Bukanlah sebuah kesalahan apabila orang menganggap bahwa Islam itu adalah sumber radikalisme, kericuhan, dan pertengkaran yang tak kunjung menemui titik temunya. Hal ini disebabkan karena merasa diri dan agama yang melekat saat ini adalah yang paling benar dan seolah-olah yang lain adalah salah. Bahkan antar ummat Islam sendiri sangat sering dijumpai budaya takfiri antara organisasi yang satu ke organisasi yang lainnya. Oleh karena itulah wajah Islam saat ini telah menjadi wajah yang usang nan menakutkan, bukan lagi menjadi wajah yang memberikan kehangatan, harapan, dan perdamaian yang disebabkan oleh oknum-oknum yang terlalu ekslusif, egoistik dan realistik.
Islam Bukan Rahmatan Lil’alamain, Benarkah ?
Islam selalu dibanggakan oleh para penganutnya dengan mengatakan bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin, namun ini hanya akan terkesan seperti slogan dan retorik saja apabila tidak ada reinterpretasi dan aktualisasi terhadap kalimat ini.
Memang benar, Allah menjelaskan dalam Alquran bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) baik itu manusia, hewan dan tumbuhan serta seluruh apa yang ada di bumi. Hal ini ditegaskan dalam QS Al-anbiya : 107 Tidaklah kami utus engkau Muhammad melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Secara tekstual barangkali ayat ini hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, namun berangkat dari jal tersebut bahwa manusia sebagai ummatnya hendaknya senantiasa mengikuti pola hidup dan dakwah Rasululloh saw. Yang menarik adalah ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa semua orang Islam adalah rahmatan lil’alamin.
Jelasnya, Islam akan menjadi rahmatan lil’alamin apabila misi ini diemban oleh orang Islam yang mampu menjadi rahmatan lil’alamin pula. Sehingga, apabila kekisruhan-kekisruhan, penindasan dan kemiskinan masih terjadi dan merugikan kaum mustad’afin di sebuah wilayah, maka Islam menurut pandangan saya belum bisa rahmat bagi seluruh alam.
Bahkan menarik apa yang dikatakan oleh Pak Eko Prasetyo (Founder Social Movement Institute) dalam sebuah diskusi bahwa apabila kemiskinanan masih menimpa kaum yang lemah, maka yang patut disalahkan adalah masjidnya (dalam artian pengurus masjid).
Hakikat Islam yang Rahmatan lil’alamin
Menurut M. Atho’ Mudzhar yang dikutip oleh Ismail Fahmi Arrauf bahwa Islam sebagai “rahmat” berarti jalan keselamatan, kemaslahatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Sebagai rahmatan lil ‘alamin Islam adalah agama bagi seluruh ummat manusia (universal).
Hal ini juga dijelaskan oleh Ismail Fahmi bahwa kehadiran Islam memberi penegasan bahwa agama ini dihadirkan Tuhan untuk menjadi institusi penyelamat tenda kemanusiaan. Sehingga sudah sangat jelas bahwa Islam akan menaungi siapapun baik itu yang kafir bahkan yang tidak beragama sekalipun.
Di samping itu, sebagai seorang yang beragama Islam sejatinya akan membuat individu tersebut menjadi sosok yang peduli terhadap realitas sosial dan memiliki spirit pembaharuan dan pembaruan kehidupan ummat manusia tanpa memandang agama dan status sosialnya. Hal ini dikatakan oleh Nurcholis Madjid bahwa sikap religiusitas seseorang akan menumbuhkan kesadaran sosial yang tinggi baik itu kesadaran sebagai sesama manusia yang toleran dan humanis.
Sehingga seseorang yang semakin dekat dan cinta kepada Tuhannya, maka ia akan semakin dekat dan cinta kepada hamba (makhluk) Tuhan yang lain pula. Kecintaan pada Tuhan bukan lantas membuat seseorang tidak peduli terhadap manusia dan berbagai persoalan lain. Apabila kemiskinan, kekerasan, dan penindasan serta ketidakadilan yang membuar masyarakat terpuruk masih merajalela, maka wajah Islam hari ini belum mampu menjadi rahmatan lil’alaim, Islam belum mampu menjadi source of solution atau problem solver bagi kemanusiaan atau bahkan Islam hanya akan menjadi source of problem/ part of problem (sumber/ bagian dari masalah) semata.
Seperti yang dikemukan oleh Fuad Jabali yang dikutip oleh Abuddin Nata bahwa Islam rahmatan lil’alamin adalah memahami Alquran dan Hadis untuk kebaikan sesama manusia, alam dan lingkungan, serta memerikan kesejukan, kedamaian, ketenteraman, dan keharmonisan dalam kehidupan seluruh ummat manusia dalam bentuk kasih sayang, kemanusiaan, tolong menolong dan saling menghormati.
Representasi Islam Rahmatan lil’alamin
Dalam Sejarah Hidup Muhammad yang ditulis oleh Husain Haikal menyebutkan beberapa kebijakan Nabi seperti Piagam Madinah, Perjanjian Hudaibiyah, Khutbah Haji Wada, pembagian harta rampasan perang dan lainnya adalah misi kemanusiaan. Piagam Madinah yang disetujui oleh semua penduduk Madinah (Islam, Yahudi, Majusi, Nasrani dan seluruh suku di dalamnya) yakni sebanyak 47 pasal yang berisikan tentang pengakuan terhadap perbedaan agama, suku, bangsa, budaya, menghormati agama dan keyakinan, bebas menentukan jalan hidup, bebas bepergian, saling memberikan pengamanan, mematuhi pimpinan, menyelesaikan masalah dengan musyawarah dan sebagainya.
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam juga dijumpai saat Umar bin Khattab menaklukkan Yerussalem, dimana pada saat itu Khalifah Umar melarang ummat Islam merusak dan merampas tempat ibadah penganut Yahudi (Sinagog), melarang menyakiti anak-anak, kaum wanita, rumah penduduk, dan sebagainya. Menurut Al-Waqidi pada saat perang Hunain, ummat Islam memperoleh 6000 tawanan perang, 24.000 unta dan 40.000 kambing. Nabi saw dipaksa prajuritnya dari Bani Tamim, Sulay dan Fizarah agar membagikan harta rampasan perang itu.
Rasululloh menginginkan agar harta tersebut diberikan kepada para mu’allaf dan membebaskan para tawanan yang harus berpisah dengan anak dan istri mereka. Namun hal ini ditentang keras oleh sebagian pengikutnya hingga jubah nabi hampir sobek. Namun dengan kesabaran yang beliau miliki, ia terus memberikan pengertian hingga akhirnya mereka menerima kebijakan Nabi.
Pada dasarnya keimanan lah yang membuat seorang muslim menjadi rahmat bagi seluruh alam dan inilah titik perbedaan antara orang Islam yang beriman dengan yang tidak beriman, orang beriman dengan orang kafir dan orang beriman dengan orang yang tidak bertuhan.