Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Kiai Haji Ahmad Dahlan orangnya kurus dan agak tinggi. Raut mukanya bulat telur dan kulitnya hitam manis. Hidungnya mancung dengan bibir elok bentuknya, kumis, dan janggutnya rapih. Kacamata selalu melekat di depan matanya yang tenang dan dalam. Pandangan matanya lunak dan tenang tetapi menembus hati siapa yang dipandangnya. Cahaya matanya memancarkan kasih mesra dan keikhlasan yang tiada taranya dan sinar yang tenang menandakan kedalaman ilmunya, terutama dalam bidang tasawuf.
Gerak-geriknya lamban tetapi pasti dan terarah. Seolah-olah setiap gerak telah dipikirkan masak-masak. Dari gelembung di bawah kedua matanya dapat ditandai bahwa dia kurang tidur malam, asyik membaca atau berpikir serta berdzikir kepada Allah.
Dalam hal berpakaian sangat sederhana namun bersih. Bersarung palikat yang dililitkan tinggi dari atas mata kaki. Mengenakan baju jas tutup berwarna putih, kepalanya berlilitkan sorban yang pantas letaknya. Kesemuanya itu menggambarkan pribadinya sebagai manusia takwa kepada Allah. Serba teliti dan hati-hati dalam setiap perkataan dan langkahnya.
Motto Hidup
Demikian hati-hatinya dia sehingga di depan meja tulis dalam kamar kerjanya tergantung pada dinding terdapat sebuah nasehat yang ditulis (dalam bahasa dan huruf Arab) untuk dirinya sendiri, yang berbunyi sebagai berikut:
“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya.
Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedang engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab surga dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya.”
Tulisan itulah yang selalu mengingatkan dia kepada mati dan kepada peristiwa-peristiwa sesudahnya. Itulah pula yang menyebabkan dia selama hayatnya selalu mencari dan mengumpulkan bekal untuk mati. Dan bekal untuk mati itu telah ia peroleh, yakni memperbanyak ibadah dan amal shalih, menyiarkan dan membela agama Allah serta memimpin umat ke jalan yang benar dan membimbing mereka kepada amal dan perjuangan menegakkan Kalimah Allah.
Kemunduran umat Islam sangat merisaukan hatinya dan dia merasa bertanggungjawab dan berkewajiban untuk membangunkan, menggerakkan, dan memajukan mereka. Apapun yang akan terjadi, dan bahkan andaikata dia harus kehilangan segalanya, dia akan melaksanakan apa yang dirasa menjadi kewajibannya itu. Baginya, kehidupan duniawi terlalu sepele, terlalu kecil untuk dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat yang dia idamkan, yang harus diidamkan oleh setiap orang Muslim.
Mendirikan Persyarikatan
Dia sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilakukan seorang diri, melainkan harus oleh beberapa orang, oleh banyak orang yang diatur dengan seksama. Untuk itu, harus dibentuk organisasi, atau perkumpulan, atau persyarikatan, atau apa saja namanya. Dia merasa tergugah oleh panggilan dalam ayat 104 Surat Ali Imran: “Dan dirikanlah dari antara kamu sekalian suatu umat yang menyeru manusia kepada keutamaan dan memerintahkan kepada kebajikan seta mencegah dari kemunkaran. Dan mereka itulah orang-orang yang berjaya.”
Dia pahami firman Allah itu sebagai perintah untuk mendirikan umat atau golongan orang yang bekerjasama untuk dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar. Kerjasama antara beberapa orang tidak mungkin tanpa organisasi. Dengan pemahaman itu, dia dirikan sebuah organisasi atau perkumpulan, dan dia beri nama perkumpulan itu, “MUHAMMADIYAH.”
Dengan nama itu, dia bermaksud menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu Islam. Tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang diajarkan serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian, ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Sumber: Buku ”Matahari-matahari Muhammadiyah” karya Djarnawi Hadikusuma (1977). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id secara berseri lewat penyuntingan dari redaksi
Editor: Arif