IBTimes.ID – Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menyebut bahwa dalam beberapa kasus, kultur, keyakinan, dan nilai yang dianut justru menjadi penguat bagi praktik-praktik kekerasan. Misalnya, di Papua ada istilah “Di ujung rotan ada emas”. Artinya, pendidik belum dianggap mendidik jika belum memukul dengan tongkat. Masih ada budaya yang menganggap kekerasan sebagai hal yang lumrah.
Kasus-kasus praktik kekerasan di lembaga pendidikan terjadi secara merata. Mulai dari Bandung, Banyuwangi, Jombang, Malang, Papua, Sulawesi, dan lain-lain.
Menurut Rita, anak juga sering dianggap sebagai orang yang lemah. Sehingga, anak mudah dijadikan sebagai korban kekerasan. Padahal, di Muhammadiyah, Rita menyebut ada prinsip al-karamah al-insaniyyah, yaitu prinsip yang menghargai harkat martabat kemanusiaan tanpa memandang status anak atau bukan anak.
“Relasi kuasa juga sering menjadi penyebab. Misalnya senior dengan junior. Kalau di asrama ada pendamping. Pengasuh kepada peserta didik,” ujarnya dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah, Jumat (16/9/2022).
Pendisiplinan, imbuhnya, sejatinya bertujuan untuk menciptakan anak didik yang berakhlak mulia, humble, dan knonwledgeable. Maka, pendisiplinan harus bertujuan untuk membangun kesadaran, bukan untuk sekedar balas dendam.
Prinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Asrama
Rita menyebut ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan sekolah berbasis asrama atau pesantren. Pertama, anak 24 jam berada di asrama. Sehingga tingkat kejenuhan dan situasinya sangat berbeda. Keterikatan antara siswa dengan guru atau pengasuh sangat intens. Maka aspek pengasuhan harus menjadi kunci utama.
Kedua, imbuhnya, orang tua harus menyampaikan kondisi kesehatan dan psikologi anak ke pengasuh di asrama. Sehingga ada antisipasi terjadinya praktik kekerasan terhadap anak. Ketiga, komunikasi pengasuh dengan orang tua adalah hal yang penting.
“Keempat, pendampingan & pengawasan oleh guru yang sudah matang dan cakap. Sehingga anak-anak memiliki kepercayaan terhadap lembaga pendidikan tersebut,” imbuhnya.
Kelima, mekanisme pelaporan. Peserta didik harus memahami kemana mereka berkonsultasi maupun melaporkan masalah yang dihadapi. Keenam, pendisiplinan untuk kesadaran, bukan untuk balas dendam.
“Solusinya, kalau bicara anak, kita bicara soal kebijakan keselamatan anak. Upaya pencegahan praktik kekerasan harus lebih maksimal dibandingkan dengan penanganan. Penanganan itu lebih panjang. Maka lebih baik pencegahan,” ujar Rita.
Pencegahan dimulai sejak rekrutmen pengelola dan pengasuh. Proses rekrutmen harus melihat rekam jejak calon pengasuh. Pengelola juga harus memahami konvensi hak anak, penyelenggaraan pendampingan anak, dan lain-lain.
Selain itu, penting sekali membuat SOP dan program agar selalu ada pendampingan di jam-jam rentan. Termasuk bagaimana pola pendisiplinan anak didik agar tidak melahirkan berbagai praktik kekerasan dengan dalih pendisiplinan.
Reporter: RH
iya gak kekerasan tapi malah pelecehan seksual