Tafsir

Inspirasi dari Dua Keluarga Pilihan: Keluarga Ibrahim dan Imran

3 Mins read

Ada banyak tokoh yang diceritakan dalam Al-Qur’an. Penceritaan Al-Qur’an hendaknya dikembalikan kepada fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk (huda). Dengan demikian, tokoh-tokoh yang diceritakan dalam Al-Qur’an akan menjadi petunjuk dan sumber inspirasi untuk menjalani kehidupan. Selain tokoh secara personal, Al-Qur’an juga menceritakan seorang tokoh bersama keluarganya. Di antara keluarga istimewa yang dipuji oleh Al-Qur’an ialah keluarga Nabi Ibrahim dan keluarga Imran. Allah Swt. berfirman:

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran melebihi segala umat (pada masa masing-masing). (QS. Ali Imran [3]: 33)

Ayat ini menyebutkan Nabi Adam dan Nabi Nuh sebagai individu, sementara Nabi Ibrahim dan Imran disebut sebagai sebuah keluarga. Hal ini mengindikasikan adanya keistimewaan yang dapat menjadi inpirasi dari dua keluarga tersebut. Imran bukanlah seorang Nabi layaknya Adam, Nuh, dan Ibrahim. Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar (2015, 1: 619-620) memaparkan hubungan kekerabatan antara keluarga Nabi Ibrahim dan Keluarga Imran.

Nabi Ibrahim melalui Nabi Ismail dan Nabi Ishaq telah melahirkan sebuah keluarga besar. Keturunan Nabi Ismail berkembang menjadi bangsa Arab Adnani, dari sinilah lahir Nabi Muhammad Saw. Keturunan Nabi Ishaq berkembang menjadi Bani Israil, dari sinilah keluarga Imran berasal. Selanjutnya Imran memiliki putri yang bernama Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih. Dengan demikian, Buya Hamka menyimpulkan bahwa keluarga-keluarga yang mulia tersebut telah dimuliakan dengan nubuwwah dan risalah, melebihi sekalian manusia.

Inspirasi dari Keluarga Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim merupakan tokoh yang sering diceritakan dalam Al-Qur’an. Tidak hanya sebagai individu, melainkan juga terdapat beberapa episode kisah Nabi Ibrahim bersama keluaganya. Semuanya memiliki keunikan tersendiri. Selain diteladani sebagai figur istimewa, interaksi Ibrahim dengan keluarganya juga dapat menjadi sumber inspirasi. Salah satunya adalah kisah Nabi Ibrahim berikut:

Baca Juga  Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. al-Baqarah [2]: 132)

Buya Hamka (2015, 1: 251) menyatakan bahwa pesan wasiat tersebut disampaikan Nabi Ibrahim tatkala mendekati kematian. Ayat ini mengindikasikan bahwa agama harus dipegang teguh hingga akhir hayat, yaitu agama yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, tidak bercabang dan tidak mempersekutukan-Nya. Inilah potret keluarga yang menjadi inspirasi betapa pentingnya pengajaran agama. Bahkan saat menjelang ajal, wasiat Nabi Ibrahim kepada keluarganya adalah tentang agama. Bukan pesan untuk menjaga harta atau kekuasaan.

Ketika pesan terakhir yang disampaikan seorang ayah adalah tentang agama, artinya selama hidup pun ia menempatkan agama pada prioritas utama. Keluarga muslim hendaknya meneladani ini. Misalnya dalam konteks pendidikan, maka pendidikan yang paling utama adalah pendidikan agama. Jangan sampai keluarga hanya gandrung menuntut ilmu sains yang mendaki-daki, tapi membiarkan bacaan Al-Qur’an terbata-bata. Walaupun ‘ilmu dunia’ itu memang penting, tetapi ‘ilmu akhirat’ jauh lebih wajib dipelajari. Dari Nabi Ibrahim, kita diajarkan agar tidak meninggalkan keturunan yang lemah agamanya.

Inspirasi dari Keluarga Imran

Imran bukanlah seorang Nabi atau Rasul, tetapi Ali Imran (keluarga Imran) diabadikan menjadi salah satu nama surat dalam Al-Qur’an, yaitu surat ketiga dalam susunan mushaf. Buya Hamka (2015, 1: 621) menyatakan bahwa Imran adalah seorang laki-laki saleh. Imran memiliki seorang isteri yang ketika hamil memiliki nazar (janji), bahwa anaknya kelak diserahkan menjadi abdi Tuhan. Ungkapan istri Imran tercatat sebagai berikut:

(Ingatlah) ketika istri Imran berkata, “Ya tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi muharrar/hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Ali Imran [3]: 35)  

Baca Juga  Kehancuran Abu Lahab Si Penentang Islam

Kata Muharrar dalam Tafsir al-Jalalain (1999: 54) dimaknai sebagai orang yang memurnikan diri dari kesibukan dunia untuk berkhidmah di Rumah Allah. Dalam konteks kekinian, barangkali muharrar juga dapat berbentuk takmir atau pengurus masjid. Ungkapan istri Imran di atas mengindikasikan kesalehan yang tertanam dalam keluarganya. Istri Imran, melalui nazarnya, seolah mencita-citakan bahwa anaknya kelak menjadi seseorang yang mengabdikan diri di masjid. Sebuah cita-cita yag sangat jarang ditemui dari para orang tua di zaman ini.

Dari istri Imran, para calon ibu dapat mememetik inspirasi tentang sudut pandang terhadap anak. Profesi mentereng memang penting untuk kemudahan meraih harta. Harta daapat bernilai pahala apabila dibelanjakan di jalan Allah. Namun pemanfaatan harta secara benar itu hanya dapat dilakukan oleh orang saleh yang mengabdikan diri kepada Allah. Boleh saja mencita-citakan anak menjadi pejabat atau pengusaha sukses dan lain-lain, tetapi ‘profesi’ utamanya tetap pemakmur masjid.

Dari kehamilan istri Imran, lahirlah seorang anak yang diberi nama Maryam. Selanjutnya Maryam diserahkan pengasuhannya kepada Nabi Zakaria. Hal ini digambarkan dalam firman Allah Swt:

Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik, dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. (QS. Ali Imran [3]: 37)

***

Buya Hamka (2015, 1: 622) menyimpulkan dua hal penting tentang pendidikan anak dari ayat ini. Pertama, Maryam berasal dari keturunan orang tua yang saleh sehingga ia bertambah besar dalam darah keturunan yang saleh. Kedua, perhatian tentang pentingnya memilih orang untuk mengasuh dan mendidik anak. Dua hal ini harus berjalan sinergis. Artinya orang tua dan guru harus sama-sama saleh.

Meskipun orang tuanya merupakan keturunan baik-baik, kalau guru yang mendidiknya kurang baik maka pertumbuhan seorang anak menjadi kurang wajar. Begitupun sebaliknya apabila gurunya adalah orang saleh, namun orang tua cenderung tidak mendukung hal-hal baik. Pendidikan guru yang saleh di sekolah dilanjutkan dengan pendidikan orang tua yang saleh di rumah, maka terbentuklah anak yang saleh.

Baca Juga  Emansipasi Wanita untuk Mewujudkan Keluarga Sakinah
Editor: Yahya FR
Avatar
3 posts

About author
Alumni FUPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nyantri sambil ngajar di Ma'had Khairul Bariyyah Kota Bekasi.
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds