Anak, Musik, dan Moderasi Islam Oleh: Hamka Husein Hasibuan*
Islam.. Islam.. Yes!
Kafir.. Kafir.. No!
Kalimat di atas adalah penggalan yel-yel anak-anak Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) yang mainstream di berbagai wilayah Indonesia. Disebut dengan Tepuk Anak Soleh. Sejak dini, melalui yel-yel juga musik, anak sudah dilatih –sadar atau tidak –dengan logika dikotomis.
Kami sama dengan Islam berarti yes, mereka sama dengan kafir berarti no. Yel-yel itu secara eksplisit sudah menegasikan pihak lain yang dianggap sebagai “kafir.”
Adalah suatu fakta, ternyata kaum jihadis dan radikalis sering menggunakan musik sebagai alat propaganda. Publikasi dan kampanye mereka selalu dibungkus dengan musik yang menggebu-gebu dan provokatif. Sebagai bahasa universal, musik bisa menjangkau siapa saja, tidak pandang usia.
Tidak ada manusia yang tidak suka dengan musik. Bahkan, sebagian ahli berkata, tanda seseorang itu sehat apa tidak, bisa dilihat ketika dia tersentuh apa tidak dengan musik.
Anak dan remaja adalah salah satu segmen usia yang rentan dengan jeratan musik berkedok radikalisme. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan dunia remaja, musik –sadar atau tidak – bisa membawa para audiensnya hanyut. Bahkan terhipnotis oleh irama musik.
Semua organisasi ekstrem mempunyai soundtrack musik yang bisa membius orang yang mendengarkannya. Hanya bermodalkan video pendek kualitas rendah.
Diiringi dengan musik berkonten caci maki, provokasi dan penuh ujaran heroisme dan perjuangan. Para pemuda yang emosinya masih bergejolak, segera panas.
Musik dan Efeknya
Solahuddin (2018) menyatakan, indoktrinasi di era media sosial ini –apalagi dengan menggunakan video dan musik –itu lebih ampuh. Daripada cara-cara manual seperti: halaqah, pengajian, dan pertemuan tatap muka lainnya. Jika cara yang terakhir membutuhkan waktu 5-7 tahun, cara yang pertama hanya dalam waktu setahun. Seseorang pun bisa diindoktrinasi untuk menjadi teroris.
Pemerintah, ormas moderat, dan masyarakat pada umumnya harus memperhatikan fenomena ini. Musik tampak sepele, tetapi efeknya besar. Tanpa sadar, anak yang kita miliki, kita kira dia berada di kamar hanya sekadar belajar. Atau kegiatan lain seperti menonton film, bermain game, atau mendengarkan music. Tetapi diam-diam, dia dengan mudah bisa terinfeksi virus radikal.
Di Indonesia, aksi bom bunuh diri (13-14/05/2018) yang terjadi di Sidoarjo dan Surabaya, Jawa Timur salah satu pelakunya adalah anak-anak. Bukan rahasia umum, virus radikalisme tidak lagi pandang usia. Ia bisa menyasar siapa saja, termasuk anak-anak.
Dalam konteks ini, kontra wacana perlu digelorakan. Kita harus memproduksi sebanyak mungkin musik yang penuh dengan pesan perdamaian dan irama-irama penuh makna kebijaksanaan. Indonesia minus dengan dengan lagu anak-anak yang penuh dengan pesan kadamaian yang mengajak manusia untuk saling menghargai dan memahami.
Anak, Musik, dan Moderasi Islam
Taufik Paisak (2012), pakar sains dari Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi, menganjurkan agar memfungsikan musik sebagai daya tangkal radikalisme. Menurutnya, musik bisa mencegah gelombang otak untuk menerima gagasan agama yang radikal.
Menurutnya, dalam ilmu neurosains, struktur otak para radikalis ini didominasi sistem penalaran otak yang terlalu aktif, yaitu limbic. Penalaran otak yang seperti ini, akan susah menerima pendapat yang berbeda dari luar.
Ini berbeda dengan kaum yang suka dengan perdamaian. Sistem otaknya akan selalu didominasi oleh empati, yang disebut dengan prefrontal.
Menyeimbangkan limbic dan prefrontal bisa dengan musik. Musik cinta tanah air, perjuangan, dan pesan harmoni bisa dijadikan sebagai solusi.
Mengampanyekan Musik Perdamaian
Harus diakui, selama ini, media sosial, baik itu youtube, facebook, instagram, dan sejenisnya masih didominasi musik percintaan. Bahkan kalau dikhususkan lagi, musik kaum dewasa.
Sementara musik anak-anak dengan irama dan materi anak, yang mengajarkan tentang lingkungan, keberagaman, perdamaian, dan cintah tanah air masih sangat minim.
Musik ramah anak dengan genre perdamaian dan anti-radikalisme perlu diciptakan dan dikampenyekan sebanyaknya-banyaknya. Lagu penuh pesan toleransi, nyanyian dengan lirik nasionalisme harus digelorakan. Konser dengan tema perdamaian bisa menjadi medium untuk merawat persaudaraan.
Setiap event, baik itu formal seperti seminar dan konferensi, maupun informal, tablig akbar dan istigasah, perlu diawali dengan lagu-lagu nasional. Anak muda adalah level usia yang tidak suka diperintah, dipaksa apalagi dengan cara menggurui. Musik bisa dijadikan sebagai solusi.
Deradikalisasi dengan medium musik merupakan strategi cerdas untuk menggait anak muda tanpa ada rasa dipaksa. Dengan musik, anak muda merasa terhibur. Dengan musik anak muda akan enjoy dan menikmati dengan hati terbuka.
*Alumni Sekolah Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif, Maarif Institute