Tajdida

Islam dan Negara: Pandangan Dua Tokoh Muhammadiyah

4 Mins read

Tulisan ini berawal dari beberapa diskusi terkait berbagai isu yang ada, seperti masalah Islam dan negara. Bagaimana ketika islam sebagai agama seringkali dipertentangkan dengan negara. Kita sebagai umat Islam yang tinggal di Indonesia sebagai mayoritas muslim terbesar di dunia pasti akan bertanya-tanya, ada apa dengan sistem pemerintah saat ini?.

Pertama, kebijakan Menteri Agama yang ingin menghapus mata pelajaran agama dan bahasa Arab di sekolah Madrasah. Ataupun juga dengan wacana menggabungkan antara pelajaran agama dan PPKn, yang pada akhirnya menuai banyak kontroversi di dalamnya.

Kedua, kebijakan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memperlakukan Pancasila sebagai ideologi negara. Pada akhirnya ingin menghilangkan nilai-nilai luhur dalam butir pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa.”

Penulis seolah merasa bahwa kini agama bukan lagi dianggap sebagai solusi bagi problem yang ada. Tetapi sebagai problem yang baru dalam melaksanakan sistem pemerintahan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Maka, dari sini penulis ingin berasumsi bagaimana hubungan antara agama dan negara. Serta menghadirkan pandangan dari dua tokoh Muhammadiyah dan bangsa.  Barangkali dengan memaparkan dua pandangan tokoh ini, mampu membuat pikiran kita semua terbuka akan hal tersebut.

Islam dan Negara

Perbincangan mengenai relasi antara agama dan negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan yang terus berlangsung di kalangan para ahli. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara sebagai bagian dari dogma agama.

Dalam teori Islam klasik, tujuan dibentuknya suatu negara tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lahiriah manusia saja. Akan tetapi juga terdapat kebutuhan yang bersifat rohaniah. Untuk kepentingan inilah, agama dijadikan sebagai landasan dalam bernegara.

Baca Juga  Almanaar, Nuraini, dan Anjar Nugroho

Dari pengertian di atas, muncul istilah al-Islam huwa al-Din wa al-Daulah (Islam adalah agama dan negara). Sementara itu di sisi lain, kaum sekular berpandangan bahwa negara merupakan urusan kepentingan bersama. Sementara agama merupakan kepentingan yang bersifat pribadi. Jadi menurut mereka, antara agama dan negara tidak dapat dipersatukan.

Paradigma Negara dan Agama

Secara garis besar, perbedaan pendapat tentang bentuk negara dan hubungannya dengan agama di kalangan para politikus Islam digolongkan dalam tiga aliran sebagai berikut:

Pertama, paradigma integralistik. Paradigma kelompok ini berpandangan bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yaitu hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sebaliknya islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan segala peraturan dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sehingga, mereka berpandangan bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Adapun tokoh-tokoh yang bepandangan seperti ini yaitu Hassan al-Banna, Sayyid Qutub, Rasyid Ridha, dan Abu al-a’la Al-Maududi.

Kedua paradigma sekularistik. Paradigma kelompok ini berpandangan bahwa negara adalah lembaga politik yang terpisah dari agama. Oleh karena itu, kepala negara hanya mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan.

Dalam pengertian mereka, Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa. Sama seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Ali Abdur Raziq, Thaha Husein, dan Lutfy Sayyid.

Ketiga, paradigma simbiotik. Paradigma ini berpandangan bahwa agama dan negara memiliki hubungan timbal balik dan saling ketergantungan satu dengan yang lain. Dalam hal ini, negara membutuhkan agama sebagai pedoman moral bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, agama juga membutuhkan negara sebagai alat untuk mengontrol kekuasaan agar tidak bersifat tirani. Tokoh yang berpandangan seperti ini yaitu al-Mawardi.

Baca Juga  Islam dan Pancasila Selaras, Jangan Dibenturkan!

Pandangan Buya Syafi’I Maarif

Menurut pandangan Buya Syafi’I Maarif terkait hubungan antara agama dan negara bukan sekadar hanya hubungan yang bersifat dikotomis yang saling meniadakan. Pola hubungan agama dan negara memberikan penjelasan bahwa Islam bukan hanya sekadar agama ritual rohani manusia kepada Tuhannya saja.

Namun, Islam juga tentang pola hubungan muamalah dan bersosialiasi dalam masyarakat. Supaya patokan-patokan dalam muamalah tersebut dapat terjaga dan berjalan dengan baik, maka diperlukan negara atau kekuasaan politik untuk melindunginya.

Buya Syafi’I Maarif mengkritik pandangan-pandangan tokoh terdahulu mengenai penerapan Islam sebagai ideologi negara. Menurut buya, Islam tidak perlu mempermasalahkan apapun nama dan bentuk pemerintahan yang dipakai oleh pemimpin Islam. Hal terpenting adalah bagaimana moral dan etika dapat berjalan dengan baik di negara tersebut.

Agar dapat terwujudnya syariat Islam tersebut, maka diperlukan negara sebagai penyokong agama. Menurut buya Syafi’I Maarif, negara hanya sebagai alat keberlangsungan beragama, dan menolak secara tegas menjadikan islam sebagai dasar negara.

Pada akhirnya, Buya Syafi’I berkeyakinan bahwa Islam di Indonesia diharapkan memberikan dasar-dasar spiritual, etis, dan moral bagi pembangunan nasional. Karena Islam dimengerti sebagai roh dan spirit yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Pandangan Prof. Amien Rais

Menurut pandangan Prof. Amien Rais, Islam adalah agama wahyu yang memberikan pandangan etik bagi pengelolaan seluruh kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara dan berbangsa.

Melalui wawancara Prof Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat, beliau menyatakan bahwa konsep negara Islam tidak tercantum dalam al-Quran dan sunah. Oleh sebab itu, tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Yang paling penting dari sebuah negara adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan menegakkan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Baca Juga  Pentingkah Sanad Keilmuan dalam Islam?

Beliau berpandangan bahwa keabadian wahyu Allah terletak pada tidak adanya penerapan negara islam. Karena menurut pandangan beliau, apabila ada pemaksaan terhadap pendirian negara islam, maka negara tersebut tidak akan bertahan lama. Sejatinya, ajaran Islam bersifat universal, sementara negara berada pada vagiat kecil yang hanya berurusan soal duniawi.

Menurut Prof. Amien Rais, politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seorang muslim. Sangat mengherankan jika ada kaum muslim yang bersikap menjauhi atau menutup diri dari kehidupan politik. Kehidupan politik harus direbut dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran-ajaran Tuhan.

Pada intinya, Prof. Amien Rais dalam memandang Islam dan negara lebih menekankan pada aspek substansialnya dibandingkan bentuk. Apapun bentuk suatu negara, selama syariat Islam masih dapat digunakan sebagai pedoman moral bagi kehidupan masyarakatnya, maka tidak menjadi masalah.

Persamaan dan Perbedaan Pandangan

Mengenai persamaan pandangan, terutama dalam melihat hubungan antara agama dan negara. Buya Syafi’I Maarif dan Prof. Amien Rais memiliki pandangan yang cenderung sama. Bahwa tidak adanya konsep yang utuh dan ilmiah dalam al-Quran dan sunah yang menjelaskan bentuk negara Islam.

Mengenai perbedaan pandangan keduanya, terletak pada perjuangan simbotik dan perjuangan substantif. Buya Syafi’I Maarif berpandangan bahwa dalam politik islam, yang paling utama harus diperjuangkan adalah nilai-nilai etisnya. Sedangkan menurut Prof. Amien Rais, justru politik Islam tersebut yang harus diperjuangkan, karena bagi beliau politik adalah bagian dari dakwah.

Penulis pada akhirnya mengambil sebuah kesimpulan, bahwa Islam sebagai agama tidak bertentangan dengan konsep atau kinerja suatu negara. Justru keduanya selaras dan saling membutuhkan. Jadi, agama dan negara tidak perlu dijadikan sebagai bahan perdebatan dan perselisihan yang justru memicu perselisihan dan perpecahan. Wallahu’ a’lam

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds