Falsafah

Immanuel Kant (2): Deontologi dan Imperatif Kategoris

3 Mins read

Tujuh tahun setelah mengeluarkan gagasan cemerlangnya dalam The Critique of Pure Reason, Kant kemudian menerbitkan karya sejenis yang lebih pendek, yaitu Critique of Practical Reason.

Di dalam karya ini, Kant kembali menyoal Tuhan yang sebelumnya tidak bisa didiskusikan, karena tidak tergolong dalam kategori-kategori. Buku ini merupakan bagian etika dari sistem Kant. Di sini, Kant tidak lagi mencari dasar-dasar metafisis bagi persepsi, namun mencari dasar-dasar tersebut bagi moralitas. Apa yang Kant cari ialah hukum moral yang fundamental.

Kant meyakini kemungkinan adanya sebuah hukum dasar. Tetapi, dia melakukan hal tersebut dengan menyingkirkan sesuatu yang dianggap oleh sebagian besar sebagai pernyataan manusia.

Kant menekankan bahwa yang ia cari adalah landasan moralitas dan bukannya isi moralitas tersebut. Untuk maksud ini, sebagaimana yang ia lakukan dalam The Critique of Pure Reason, maka dalam Critique of Practical Reason berlaku landasan yang sama, yaitu diperlukan serangkaian prinsip a priori semacam kategori-kategori.

Bagi Kant, ada 12 macam kategori yang akan mempersepsikan segala hal dari luar: (1) kesatuan; (2) pluralitas; (3) totalitas. Ketiga hal ini disebut aspek kuantitas, sedang untuk aspek kualitas juga ada tiga kategori: (4) realitas; (5) negasi; (6) pembatasan.

Adapun untuk aspek relasi, ada tiga kategori: (7) sunstitusi dan aksidentasi; (8) sebab akibat; (9) komunitas. Pada aspek modalitas, juga ada tiga kategori lagi: (10) kemungkinan-kemustahilan; (11) eksistensi dan non eksistensi; dan (12) keniscayaan-kontigensi.

Moralitas Menurut Kant

Moralitas sendiri bagi Kant, di samping menyangkut sebagai baik dan buruknya manusia sebagai manusia, juga harus mengenai yang baik pada dirinya sendiri. Di mana, yang baik pada dirinya sendiri adalah kehendak baik yang bukan lahiriah.

Baca Juga  Filsafat Intuisionisme: Antara Barat dan Islam

Misalnya, bisa saja seseorang nampak melakukan kebaikan seperti, memberikan sumbangan bagi korban kerusuhan atau berderma untuk tempat ibadah. Tapi hal ini bukan menjamin, bahwa itu perbuatan moralis apabila tujuan yang menyertainya, misalnya untuk mendapatkan pujian atau menarik simpati kelompok tertentu.

Perbuatan secara moral dikatakan baik, apabila mewadahi kehendak baik sebagai realitas batin. Kehendak baik menurut Kant baru baik apabila mau memenuhi kewajibannya. Sehingga, kehendak baik adalah kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri.

Kant dalam hal ini nampak tidak peduli terhadap materi berupa tujuan atau akibat suatu tindakan moral, melainkan melulu bentuknya apakah tindakan itu wajib atau tidak. Prinsip inilah yang kemudian dikenal dengan deontologi.

Pembedaan Kant tentang nilai etis suatu perbuatan yang dilakukan demi tujuan dan perbuatan yang dilakukan demi kewajiban, membawa kita pada formulasi Kant tentang ide perintah moral.

Perintah moral dimaksud yaitu: imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Yang pertama adalah perintah moral yang menyuruh kita melakukan suatu tindakan hanya atas dasar pengandaian bahwa kita mau mencapai tujuan tertentu.

Yang kedua, yaitu perintah yang berlaku mutlak tanpa kecuali karena apa yang diperintahkan olehnya, merupakan kewajiban pada dirinya sendiri. Tidak tergantung pada tujuan selanjutnya.

Imperatif kategoris yang dikemukakan oleh Kant ini menjadi sebuah prinsip tunggal, yakni kategori yang tidak bisa dihindari. Inilah landasan apriori bagi semua tindakan moral, yakni premis metafisisnya.

Rumusan Etika Kant: Imperatif Kategoris

Secara ringkas, etika Kant dirumuskan bahwa perbuatan baik tidak dinilai berdasarkan wujud lahir, melainkan sikap batin berupa kehendak baik. Di mana, kehendak itu baru baik apabila murni memenuhi kewajibannya. Lalu apa kewajiban yang harus ditunaikan manusia? Kant dalam hal ini tidak memberikan jawaban material. Melainkan, formal berupa prinsip penguniversalisasian, yang berbunyi:

Baca Juga  Filsafat Bunuh Diri vs Teologi Kesucian Hidup

“Berbuatlah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, patokan-patokan, dan maksim-maksim yang dapat dikehendaki sebagai undang-undang umum.”

Misalnya, perbuatan yang semata-mata didasarkan kewajiban dan bukan tujuan lain ataupuan pelampiasan dorongan hati. Bagi Kant, merupakan tuntutan otonomi moral manusia, yaitu suatu ketaatan yang dilakukan dengan suatu kesadaran yang penuh.

Ajaran Kant tentang imperatif kategoris memuat beberapa prinsip tindakan; pertama, prinsip hukum umum; kedua, prinsip yang memuat ajaran manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri; dan prinsip terakhir, yaitu otonomi manusia, yang ia pertentangkan dengan heteronomi.

Prinsip ini kemudian membawa Kant pada suatu keyakinan bahwa, kita seyogianya bertindak sesuai dengan kewajiban-kewajiban kita. Bukan menurut perasaan-perasaan kita; sebuah simpulan yang dalam pandangan umum sangat sulit untuk diterima.

Umpamanya Kant menyatakan bahwa, nilai moral dari suatu tindakan selayaknya tidak ditentukan menurut akibat-akibat yang ditimbulkannya. Namun, hanya didasarkan pada sejauh mana tindakan itu selaras dengan kewajiban yang melatarbelakanginya.

Sistem etika Kant ini menggiringnya untuk percaya bahwa kita seharusnya sama sekali tidak boleh berbohong, tak peduli apapun akibatnya. Ia betul-betul sadar konsekuensi dari argumen ini, tapi toh ia tetap ngotot dengan pendapatnya itu.

“Membohongi seorang pembunuh yang sedang mengejar-ngejar seorang teman yang sedang menumpang di rumah anda adalah kejahatan.”

Ketidakkonsistenan Kant

Menarik, Kant sendiri sebenarnya juga tidak begitu konsisten dengan pandangannya ini, pada suatu ketika tatkala Frederick William II yang agak kolot naik tahta, Kant pernah dituntut untuk bersumpah bahwa dirinya tidak akan mengajar atau menulis masalah-masalah relijius lagi. Ia menyatakan mematuhi perintah tersebut.

Namun, setelah sang raja meninggal, Kant kembali menulis dengan semangat menggebu-gebu kembali menulis masalah relijius, dan menganggap dirinya telah bebas untuk tidak lagi memenuhi janjinya. Kant di sini nampak memandang tindakan berbohong adalah sesuatu yang lumrah pada saat situasi tertentu memang mendukungnya.

Baca Juga  Immanuel Kant (1): Penentang Rasionalisme & Empirisisme

Editor: Yahya FR

Salman Akif Faylasuf
58 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds