Manusia Dilahirkan di atas Fitrahnya
Islam Agama Fitrah – Dalam suatu hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Dalam pandangan Islam, orang tua mesti menumbuhkembangkan anak mereka agar tetap memegang teguh Tauhid. Lebih dari itu, mereka juga semestinya terus berupaya menjadikan anak-anaknya Muslim yang baik, yang dapat menjadi kebanggaan Rasulullah SAW, di dunia dan akhirat kelak.
Ada satu kisah yang terkandung dalam hadis riwayat Ibn Jarir, tentang betapa tingginya perhatian Rasulullah SAW terkait hal itu. Seperti dituturkan Al-Aswad ibn Sari’ dari Bani Sa’ad, yang mengikuti empat peperangan bersama Nabi SAW. Dalam suatu peperangan, sebagian dari pasukan Islam kedapatan membunuh anak-anak. Tindakan itu mereka lakukan setelah membunuh pasukan musuh.
Tatkala berita itu sampai kepada Rasulullah SAW, beliau SAW sangat marah. “Kenapa mereka membunuh anak-anak?” tanya Nabi SAW dengan nada keras. Salah seorang dari mereka menjawab, “Ya Rasulullah, bukankah mereka itu anak-anak kaum musyrikin?”
“Yang terbaik di antara kalian pun juga anak-anak kaum musyrikin. Ketahuilah bahwa tidaklah seorang pun dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Dia akan tetap dalam fitrahnya itu sampai lisannya sendiri mengubahnya. Maka kedua orang tuanya-lah yang meyahudikan dan menasranikannya,” jelas Rasulullah SAW, sama sekali tidak membenarkan perbuatan mereka itu.
Islam Sebagai Agama Fitrah: Empat Pembagian
Secara garis besar, Islam sebagai agama fitrah terbagi atas empat ajaran:
Pertama, aqidah (kepercayaan). Ajaran tentang aqidah Islam bersumber kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul. Dalam bidang ini, akal tidak diberi kesempatan untuk merubah hal-hal yang telah ada dalam Al-Qur’an dan sunah Rasul guna menghindari penyelewengan.
Kedua, ibadah. Dalam Islam ada dua macam ibadah yaitu ibadah dalam pengertian umum (ghairu mahdah) dan ibadah dalam pengertian khusus (mahdhah).
Aspek ibadah (khusus) di sini adalah dalam pengertian khusus yang merupakan upacara pengabdian yang bersifat ritual. Yang telah diperintahkan dan diatur cara-cara pelaksanaannya dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Di sini, akal tidak diberi kesempatan untuk menambah, mengurangi, atau mengubah ketentuan yang telah dinyatkan di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasul. Kecuali dalam ibadah yang aspek sosialnya sangat menonjol (ibadah sosial), maka akal diberi kesempatan memperluas bentuknya dengan jalan ijtihad.
Ketiga, akhlak. Akhlak adalah tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang normanya ditetapkan dalam Al-Qur’an, sunah Rasul, dan hati nurani manusia.
Umat Islam dalam kehidupan sehari-hari hendaklah mencontoh perjalanan hidup Rasul (QS. Al-Ahzab, 21). Rasulullah diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia (hadis).
Keempat, mua’amalah (kemasyarakatan). Aspek ini merupakan pengaturan hidup manusia di atas bumi. Misalnya bagaimana pengaturan tentang hubungan sesama manusia, harta benda, perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara, dan lain sebagainya. Dalam mu’amalah ini pada umumnya Al-Qur’an memberikan pedoman-pesoman secara garis besar, Sunah Rasul memberikan penjelasannya.
Untuk selanjutnya, menghadapi perkembangan kehidupan umat manusia, yang tidak pernah berhenti itu, Islam memberikan kesempatan kepada akal dan pikiran manusia untuk melakukan ijtihad berdasarkan kepada semangat atau jiwa Al-Qur’an dan sunah Rasul. Semoga kita digolongkan sebagai umat yang kembali kepada fitrah dan banyak menebarkan salam kepada lingkungan sekitarnya. Aamiin.
Potensi Kreatif Manusia dengan Fitrah
Dengan fitrah yang inheren dalam dirinya, manusia memiliki potensi kreatif untuk mendorong diri dan jiwanya secara proporsional pada sesuatu yang mutlak (beriman pada Allah) tanpa batas melalui jalan yang benar dan lurus (al-shirat al-mustaqim).
Itulah jalan Islam yang luas tanpa batas yang inheren dengan jiwa kemanusiaan.
Dengan demikian, siapa pun yang berusaha mengajak, menyerukan, atau memobilisasi manusia ke dalam satu keyakinan agama, pada hakikatnya ia telah memisahkan atau mengeluarkan agama tersebut dari jiwa manusia.
Artinya, karena agama dipersepsikan berada di luar jiwa manusia, maka otomatis akan melahirkan upaya-upaya memasukkan manusia ke dalam agama tersebut. Di sinilah terjadi upaya pereduksian kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama.
Idealnya, setiap manusia menyadari hakikat fitrah kemanusiaannya. Tapi dalam realitasnya, lebih banyak manusia tersesat dan mengotori fitrahnya. Karena itulah, Allah mengutus para Nabi untuk mengembalikan kesadaran manusia.
Karena misi para Nabi adalah penyadaran, maka dalam perspektif Islam, firman Allah yang pertama kali diwahyukan pada Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca, membaca, dan membaca (iqra’, iqra’, iqra’).
Dalam membaca, ada proses penyadaran. Yakni proses transformasi dan reorientasi pada satu titik kekhalifahan (fitrah) tanpa sedikitpun unsur keterpaksaan atau dipaksakan.
Karena itu pula, bahkan Muhammad SAW pun tak diberi mandat ataupun kewenangan untuk memaksakan orang kafir pada masanya untuk kembali pada fitrahnya sebagai manusia yang beriman kepada Allah. Ketiadaan mandat ini ditegaskan melalui firman-Nya:
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi. Maka apakah kamu (Muhammad) hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. 10:99).
Rasyid Ridha, dalam tafsirnya Al-Manar, menyebutkan: “Bahwa kalimat ‘jikalau Tuhanmu menghendaki’ artinya adalah Nabi Muhammad sendirilah yang benar-benar menghendaki keimanan kaumnya, yang merasa bersedih hati melihat penolakan umatnya terhadap seruan dan petunjuknya. Adapun kalimat ‘tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi’ artinya Nabi Muhammad pulalah yang menghendaki semua umatnya beriman kepada Allah sesuai dengan fitrahnya.”
Editor: Yahya FR