“Aku dipuja layaknya dewa dan dikutuk layaknya bandit”, begitulah Sukarno (Bung Karno) menggambarkan dirinya sendiri dalam autobiografinya. Dengan kontroversi perilaku dan jasa besarnya untuk tanah air Indonesia, segala hal tentangnya menarik untuk diulas dan dikaji. Sehingga dalam rentang sejarah bangsa Indonesia, bahkan hingga kini dan pada masa-masa mendatang, Sukarno masih akan tetap hidup dan “laku”. Oleh karena itu, tak heran jika banyak seminar atau diskusi yang membedah pemikiran Sukarno. Bahkan ada banyak berbagai buku yang menceritakan Sukarno dari berbagai sudut pandang, mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan agama.
Salah satu buku yang berbicara mengenai Sukarno dan agama adalah buku karya Mochamad Nur Arifin berjudul, “Bung Karno Menerjemahkan Al-Qur’an”. Buku ini terbit pada tahun 2017 dan diterbitkan oleh penerbit Mizan. Buku yang terdiri dari 271 halaman ini terdiri dari empat bab, yakni: 1). Religiusitas Bung Karno, 2). Bung Karno, Teks Suci, dan Ijtihad, 3). Jalan Islam Bung Karno, 4). Nasionalis Religius.
Sukarno mengaku beragama Islam dan pengagum Nabi Muhammad Saw. Sebagai Muslim, Sukarno banyak merujuk dan menyandarkan pemikiran serta perbuatannya kepada Al-Qur’an. Dan sebagai pengagum berat sosok Nabi Muhammad Saw, Sukarno terus menggali pelajaran hidup dari Nabi Saw agar bisa dikontekstualisasikan dalam konteks bernegara maupun sebagai pribadi dan warga negara.
Religiusitas Bung Karno
Sukarno muda merupakan sosok yang beda dengan kebanyakan pemuda saat itu, yang sudah puas dengan gelar dan kerja. Ini membuatnya selalu dikecam kegelisahan dan dilema. Dilema yang membawanya kepada alam pikir dan ruang pelarian menuju kesunyian dan kesendirian. Dari sanalah ia mendapatkan ilham politik dan perjuangan yang ia sebut sebagai Marhaenisme. Proses ini mirip seperti yang dilakukan Nabi Saw di gua Hira, dimana Nabi Saw mendapat ilham dan wahyu pertama.
Wahyu pertama itu ialah iqra (bacalah). Secara tekstual adalah baca ayat suci Al-Qur’an. Namun, secara kontekstual, yang dibaca Nabi Saw adalah fenomena. Fenomena itulah yang menjadi objek misi kenabian. Menciptakan fenomena baru yang penuh harap sebagai pengganti fenomena lama yang penuh durjana. Merobohkan tiang-tiang diskriminasi, ketidakadilan, hegemoni ekonomi, dan lain sebagainya.
Sebagai seorang muslim Bung Karno adalah orang yang taat dalam beribadah. Sebagai pemimpin, Bung Karno selalu ingin dekat dengan rakyatnya. Semua orang tahu itu. Namun, tidak banyak yang tahu kedekatan personal Bung Karno dengan Tuhannya. Ada berbagai kisah soal konsistensi ritual ibadah Bung Karno. Dalam sambutannya di Muktamar ke-13 NU tahun 1959, Bung Karno berbicara soal ibadah. Menurut Bung Karno, ibadah ialah suatu perbuatan yang dikerjakan manusia sesuai apa yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, setiap pekerjaan baik adalah ibadah kepada Allah. Baginya ibadah tidak hanya ritual, tetapi juga sosial.
Ketaatan ibadah Bung Karno tidak hanya diterapkan pada dirinya sendiri, tetapi diinginkannya juga pada orang lain. Ketika melaksanakan haji, melihat Padang Arafah yang tandus dengan permukaan batu yang cadas serta gersang, Bung Karno mengusulkan kepada raja Arab Saudi untuk melakukan penghijauan di Padang Arafah. Bahkan, Bung Karno sendiri yang memilih jenis tanaman yang memang cocok untuk lahan tandus dan cuaca ekstrem.
Ibadah bagi Bung Karno bukan hanya soal hubungan vertikal dengan Tuhannya. Baginya hubungan sosial antara sesama manusia tidak kalah pentingnya. Pasalnya, ibadah ritual jelas wujud penghambaan manusia kepada Tuhan. Tetapi ibadah sosial membutuhkan kesadaran kemanusiaan sehingga bisa tergerak untuk menjalankannya serta dilandaskan pada niat yang benar, tanpa ada unsur pragmatisme. Selain itu, Islam tidak hanya sebatas agama yang melangit, sekedar kumpulan doktrin yang membeku. Islam adalah agama yang sarat dengan dimension praksis. Islam itu faith in action: keyakinan yang teraktualisasikan dalam aksi-aksi nyata.
Bung Karno “Menafsir” Al-Qur’an
Bung Karno sangat dekat dengan Al-‘Qur’an. Di berbagai pidatonya, ia banyak mengutip ayat Al-Qur’an. Salah satu ayat yang dikutip saat melakukan pidato di podium Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-15, pada 30 September 1960. Bung Karno mengutip surah Al-Hujarat Ayat 13:, “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah yang lebih takwa kepada-Ku”.
Selepas mengutip ayat Al-Qur’an Bung Karno bicara lantang tentang ketidakadilan global. Ia mengkritik keras praktik kolonialisme dan imperialisme yang bertentangan dengan dasar fitrah kemanusiaan yang dianugerahkan oleh Allah Swt, berupa kebebasan. Keragaman adalah fitrah dasar penciptaan alam dan manusia, seperti yang termaktub dalam surah Al-Hujarat ayat 13. Allah Swt menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuannya satu: terbangun komunikasi, relasi, interaksi antar sesama, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut “agar saling mengenal satu dengan yang lainnya”.
Dengan demikian, perbedaan akan menciptakan keindahan hidup bukan kesengsaraan. Inilah universalitas Islam yang relevan dengan kondisi dunia saat itu yang masih penuh dengan praktik ketidakadilan global. Sangat jelas disini Bung Karno berhasil menarik benang merah antara universalitas Islam dan realitas global. Bukan tanpa alasan Bung Karno mengutip ayat itu, dalam tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab menuliskan bahwa makin kuat pengenalan satu pihak dengan pihak lainnya, makin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat.
Karena itu, ayat yang dikutip Bung Karno menekankan untuk saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan kedekatan kepada Allah Swt, yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
Secara keseluruhan, pidato Bung Karno berpesan tentang keadilan dan kemanusiaan. Pidatonya benar-benar menegaskan tentang keragaman sebagai fitrah kemanusiaan yang tidak bisa dipungkiri sehingga harus dijaga dan dirawat. Setiap manusia memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal kemanusiaan. Inilah pesan universalitas Islam sebagai agama kemanusiaan. Oleh karena itu, disinilah Bung Karno memperkenalkan apa itu Pancasila yang berbeda dari ideologi liberal dan komunis. Yakni ideologi alternatif yang berpegang teguh pada prinsip ketuhanan, keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan yang bertanggung jawab.
Editor: Soleh