IBTimes.ID – Ketika bangsa Indonesia memperingati 76 tahun kemerdekaan, di tubuh negeri ini masih terdapat sejumlah masalah kebangsaan. Antara lain suasana keterbelahan sesama anak bangsa, masalah “radikalisme-ekstremisme” yang pro-kontra dalam pandangan dan penyikapan, korupsi dan perlakuan terhadap koruptor yang dianggap memanjakan, praktik demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi, kehadiran media sosial yang memproduksi persoalan-persoalan baru, masalah utang luar negeri dan investasi asing, serta kehidupan kebangsaan yang semakin bebas atau liberal setelah dua dasawarsa reformasi. Secara khusus tentu masalah pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya menambah masalah kebangsaan semakin berat.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir dalam Pidato Kebangsaan #IndonesiaJalanTengah, IndonesiaMilikSemua, Senin (30/8) yang digelar secara daring.
Dalam pidato tersebut, Haedar menyampaikan bahwa narasi atas masalah-masalah bangsa tidak boleh mengurangi apresiasi atas kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam kehidupan kebangsaan dari periode ke periode.
Kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia saat ini berdiri tegak di atas fondasi kokoh Pancasila. Pancasila yang perumusannya mengalami proses dinamis sejak Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional dari seluruh golongan bangsa Indonesia yang berlatar belakang majemuk menjadi Bhinneka Tunggal Ika.
“Konsensus seluruh komponen bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara. Peran krusial Ki Bagus Hadikusumo bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sanarahgatlah besar, dengan kesediaan melepas “tujuh kata” Piagam Jakarta dikonversi menjadi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”,” ujar Haedar.
Menurutnya, Muhammadiyah memandang konsensus Pancasila dan berdirinya negara Indonesia yang bersejarah itu sebagai “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah”.
Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan terjadi selain atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa melalui proses musyawarah-mufakat, secara substansial di dalamnya terkandung ideologi tengahan atau moderat.
Mengenai “nasionalisme” atau “kebangsaan”, Soekarno, sebagaimana dikutip oleh Haedar, menegaskan bahwa pendiri bangsa mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia di atas dasar kebangsaan. Di sisi lain, Haedar menyadari adanya bahaya nasionalisme. “Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles”.
Bung Karno lantas mengingatkan, “Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia… Menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.” imbuh Haedar mengutip Bung Karno.
Menurut pria kelahiran Bandung tersebut, pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu sangat moderat. Karenanya Pancasila maupun Negara Republik Indonesia jangan ditarik “ke kanan” dan “ke kiri”, tetapi harus diletakkan di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada posisi moderat itulah Pancasila tidak boleh ditafsirkan dan diimplementasikan dengan pandangan-pandangan “radikal-ekstrem” apapun, karena akan bertentangan dengan hakikat Pancasila itu sendiri. Inilah makna Indonesia sebagai jalan tengah.
Pikiran-pikiran nasionalisme yang radikal-ekstrem (ultranasionalisme, chauvinisme), keagamaan yang radikal-ektrem (cita-cita negara agama atau teokrasi, fundamentalisme agama), multikulturalisme radikal-ekstrem (paham demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi liberal-sekular), sosial-demoktasi, dan segala ideologi radikal-elstrem lainnya seperti komunisme dan liberalisme-sekularisme tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak-dasar moderat.
Haedar menegaskan, jika ingin menjalankan Pancasila yang moderat, maka strategi membangun dan mengembangkan pemikiran keindonesiaan pun semestinya menempuh jalan moderat atau moderasi, bukan melalui pendekatan kontra-radikal atau deradikalisasi yang ekstrem. Kontroversial seputar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Survei Lingkungan Belajar (SLB), lomba pidato tentang hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya mesti dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya yaitu NKRI, UUD 1945, dan Kebhinnekaan sebagai ideologi jalan tengah yang moderat.
Indonesia Jalan Tengah
Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) merupakan jalan tengah atau moderasi dari segala proses dan keragaman. Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 menegaskan, bahwa “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua”. Mohammad Hatta menegaskan pentingnya “kolektivisme” dalam berbangsa dan bernegara.
“Dari Dwi-Tunggal pemimpin Indonesia itu maupun dari para pendiri negara yang lainnya kuat sekali kehendak untuk menjadikan Indonesia milik bersama seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Gotong-royong mendasari bangunan Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan agar tidak ada oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki lainnya yang merusak kebersamaan dan menjadikan Indonesia hanya milik sekelompok kecil pihak,” imbuhnya.
Menurut Mohammad Hatta sebagaimana dikutip oleh Haedar, ketika para pemimpin rakyat duduk di BPUPKI merumuskan UUD 1945, khususnya dalam bidang ekonomi, terkandung cita-cita “untuk mencapai kemakmuran yang merata”. Sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yang melahirkan sistem “ekonomi terpimpin”. Ditegaskan, “Dalam sistem ekonomi terpimpin, pemerintah harus bertindak, supaya tercapai suatu penghidupan sosial yang lebih baik. Penghidupan sosial itu harus berdasarkan keadilan sosial.”
“Di tengah keresahan melebarnya kesenjangan sosial, bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh segelintir pihak, dan menguatnya oligarki politik maka Indonesia harus dikembalikan kepada jati dirinya sebagai milik semua. Pemerintah negara wajib hadir dalam melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Haedar Nashir.
Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut yakin bahwa masih banyak elite dan warga bangsa yang berhati tulus, baik, jujur, dan terpercaya dalam berbangsa dan bernegara. Bila masih terdapat saudara-saudara sebangsa yang salah dan khilaf, serta memiliki kehendak yang berlebihan dalam kekuasaan politik dan ekonomi maupun orientasi hidup lainnya, maka masih terbuka jalan kebaikan yang dibukakan Tuhan untuk kembali ke jalan terang dan tercerahkan.
“Kuncinya ialah kemauan, ketulusan, kejujuran, dan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara milik semua. Luruhkan ego diri, kroni, institusi, dan golongan dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara demi masa depan Indonesia yang menjadi jalan tengah sebagaimana dicita-citakan para pendiri negara,” tegasnya.
Ia juga berpesan kepada elit yang memiliki gagasan dan kehendak yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dan negara, maka harus berdiri dalam posisi tengahan dan menjauhi jalan ekstrem.
“Tempuhlah musyawarah untuk mufakat, serta hindari sikap mau menang sendiri. Tumbuhkan jiwa dan alam pikiran ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagaimana terkandung dalam falsafah Pancasila yang harus diwujudkan di bumi nyata dengan keteladanan. Pancasila yang berkarakter tengahan dan bukan Pancasila yang diradikal-ekstremkan,” imbuhnya.
Menurut Haedar, etika kini tumbuh kembali gagasan amandemen UUD 1945, seyogyanya dipikirkan dengan hikmah-kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik. Ia meminta elit untuk belajar dari empat kali amandemen di awal reformasi, yang mengandung sejumlah kebaikan, tetapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan sebagian jati dirinya yang asli.
“Jangan sampai di balik gagasan amandemen ini menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang-bangun dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun yang silam. Di sinilah pentingnya “hikmah kebijaksanaan” para elite negeri di dalam dan di luar pemerintahan dalam membawa bahtera Indonesia menuju pantai idaman. Indonesia yang bukan sekadar ragad-fisik, tetapi menurut Mr. Soepomo, Indonesia yang “bernyawa”. Itulah Indonesia Jalan Tengah dan Indonesia Milik Bersama!” tutup Haedar Nashir.
Reporter: Yusuf