Persoalan Pelik
Informasi– Disadari atau tidak, semakin lama kasus-kasus Covid-19 semakin kompleks dan rumit untuk dipahami. Bukan saja kasusnya, pun dengan penanganannya. Dulu, kita hanya disuguhi kengerian bertambahnya kasus. Saat ini, ketika kita sudah mulai program vaksinasi, kita juga dihadapkan pada berbagai macam KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Salah satunya adalah kematian.
Persoalan pengetahuan kita atas Covid-19 ini persoalan pelik. Karena sejak awal sebagian kita, meyakini bahwa Covid-19 adalah hoax. Padahal, kunci keberhasilan penanganan pandemi ini tentu sangat erat kaitannya dengan kepatuhan kita, baik masyarakat dan elit politik, terhadap protokol kesehatan dan berbagai program penyerta lainnya seperti vaksinasi. Ada persoalan apa dan bagaimana pengetahuan kita harus ditingkatkan lagi?
Jarak Pengetahuan
Berbicara tentang jarak pengetahuan, setidaknya ada beberapa aspek penting terkait ini. Mulai dari faktor ekonomi, faktor pendidikan, hingga yang lebih substansial adalah dari pengetahuan itu sendiri.
Pertama, sisi ekonomi. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa faktor ekonomi berpengaruh pada bagaimana kita memiliki akses pada pengetahuan. Kemampuan untuk memilah mana yang valid dan tidak, mana yang up to date atau yang sudah kadaluwarsa dst.
Kedua, faktor pendidikan. Tidak dapat dipungkiri, faktor inilah yang sangat berperan dalam memahami realitas. Memaknai pengetahuan. Semakin tinggi pendidikan, sudah semestinya memiliki bekal pengetahuan dan berpikir kritis yang lebih baik.
Oleh karenanya, pemahaman masyarakat (dan juga elit politik) kita tentang pandemi begitu sangat beragam. Bukan saja yang memiliki jenjang akademik berbeda, yang sama pun belum tentu memiliki kemampuan berpikir yang sama.
Faktor ketiga, ini yang bersifat substansial. Terkait dengan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang ada tidak dapat dipahami metodologi dan juga analisisnya dengan mudah. Oleh karenanya, secara otomatis tidak semua orang mampu memahami hakikat yang sesungguhnya dari apa yang sedang kita hadapi.
Termasuk di dalamnya adalah berbagai pengetahuan yang selalu berkembang dan berubah di setiap harinya. Misalnya seperti mutasi virus, efektivitas vaksin dst. Dengan demikian, kita perlu juga memikirkan tentang bagaimana menyampaikan pengetahuan ini secara lebih tepat dan akurat.
Jeda Pengetahuan dan informasi
Selain berkenaan dengan jarak pengetahuan, ada yang berkaitan dengan realitas kita hadapi secara riil. Terdapat hambatan lain yang berkaitan dengan fenomena era digital dan derasnya arus informasi dewasa ini: Jeda pengetahuan.
Terkait dengan Covid-19 ini, dalam riset yang kami lakukan beberapa waktu lalu, hampir semua responden mengaku mengetahui informasi tentang Covid-19. 90% lebih responden melalui aksesnya masing-masing merasa memiliki informasi yang dapat digunakan sebagai panduan untuk merespon pandemi.
Masalahnya, kemampuan menangkap informasi tersebut tidak diimbangi dengan filter dari lembaga-lembaga yang kredibel. Kinerja fast checker di dunia maya juga tidak berjalan maksimal. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menjadikan rilis lembaga riset, lembaga kesehatan, perguruan tinggi untuk menjadi basis beraktivitas.
Saat ini yang sedang terjadi adalah informasi-informasi yang valid kalah gencar disajikan di ruang publik. Termasuk informasi yang dikeluarkan oleh pemerintah juga terbatas. Seperti ada waktu-waktu tertentu yang memungkinkan pemerintah dan lembaga-lembaga formal menyampaikan informasi ke publik.
Tentu saja ini bisa dimaklumi karena begitu banyak prosedur bagi mereka jika hendak memberikan rilis resmi. Di saat itulah terjadi yang namanya “Jeda Pengetahuan”. Saat di mana informasi valid tidak secara aktif memenuhi ruang publik. Yang ada, justru informasi dari sumber antah berantah.
Jeda pengetahuan ini yang menyebabkan masyarakat dan juga elit politik kita mengalami kaya informasi tetapi miskin pengetahuan. Informasi yang masih abu-abu justru lebih sering diterima.
Dan hal ini cukup berbahaya mengingat pengetahuan yang abu-abu ini yang akan berdampak pada bagaimana masyarakat kemudian akan merespon pandemi. Secara tepat kah atau tidak?
Partisipasi Ahli
Lalu bagaimana itu harus diantisipasi? Li dan Marsh (2008) pernah membangun pola partisipasi politik dalam bentuk beragam bentuk. Jika kita selama ini memaknai bahwa partisipasi politik hanya pada keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan politik praktis, maka sesungguhnya keterlibatan para ahli dalam persoalan keseharian juga menjadi bagian dari partisipasi politik itu sendiri. Dalam bahasa Li dan Marsh sebagai expert citizen.
Para ahli, baik akademia dan juga praktisi, perlu secara pro-aktif ikut terlibat dalam memperkaya pengetahuan di dalam ruang publik kita. Berbagai platform media sosial perlu dimaksimalkan. Tidak ada yang eksklusif terlihat keren, tetapi yang paling penting adalah segmen masyarakat dan pembuat kebijakan yang disasar.
Anak-anak muda misalnya, mereka lebih mudah dipersuasi lewat IG dan Tik Tok. Para aktivis lebih suka lewat timbal balik respon di Twitter. Generasi old, lebih suka Facebook dll.
Semakin gencarnya pengetahuan disampaikan oleh para ahli dengan bahasa dan segmen yang beragam, diharapkan jeda pengetahuan ini bisa terkikis. Ruang publik kita tidak didominasi informasi saru, melainkan informasi valid dan tepat guna.
Satu postingan bermanfaat dengan ratusan bahkan ribuan partisipan tentu akan semakin memudahkan pengetahuan masuk ke masyarakat kita. Para akademia dan praktisi dengan demikian tidak saja disibukkan dengan aktivitas ilmiah mereka semata, akan tetapi juga mendekatkan mereka pada kebermanfaatan bagi masyarakat secara langsung.
Editor: Yahya FR