“Banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai”. Sepenggal lirik lagu perdamaian yang dipopulerkan oleh Nasida Ria tentunya akan mengingatkan kita bahwa perdamaian merupakan kondisi yang ingin selalu dicapai umat manusia? Tetapi dalam kenyataannya perdamaian itu tidak pernah terwujud secara nyata.
Sejarah purba menunjukkan peperangan yang terus-menerus silih berganti. Sejarah Yunani penuh dengan peperangan. Kisah peperangan di Troy merupakan sebuah kisah perang klasik. Apa yang dinamakan Pax Romana lebih banyak ditandai oleh peperangan daripada perdamaian. Seorang diplomat ulung negeri Barat pernah merumuskan peperangan sebagai diplomasi memakai senjata. Dengan kata lain, seandainya upaya diplomasi melalui negoisasi tidak berjalan baik. Maka akan diteruskan dengan melancarkan suatu perang (Lubis, 1988).
Rumusan ini adalah cerminan sikap yang berkembang dari abad-abad lampau, yang diteruskan oleh umat manusia hingga hari ini. Dalam budaya umat manusia di berbagai bangsa juga masih banyak terdapat dorongan ke arah peperangan. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak para pemikir yang mulai merumuskan nilai-nilai perdamaian untuk dunia yang semakin dipenuhi oleh kekerasan. Salah satu pemikir yang merumuskan nilai perdamaian itu adalah Immanuel Kant.
Immanuel Kant dan Perdamaian
Immanuel Kant, lahir pada 22 April 1724 di Konigsberg, Prussia Timur. Dan meninggal di kota yang sama pada 12 Februari 1804. Kant dilahirkan sebagai anak keempat dari seorang pembuat pelana kuda. Dalam karier Kant merupakan pengajar filsafat di Universitas Konigsberg. Kariernya menjadi dosen selama lima belas tahun, sepanjang itu juga ia mengajar dan menulis tentang metafisika, logika, etika, dan sains alam.
Pada tahun 1770, Kant diangkat menjadi guru besar logika dan metafisika di Konigsberg, dan pada tahun 1781 Kant menerbitkan magnum opus-nya, Critique of Pure Reason (Kritik atas Akal Budi Murni), yang selanjutnya disebut critique I. Melalui karyanya ini, Kant telah didaulat menjadi pendiri dan pemuka mazhab filsafat baru, yang disebut filsafat kritis (critical philosophy).
Pada tahun 1788, Kant kemudian menerbitkan karya berjudul Critique of Practical Reason (Kritik atas Akal Budi Praktis), yang kemudian disebut critique II (Suhendra, 2012). Sedangkan karyanya yang lain terkait prinsip perdamaian berjudul Zum Ewigen Frieden (Menuju Perdamaian Abadi). Menuju Perdamaian Abadi ditulis oleh Kant pada tahun 1795 ketika Amerika baru saja melepaskan diri dari penjajahan Inggris tahun 1776 dan terjadinya Revolusi Perancis tahun 1776.
Buku ini merupakan traktat terakhir Kant sebelum dirinya meninggal. Adapun tujuan Kant membuat traktat ini untuk dipraktekkan di antara negara-negara Eropa yang kemudian diharapkan dapat dikembangkan mencakup seluruh dunia terkait perdamaian (Mbeo, n.d.). Gagasan dasar tulisan Menuju Perdamaian Abadi merupakan gagasan sederhana yang menyatakan bahwa perdamaian abadi itu mungkin, tetapi hanya dapat dicapai melalui kebijakan politik yang secara prinsip taat pada hukum.
***
Oleh karena itu, dalam karya ini Immanuel Kant kemudian mengajukan sebuah gagasan terkait pasal-pasal bagaimana perdamaian itu diciptakan: (Kant, 2005).
- Pasal pertama Kant menetapkan bahwa hanya negara yang berupa republik yang dapat menciptakan perdamaian. Republik yang dimengerti oleh Kant pada saat itu, sebagai sebuah negara yang ditata oleh sebuah undang-undang dasar yang menjamin tiga hal: 1). Bahwa semua warga negara adalah bebas. 2). Semua warga negara di bawah hukum yang sama. 3). Bahwa mereka sama kedudukannya sebagai warga negara. Dalam republik, pemerintah merupakan wakil rakyat.
- Pasal kedua Kant menetapkan bahwa negara-negara yang ingin mencapai perdamaian lestari harus membentuk sebuah serikat (konfederasi) yang diikat oleh hukum yang berlaku sebagai hukum bangsa-bangsa. Kant padasarnya menolak sebuah negara super (superpower). Karena negara super atau raksasa semacam itu secara niscaya akan menjadi despotik. Kant mencatat bahwa sebuah keuntungan tatkala sebuah negara menerapkan sistem republikan. Yang bersedia untuk menempatkan diri di bawah perjanjian perdamaian. Sebab hal ini mempermudah bagi bangsa yang lemah untuk ikut dalam federasi di bawah kepatuhan sebuah hukum.
- Pasal ketiga menetapkan bahwa orang asing harus selalu disambut baik sebagai tamu, tetapi mereka tidak boleh menetap, karena hal itu akan mengakibatkan ketegangan-ketegangan yang berlebihan dan dengan demikian akan mengancam perdamaian. Dalam hal ini, Kant menolak dan mengutuk kolonialisme atau penjajahan.
Mengapa Perdamaian Itu Penting?
Selain itu, Immanuel Kant juga menjelaskan mengapa perdamaian menjadi kepentingan bersama? Kant memberikan tiga alasan, masing-masing di tingkat hukum negara, hukum bangsa-bangsa, dan hukum warga dunia.
Pertama, manusia secara alami mendukung tatanan hukum, karena ia takut terhadap situasi kekerasan. Ia lebih suka ditata oleh prinsip-prinsip hukum daripada oleh kesewenangan pihak yang kuat.
Kedua, perdamaian menghasilkan keseimbangan antara bangsa-bangsa yang saling berlomba.
Ketiga, perdamaian dapat menguntungkan perdagangan dan sebaliknya perang dapat merugikan.
Perdamaian baru bisa menjadi nilai unggul yang secara efektif mengalahkan tujuan-tujuan politik lain yang dapat dicapai melalui perang, apabila keputusan tentang perang atau damai diambil oleh para warga negara yang terkena sendiri dampak dari perang, bukan oleh seorang yang otoriter dan despot. Penjagaan perdamaian bagi Kant merupakan kepentingan semua warga negara (Kant, 2005).
Daftar Referensi
Kant, I. (2005). Menuju Perdamaian Abadi (Sebuah Konsep Filosofis). Bandung: PT Mizan Pustaka.
Lubis, M. (1988). Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mbeo, N. (n.d.). Immanuel Kant dan Gagasan “Menuju Perdamaian Abadi”. Retrieved from Our Philosophy.
Suhendra, A. (2012). Perdamaian Perspektif Filsafat Etika Immanuel Kant. In M. N. Ichwan, Agama dan Perdamaian (Dari Potensi Menuju Aksi). Yogyakarta: CR-Peace UIN Sunan Kalijaga.
Editor: Soleh