Perspektif

Inilah Dua Panembahan Nusantara: Syaikhana Kholil dan HOS Tjokroaminoto

3 Mins read

Mendengar kata “Panembahan”, terutama bagi masyarakat Jawa, pasti akan teringat kepada sosok Panembahan Senopati yang aslinya bernama Sutowijoyo. Putra dari Ki Ageng Pemanahan ini yang kelak menjadi raja pertama dari Kerajaan Mataram Islam dengan Gelar “Panembahan Senopati ing Alaga Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.”

Kata Panembahan sendiri dalam Filosofi masyarakat Jawa memiliki arti, “Seorang Resi” (Sakti Mandraguna) yang tidak lagi duduk (bertakhta) di atas kursi Dunia. Menurut pemahaman penulis, istilah ini dapat dipahami sebagai “seseorang yang telah mencapai sebuah kesaktian dan menggunakan kesaktian itu untuk menyiapkan generasi penerus yang lebih baik, sehingga ia seolah-olah lupa akan dunia (dirinya sendiri) karena di dalam dirinya penuh akan rakyat dan orang banyak.”

Tulisan ini sebenarnya mengutip salah satu perkataan budayawan Emha Ainun Najib (biasa dikenal dengan nama Cak Nun) yang dalam salah satu pengajiannya, menyebutkan bahwa ada dua Panembahan yang berjasa dalam menyiapkan generasi-generasi penerus peradaban Nusantara yang pada waktu itu memang sedang dalam cengkeraman alam fikir dan perilaku Kolonialisme Belanda.

Dua sosok Panembahan tersebut adalah Syekh Kholil al-Bangkalani (biasa disebut Syaikhana Kholil Bangkalan), salah satu Mahaguru Nusantara pada waktu itu. Berikutnya adalah Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, yang merupakan pencetus roda organisasi Sarekat Islam (SI) yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI).

Kedua-duanya disebut oleh Cak Nun sebagai Panembahan. Karena keduanya sama-sama menyiapkan generasi penerus yang akan melakukan perubahan terhadap tatanan masyarakat Nusantara pada waktu itu. Dari ketertinggalan peradaban menuju peradaban yang lebih baik dan beradab.

Syaikhana Kholil sendiri menyiapkan generasi penerus yang akan melakukan transformasi di bidang Sosial-Keagamaan yang pada waktu itu memang diuji oleh kesewenang-wenangan pemerintah Kolonial Belanda terhadap Umat Islam, terutama kaum santri. Oleh karenanya, Sang Syekh membimbing bermacam-macam santri yang datang dari bermacam-macam latar belakang sosial-keagamaan masyarakat mereka. Di antara mereka yang termasyhur adalah KH Hasyim Asyari (pendiri Jam’iyyah NU), dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Persyarikatan Muhammadiyah), dan begitu banyak santri yang lain.

Baca Juga  Siapakah Bangsa Arab Itu?

Salah satu peristiwa yang menarik dari kehidupan Sang Syekh adalah, ketika ia mewariskan kepada para santrinya benda-benda yang oleh Sang Syekh sendiri dianggap sebagai simbol dari masa depan yang akan ditentukan oleh para muridnya sendiri. Di antaranya adalah Pisang Emas (simbol dari kekayaan materi ekonomi) yang diberikan kepada Kiai Romli (menurut perkataan Cak Nun dalam salah satu pengajiaannya).

Kemudian dua buah Kitab/buku (simbol dari intelektualitas Ilmu Pengetahuan), yang masing-masing diberikan kepada KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan. Kemudian kedua-duanya pada masa awal pergerakan mendirikan dua Ormas Islam terbesar di Indonesia yang hingga kini masih harum eksistensinya dan berperan penting dalam pembangunan manusia Indonesia.

Dan ada yang diberi Cincin sSimbol dari pemersatu di antara perbedaan-perbedaan), yaitu diberikan kepada Mbah Nur Zahid (yang merupakan Mbah dari Cak Nun), dengan harapan bahwa dengan simbol pemersatu tersebut, maka akan memberi jalan tengah terhadap pertentangan yang terjadi di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Selain warisannya itu, Sang Syekh (dalam isi pengajian Cak Nun), juga menyebutkan bahwa ada dua orang Cina yang mohon saran kepada Sang Syekh kira-kira usaha ekonomi apa yang cocok untuk dijalankan pada masa itu. Kemudian Sang Syekh menganjurkan untuk membuka usaha yang bahan pokoknya adalah Tembakau. Dan Tembakau tersebut harus asli dari Madura.

Lalu dua orang Cina tadi mengikuti anjuran Sang Syekh, lambat laun usaha mereka menjadi besar hingga saat ini dan menjadikan Tembakau (bahan baku Rokok) sebagai cikal bakal Gurita Bisnis Indonesia. Oleh dua orang Cina tadi, rokok tersebut diberi nama Rokok “Wismillak”, pelafalan orang Cina untuk kata “Bismillah.” Dibuatlah kemasan yang terdapat gambar orang tua yang sedang memegang tongkat, yang dibuat untuk mengingatkan dua orang Cina tadi terhadap sosok Syaikhana Kholil yang memberi ide untuk membuka usaha Tembakau. 

Baca Juga  Krisis Iklim dan Ekologi dalam Keruntuhan Islam Abad Pertengahan

Sementara sosok HOS Tjokroaminoto sendiri menyiapkan generasi-generasi yang akan melakukan proses transformasi hukum dan ketatanegaraan dari era yang masih terpenjara oleh Kolonialisme menuju era Kemerdekaan yang layak didapatkan, yang kemudian berpuncak pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Oleh karenanya, HOS Tjokroaminoto pada waktu itu menerima berbagai macam latar belakang sosial-masyarakat yang berbeda-beda untuk mengasah diri dengan berbagai macam metode yang ada di Indekosnya di Gang Peneleh, Surabaya.

Pada waktu itu, diantara mereka adalah: Bung Karno (kelak menjadi nasionalis dan orator ulung), Kartosoewirjo (kelak menjadi ekstrimis Agama yang kental menyuarakan Negara Islam), dan Semaun (kelak menjadi ekstrimis Kiri dengan mendirikan ISDV bersama Hendrik Sneevliet, yang kemudian menjadi embrio dari berdirinya PKI).

Yang menarik selama proses penempaan di bawah bimbingan HOS Tjokroaminoto sendiri, adalah ketiganya terlihat akur meski ada pertentangan-pertentangan layaknya anak-anak muda sekarang. Bung Karno yang saban hari berlatih pidato, Kartosoewiryo yang terus menerus belajar mengaji, dan Semaun yang suka berdialektika dengan dunia buruh.

Meski di masa depan ketiganya yang oleh konstelasi dunia akan ditempatkan di tiga kutub yang saling berlawanan satu sama lain, yang pada akhirnya memaksa ketiganya untuk menyingkirkan satu sama lain demi sebuah tujuan yang lebih besar dan lebih mulia. Namun pada akhirnya hanya menyisakan seorang saja, yakni Bung Karno, seorang nasionalis dan orator ulung yang tentu juga masih merasakan persahabatan dengan kedua teman kosnya dulu hingga akhir hayatnya.

Singkat kata, dari ulasan singkat mengenai “dua Panembahan” ini adalah, “dekatlah dengan semua orang, supaya kamu tahu dia orang baik atau tidak, dan bersamailah kesemuanya itu menuju keindahan yang abadi yang lepas dari segala bentuk diskriminasi.”

Baca Juga  Muhammadiyah dan Lapangan: Dari Shalat Id sampai Sepakbola

Tulisan ini hanyalah tafsiran penulis secara pribadi setelah mengikuti pengajian Cak Nun yang dapat diakses dalam video berikut ini:

https://youtu.be/eDLccNjXQpQ

Editor: Arif

Avatar
2 posts

About author
Pemuda yg minimal mencoba menuangkan Buah Pikiran ke dalam Tulisan, tak Lebih.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds