Tajdida

Islam Berkemajuan di Era Masyarakat 5.0

4 Mins read

Belum lama masyarakat Indonesia mulai mempelajari revolusi teknologi 4.0, kini dunia global sudah harus mempersiapkan diri berhadapan dengan era 5.0. Berhadapan dengan hal yang dianggap “termutakhir” masih gagap, ternyata hal yang melampauinya sudah hadir.

Mau tidak mau, hal yang serba baru dan terus-menerus memperbarui dirinya tersebut, harus direspon. Dan kita, terutama kaum muslim, harus menjadi bagian daripadanya.

Hyper-reality dari Internet

Tentu secara alamiah, niscaya manusia terbawa arus “kebaruan”. Walaupun, sejatinya yang mula-mula membuat arus baru (dan terbaru), adalah hewan rasional itu sendiri. Dengan demikian, kaum Muslim memiliki dua pilihan. Yakni “menciptakan” dan “mengendalikan” atau tergilas zaman.

Ketika teknologi 4.0 muncul ke permukaan, hal itu hadir bersamaan dengan era disrupsi informasi. Hoax merajalela, yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar dan kebenaran yang hakiki tidak lagi dianggap popular.

Secara antropologis, al-Qur’an mengingatkan kepada kita, “Laqad halaqna al-insana fi ahsani taqwim. Tsumma radadnahu asfala-safilin” (Telah kami ciptakan manusia dalam wujudnya yang paling unggul. Kemudian kami gelincirkan ia ke martabat yang serendah-rendahnya).

Dua antropolog yang bersahabat karib, Anderson dan Dale Eickelman hanya memberikan isyarat bahwa, munculnya teknologi baru, mendorong lahirnya “media baru”. Dan media baru inilah yang membangun cara hidup baru.

Antropolog lainnya, Jean Baudrillard menyebutkan, dengan cara hidup yang baru ini, manusia dihadapkan dengan kemunculan “simulacrum“: hal yang serba seolah-olah. Hal ini semacam “sihir” yang membuat siapa saja “manjun” karena hal-hal yang tak nyata, ia anggap justru itulah yang paling nyata ketimbang realitas kehidupan yang sebenarnya. Akhirnya, manusia mulai mengafirmasi “hyper-reality” atau realitas yang keterlaluan.

Yang kita bicarakan ini sebenarnya adalah cyberspace alias alam sibernetik. Bahasa kasarnya adalah dunia internet atau secara lebih konkret adalah ruang-ruang media sosial.

Post-truth dan Penghancuran Global

Secara praktis, mausia terlalu sembrono termakan oleh kabar bohong, palsu dan abal-abal. Bahkan, ia mengimani dengan sebenar-benar iman, walau sebenarnya serba keliru. Akibatnya, ia mau secara tulus dan ikhlas mengorbankan nyawanya untuk hal yang paling keji sekalipun, asalkan itu bagian dari imannya (walaupun palsu).

Baca Juga  Bolehkah Fanatik Dengan Muhammadiyah?

Dalam konteks ini, kita sangat gemar mem-forward berita tidak jelas di berbagai grup WhatsApp bukan? Berjihad demi cebong atau kampret. Meskipun, sebenarnya sedang dikadali buaya (buaya darat).

Kasihan Si Habib. Harus terusir dari kampung halaman karena konspirasi Sengkuni. Sementara Si Wowo, juragannya, kini ngenger ke Pak Dhe Joko mengurus peternakan kerbau. Meskipun cuman satpam, ia berharap akan menjadi lurah pada 2024 mendatang.

Fenomena post-truth, benar-benar menjadi problem yang menjengkelkan. Lebih daripada itu, sebenarnya problem yang lebih serius dan berskala global, tengah berlangsung. Apa itu? Praktik penghancuran alam besar-besaran, pemanasan global yang semakin cepat, perubahan iklim yang tak tertangani dan makhluk-makhluk digdaya namun super serakah sedang berperang satu sama lain memperebutkan singgasana kekuasaan yang semu.

Ingat, saudara-saudara, kiamat sudah dekat. Kasihan jomblowan dan jomblowati, mereka belum merasakan nikmatnya jannatul firdausi fi ardina Indunisia (bahasa Indonesianya: belah duren).

Manusia-manusia luput memperhatikan hal ini. Sampai pada suatu ketika, seorang gadis belia, Greta Thunberg berdiri dan berteriak mengecam keras para pemimpin dunia, yang abai dengan apa yang terjadi. Ketika Donald Trump dan Vladimir Putin bergeming, Xi Jinping sedang demam hebat, karena tak kunjung sembuh dari “pilek” Corona yang mendera. Di dalam kitab suci, disindir nyinyir, “Ka anna fi udunaihi (dalam hal ini, udunaihim waqro) (sepertinya ada batu yang menyumbat telinga mereka; sehingga tuli, hati nuraninya).

Dalam konteks ini, perkembangan teknologi 4.0 terikat erat dengan benang kusut problem-problem akbar yang tampaknya tak terselesaikan.

Masyarakat 5.0

Menyadari betapa memprihatinkannya kehidupan kita, Jepang mempersiapkan diri untuk bertahan hidup (survival) di masa depan. Sekurang-kurangnya, dalam rangka beradaptasi dengan era teknologi 5.0.

Era ini tidak jauh berbeda dengan penemuan-penemuan mutakhir 4.0. Misalnya “Information Technology” menjadi “Data Technology”, “Internet only” menjadi “Internet of Thing”, lalu “Human intelligentsia” menjadi “Artificial Intelligence” dan pada akhirnya “Super-Artificial Intelligence”, serta “Robotic Technology” menjadi “Humanoid Robot” dan lalu menjadi “Super-Humanoid Robot.”

Baca Juga  Fikih Tata Kelola Zakat (3): Kebutuhan Fatwa Baru Muhammadiyah

Sepintas tidak ada perbedaan antara kecanggihan 4.0 dan 5.0. Tapi, sebenarnya perbedaannya sangat fundamental. Jika 4.0 adalah arus besar yang menggulung hati nurani manusia, 5.0 arus baru yang secara kreatif diciptakan terus-menerus untuk tujuan tertentu yang lebih mulia: pembangunan peradaban.

Di era 5.0, manusia-manusia super kreatif harus memiliki Higher Order Thinking Skills (HOTS). Hal ini mirip seperti pemikiran Soedjatmoko mengenai “Filsafat Sarung Tangan.” Menurutnya, betapapun sains dan teknologi itu berkembang pesat, tetap posisi mereka adalah alat. Artinya, sebagaimana halnya sarung tangan, yang mengendalikan adalah tangan manusia itu sendiri.

Tantangan Islam Berkemajuan

Sayangnya, kebanyakan manusia sangat memahami “tangannya” yang terkendali untuk apa, mengarah ke mana dan bertujuan untuk mencapai apa. Dengan demikian, masih melayani hasrat yang dikehendaki. Atau meminjam istilah Jacques Lacan, menjadi hamba untuk Juissance (baca: juasong) yang mengikat lehernya sendiri. Mereka membinatangkan jati dirinya, sehingga “Kal an’am, bal adhal” (Seperti hewan yang rakus nan bernafsu, bahkan lebih parah lagi).

Manusia-manusia ini, ketika memahami betul tangannya yang bahkan membesi, lupa untuk merenungkan siapa dirinya, apa tujuan eksistensinya dan mengapa demikian.

Al-Qur’an sekali lagi mengingatkan, “Wal ashri, inna al-insana lafi husrin, illa al-lladina amanu wa amilu al-shalihati, wa tawashau bi al-haqq wa tawashau bi al-shabr.” (Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh [menghindarkan dari dari dehumanisasi dan destruktivikasi alam] dan saling menasehati akan kebenaran dan kesabaran).

HOTS yang biasa saja tidaklah cukup, karena berpotensi menjadi hal yang tak terkendali. Sementara HOTS yang lebih tinggi tingkatannya adalah yang mampu menatap masa depan keabadian. Manusia, alam dan semesta yang harmonis, damai, penuh kebajikan, luhur dan bersifat transendental.

Dalam konteks antropologis, manusia sebagai manusia (homo mensura), maka kiranya perlu kita membangun harapan transendental (harus ada revolusi harapan mengenai masa depan yang sungguh-sungguh cerah).

Baca Juga  MODERASI INDONESIA: Ringkasan Pidato Guru Besar Haedar Nashir

Kita perlu berdoa, “Rabbana hablana hukman wa al-hiqna bi al-shalihin.” (Wahai Rab, Tuhan kami, bangunlah jati diri kami agar menjadi bijaksana dan doronglah kami agar menjadi bagian dari kaum yang penuh kebajikan).

Sementara dalam konteks sosiologis, ajaran Islam Berkemajuan memberikan jalan tengah dalam rangka menghadapi fenomena “kebaruan” yang terus berubah dan sulit dikendalikan, yakni kita harus menjadi “Khalifatullah fi al-ardhi wa khushushan, khalifatullah fi al-ardina, Indunisia.

Masyarakat yang Berkemajuan

Hal yang paling brilian dan masuk akal dalam menghadapi era 5.0, khususnya dalam situasi dan kondisi keindonesiaan, adalah mengafirmasi gagasan Dar al-Ahd wa al-Syahadah. Indonesia mesti dianggap sebagai negara kesepakatan yang Islami ketimbang negara Islam (dar al-Islam) atau sebaliknya, negara kafir yang mesti diperangi (dar al-harb).

Konsekuensinya, tidak perlu mempertentangkan antara Islam dan Pancasila. Sebab, Pancasila itu sendiri sudah Islami dan berisi ajaran kebajikan yang universal. Karena itu, yang bersifat Islami ini secara obyektif bisa diterima oleh penganut agama-agama lainnya, termasuk penghayat keagamaan lokal.

Akan tetapi, menerima hal yang ideal (dar al-ahd) saja tidak cukup. Perlu dibarengi dengan gerakan praksis sosial kebangsaan, yakni dar al-syahadah. Artinya, menjadikan Indonesia sebagai “tempat bersaksi” bahwa seluruh umat manusia, khususnya kaum Muslimin, telah bersatu-pada dalam misi pembangunan peradaban bangsa, menuju Indonesia yang berkemajuan.

Karena itu, masyarakat 5.0 versi Nusantara, adalah masyarakat yang berkemajuan, yang terikat oleh tali kebangsaan (mitsaqan ghalidzan) Dar al-Ahd wa al-Syahadah. Apapun kebaruan, kemajuan dan progress yang kita hadapi, termasuk sains dan teknologi yang super canggih, tiada lain hanyalah instrumen pembangunan peradaban kemanusiaan yang unggul.

Akhirnya, marilah kita ber-muhafadzah ‘ala qadim al-ashlah, wa al-ijad bi al-ajdad al-shalihah (melestarikan hal yang terbaik dari masa lalu dan menciptakan yang terbaru dan unggul pada masa sekarang).

Editor: Nabhan

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds