadernya.
Adanya femomena tersebut membuat perkembangan sosio-religius dari kalangan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) menjadi minim. Watak Islam pembaharu Muhammadiyah yang seharusnya juga diemban IMM malah mengalami turbulensi dan penurunan.
Memaksimalkan Internalisasi Ideologi Persyarikatan
Untuk mencegah pemahaman-pemahaman yang demikian masuk dalam tubuh IMM, saya menyarankan agar sosialisasi dan internalisasi ideologi Muhammadiyah harus semakin gencar dilakukan kepada kader-kader.
Seperti diketahui, idelogi Muhammadiyah sebagaimana tertuang dalam buku Memahami Idelogi Muhammadiyah, terkandung tiga hal: Pertama, paham agama Muhammadiyah. Kedua, hakikat Muhammadiyah. Ini pun kemudian dibagi lagi menjadi tiga: Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharuan). Kemudian ketiga, misi, fungsi, dan strategi perjuangan Muhammadiyah.
Nah, di antara kesemua kandungan ideologi Muhammadiyah di atas, bagian yang paling relevan untuk digencarkan internalisasinya dalam menangkal masuknya arus konservatisme di tubuh IMM adalah hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharuan). Kader-kader harus dikenalkan terhadap watak tajdid Muhammadiyah. Atau yang belakangan disebut pasca Muktamar Muhammadiyah 2005 sebagai ‘Islam Berkemajuan’.
Hanya dengan menerapkan dan mengamalkan ajaran Islam berkemajuan ini kader-kader IMM dapat menangkal pengaruh konservatisme beragama. Dan inti Islam berkemajuan, sebagaimana dijelaskan oleh Achmad Jainuri, memiliki tiga aspek: Pertama, filsafat keterbukaan, toleransi, dan pluralitas di mana Muhammadiyah memahami pluralitas budaya.
Kedua, memahami ibadah dalam konteks sosial yang lebih luas. Artinya, pelaksanaan ibadah bukan hanya menggugurkan kewajiban, melainkan bagaimana memaknainya dalam tanggung jawab sosial. Ketiga, filsafat praksis, bahwa Muhammadiyah mementingkan amal daripada berkutat pada wacana teologis yang kurang membumi.
Terakhir, bagi mereka yang baru hijrah ke Muhammadiyah lewat IMM, harus ditekankan bahwa konsekuensi dari menjadi kader Muhammadiyah adalah berjanji untuk mengamalkan ajaran-ajarannya dan memahami idelogi persyarikatan. Hal ini dimaksudkan, seperti telah disinggung di awal, agar mereka tidak masuk ke dalam IMM dengan tetap memakai ‘baju lama’-nya.
*) Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM PK. Ushuluddin, Cabang Ciputat