Oleh: Nizam Zulfa*
Dalam Kehidupan kebangsaan, Muhammadiyah dan umat Islam sebagai golongan mayoritas memiliki tanggung jawab besar dan utama. Yaitu menjadikan Negara Indonesia sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur, negara yang baik dan berada dalam ampunan Allah (QS. Saba: 15).
Atas dasar inilah Muhammadiyah dalam Muktamar ke-47 tahun 2015 mencetuskan sebuah konsep penting dalam kiprahnya sebagai organisasi Islam Kemasyarakatan, yaitu konsep “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah.” Sebuah Konsep yang menegaskan komitmen Muhammadiyah terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sekaligus guna menegaskan sikap persyarikatan dalam sejarah perdebatan yang nyaris tak pernah usai tentang konsep Islam dan Negara.
Lalu bagaimanakah sebenarnya maksud dari konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah itu?
Maksud dari konsep tersebut adalah bahwa Negara Pancasila (Indonesia) merupakan hasil konsesus nasional (dar al-ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT. Pandangan kebangsaan tersebut sejalan dengan cita-cita Islam tentang Negara idaman “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur” (PP Muhammadiyah, 2015: 12).
Darul Ahdi
Masa-masa mendekati kemerdekaan, sempat terjadi dialog tentang “seperti apakah bentuk Negara yang akan kita jalankan?”. Namun pada akhirnya para tokoh kemerdekaan sepakat bahwa dengan bentuk republik dan berdasar kepada Pancasila-lah Negara Indonesia akan dijalankan.
Selama perjalanannya, Indonesia beberapa kali mengalami pergantian sistem pemerintahan. Namun Pancasila senantiasa kokoh menjadi dasar negara, walaupun secara dinamika mengalami sedikit perubahan – yaitu dihapuskannya tujuh kata dalam sila pertama – (Disampaikan oleh Hasnan Nahar dalam forum Kajian dan Diskusi Tematik PK IMM Ushuluddin, Darul Ahdi Wa Syahadah: Sinergitas antara Indonesia, Muhammadiyah, dan Pancasila, pada Jumat, 25 Oktober 2019, di Masjid Kampus UIN Sunan Kalijaga).
Peran Muhammadiyah sebagai organisasi yang lahir 33 tahun lebih dahulu sebelum kemerdekaan jelas tidak bisa dikesampingkan begitu saja. KH. Ahmad Dahlan merupakan seorang tokoh yang mempelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat. Itulah dasar penentuan beliau sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Keppres no. 657 th. 1961.
Muhammadiyah melalui para pemimpinnya juga terlibat aktif dalam usaha-usaha kemerdekaan. Sebut saja KH Mas Mansur merupakan anggota dari Empat Serangkai bersama Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara berperan besar dalam persiapan Kemerdekaan.
Kemudian ada juga tiga tokoh penting Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Mudzakir, dan Mr. Kasman Singodimedjo bersama para tokoh lalinnya mengambil peran aktif di Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (PP Muhammadiyah, 2015: 9). Serta masih banyak lagi tokoh-tokoh muhammadiyah yang berperan aktif dalam perjuangan kemeredekaan, seperti Jendral Soedirman dan Ir. Juanda.
Dari hal tersebut, maka jelas bahwa Negara Pancasila (Indonesia) merupakan kesepakatan, kesaksian dan konsesus bersama (dar al-ahdi), yang mana Muhammadiyah juga terlibat di dalamnya lewat para tokohnya sebagai Perintis kemerdekaan bangsa Indonesia.
Darus Syahadah
Segenap umat Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai tempat membuktikan diri. Dapat dilakukan dengan mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna menuju kemajuan di segala bidang kehidupan. Dalam Negara Pancasila sebagai darus syahadah, umat Islam harus siap bersaing (fastabiqul khairat) untuk mengisi dan memajukan kehidupan bangsa dengan segenap kreasi dan inovasi yang terbaik (PP Muhammadiyah, 2015: 13).
Wujud pembuktian atau kesaksian (syahadah) oleh Muhammadiyah sebenarnya sudah terealisasikan semenjak Muhammadiyah berdiri tahun 1912. Baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, maupun sosial kemasyarakatan Muhammadiyah masih konsisten dengan semua itu.
Dengan kata lain, meskipun Muhammadiyah tidak berkoar-koar “saya paling pancasilais, paling NKRI”. Namun kontribusinya justru jelas terlihat bagi Negara Pancasila (Indonesia) ini sebagai pembuktian. (Disampaikan oleh Hasnan Nahar dalam forum Kajian dan Diskusi Tematik PK IMM Ushuluddin, Darul Ahdi Wa Syahadah: Sinergitas antara Indonesia, Muhammadiyah, dan Pancasila, pada Jum’at, 25 Oktober 2019, di Masjid Kampus UIN Sunan Kalijaga).
Darul Ahdi wa Syahadah
Konsep “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah” ini tentunya bukan sekedar komitmen Muhammadiyah dari masa lalu sampai saat ini. Namun konsep ini juga harus benar-benar teraktualisasikan untuk masa yang akan datang. Meskipun pada perjalanannya nanti, akan ditemukan penghalang-penghalang yang mencoba melunturkannya. Sebut saja perdebatan tentang khilafah sebagai sistem Negara yang tak pernah usai.
Namun Muhammadiyah harus tegas dan bijak dalam menghadapi hal tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Buya Syafi’i Ma’arif dalam bukunya “Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, bahwa potensi untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia di kalangan NU dan Muhammadiyah sungguh luar biasa (Ahmad Syafii Maarif, 2015: 318). Maka dengan perannya sebagai organisasi Islam yang memiliki anggota mayoritas (terbanyak) dari umat islam di Indonesia, keduanya sangat memiliki pengaruh besar kepada para anggotanya untuk menjaga dan mengawal Negara Pancasila ini.
Muhammadiyah hendaknya senantiasa berkiprah secara proaktif dalam memajukan kehidupan bangsa. Juga menjaga kerukunan, kedamaian, ketertiban, dan kebaikan bersama dalam masyarakat sebagai wujud dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu tentunya dalam rangka menyebarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan universal.
Muhammadiyah hendaknya juga senantiasa istiqamah melaksanakan misi dakwah dan tajdid untuk pencerahan, bersikap proaktif dalam menunaikan peran-peran keumatan dan kebangsaan secara konstruktif, cerdas, dan bijaksana; serta tidak bergerak dalam politik praktis. Seluruh Warga dan Pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan wajib memberikan keteladanan yang baik dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam seluruh aspek yang dilandasi oleh nilai-nilai islami. (PP Muhammadiyah, 2015: 19).