Oleh: Azaki Khoirudin
Armahedi Mahzar, seorang ilmuwan di bidang ilmu fisika yang berusaha mengolaborasikan antara sains dan agama. Pemikiran-pemikirannya banyak membincangkan keterkaitan antara sains dan agama. Mahzar mencentuskan konsep integralisme Islam. Pemikirannya dapat ditemukan dalam buku terkenalnya Revolusi Integralisme Islam, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi. Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2004.
Pemikiran yang lahir atas konstruksi dialektis antara spirit filsafat tradisional Islam dan pemikiran modern Barat. Dalam mengkontruksi gagasan, Mahzar banyak terinspirasi dari perkembangan filsafat dan teknologi kontemporer.
Konsep Integralisme Islam
Secara sederhana, “Integralisme Islam” adalah sebuah pendekatan yang mengikutsertakan semua kebenaran yang penting dari beragam disiplin keilmuan. Dalam paradigma integralisme memegang teguh prinsip menghormati dan kerja-sama ilmu pengetahuan beragam menjadi wawasan kemenyeluruhan dalam memendang sesuatu: baik sains, teknologi, seni, budaya maupun persoalan agama. Integralisme melihat semua sesuatu sebagai kesatupaduan yang tidak bisa dipecah atau dipisahkan dari kesepaduan realitas.
Ilmu pengetahuan/sains dalam pengertian modern adalah pengembangan dari filsafat alam yang merupakan bagian dari filsafat yang menyeluruh dalam khazanah keilmuan Yunani. Namun filsafat Yunani terlalu deduktif, yang berdasarkan pada pemikiran spekulatif. Karena itu perlu dilengkapi oleh pengamatan empiris sebagaimana yang telah diperintahkan dalam Al-Qur’an. Karena itu menurut Mahzar sains dan agama tidak bertentangan.
Hal ini bisa ditinjau dari catatan sejarah peradaban umat Islam di mana banyak ilmuwan-ilmuwan muslim yang mampu mengembangkan sains dengan sangat pesat. Di tangan para ilmuwan muslim sains memperoleh karakternya yang rasional dan obyektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Akan tetapi rasional sains tidak dapat terlepas dari rasional religius. Teologi, filsafat, dan sains merupakan kesatuan yang integral, Armahedi mahzar (2004:143).
Pengujian eksperimental menyebabkan sains menjadi kukuh. Dengan demikian, di tangan ilmuan muslim, sains memperoleh karakternya yang rasional obyektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Namun perlu dicatat bahwa rasionalitas sains tak bisa dilepaskan dari rasionalitas religius karena teologi, filsafat dan sains merupakan kesatuan integral (Merumuskan Paradigma Sains, 210-211).
Dalam membicarakan integralisme Islam, setidaknya ada tiga prinsip mendasar yang bersinggungan dengan dampak negatif dari postmodernisme. Tiga prinsip tersebut antara lain: kesatupaduan realitas, hirarki realitas dan Tuhan sebagai sumber kebenaran. Ketiga prinsip ini menurut Mahzar menjadi solusi bagi corak berpikir postmodernisme yang cenderung dekontruktif dan bersifat relativis. Pandangan Mahzar tentang agama dan sains dilihat dari perspektif Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber Ilmu yang utama bagi umat Islam.
Menuju Sains Islami
Konsep integralisme Islam dalam perspektif Armahedi dibagi menjadi dua jenjang yaitu vertikal dan horizontal. Pertama, jenjang vertikal yaitu meliputi : materi, energi, informasi, nilai, dan sumber nilai. Sementar yang kedua, jenjang horizontal meliputi manusia sebagai mikrokosmos, masyarakat sebagai mesokosmos, alam sebagai suprakosmos, dan Tuhan sebagai metakosmos.
Dalam integralisme slam, jenjang materi, energi, informasi, nilai, dan sumber nilai itu adalah perumusan kembali seperti yang disebut Imam Al Ghazali sebagai materi (Jism,) energi (Nafs), informasi (‘Aql), nilai (Qalb), dan sumber nilai (Ruh). Dalam integralisme Islam memperluas kesejajaran tersebut menjadi sebuah kesepaduan realitas yang integral, sesuai dengan penemuan hirarki vertikal sains modern. Dalam kesepaduan tersebut, realitas yang relatif sepadu dengan kesatuan realitas yang mutlak. Dengan demikian, integralisme dapat dilihat sebagai perwujudan mutahir tradisi filsafat Islam. (Hasan Baharun, 2011:148).
Menurut Armahedi, dalam interpretasi teologis terhadap ontologis sains itu merupakan manifestasi kreatifitas informatik hukum-hukum alam yang merupakan perintah-perintah-Nya yang merupakan manifestasi sifat-sifat-Nya yang berwujud dalam bentuk prinsip-prinsip holarki nilai-nilai yang implisit dalam hukum-hukum alam dan budaya manusia. Sifatullah yang banyak itu merupakan atribut-atribut dari Dzatullah, substansi mutlak yang satu yang merupakan pencipta alam semesta (Mazhar, 2004:231-232).
Berdasarkan hal ini, dapat dipahami bahwa sains masa depan lebih erat terjalin dengan agama. Paradigma sains Islami masa depan dapat disebut paradigma tauhid jika menekankan pada dimensi ilahiyah. Paradigma sains Islami merupakan paradigma ilmu agama Islam, oleh karenanya juga merupakan unifikasi bagi ilmu alam dan ilmu agama. Akan tetapi paradigma tersebut tidak hanya menyatukan ilmu kealaman dengan ilmu agama tetapi juga merupakan paradigma ilmu kemanusiaan dan kemasyarakatan (Hasan Baharun, 2011:149).
Demikianlah pandangan Mazhar terkait sains dan agama. Dimana antara sains dan agama menurut dia memiliki hubungan integralitas yang saling menguatkan diantara keduanya. Selain itu terkait konsep integralitas tersebut Armahedi melihatnya menggunakan sudut pandang Al-Qur’an dan Hadits, sehingga muncullah konsep integral sains Islam. Yang mana antara ilmu agama dan ilmu alam yang dalam hal ini adalah sains merupakan satu rangkaian keilmuan yang saling berkaitan dan menguatkan sehingga tidak dapat terpisahkan antara keduanya.