Perspektif

Islam, Dekade Baru, dan Muhammadiyah

3 Mins read

Oleh: Hamzah Fansuri*

Islam dan Muhammadiyah

Akhir tahun lalu, dalam sebuah forum diskusi, seorang mahasiswa dari perguruan tinggi Islam di Yogjakarta bertanya ke saya perihal apa yang semestinya generasi muda muslim lakukan dalam menghadapi revolusi industri keempat. Ia bertanya setelah sebelumnya saya mengurai secuil masalah pendidikan dan tantangannya di abad internet.

Merespon pertanyaan itu, saya menawarkan sebuah ilustrasi sejarah berabad silam. Tepatnya, bagaimana kekhalifahan Abbasiyah tercatat sebagai salah satu periode emas peradaban Islam (the golden age of Islamic civilization). Selain tentunya kerajaan Ummayah yang membentang sampai ke daratan Eropa.

Masa pemerintahan Harun Al Rasyid di era Abbasiyah yang terkemuka itu, tidak hanya berhasil mendirikan Baitul Hikmah, sebuah lembaga akademik yang menyejarah berkat diantaranya proses translasi karya-karya filsuf Yunani, Persia dan India. Namun juga menjadikan peradaban Islam dikenal kuat dalam tradisi keilmuan. Boleh jadi ini juga dipengaruhi oleh kejumudan berpikir merundungi Eropa di saat yang sama.

Lantas apa relevansi dari pertanyaan mahasiswa tadi? Poinnya adalah keilmuan itu yang menjadi lokomotif peradaban, bukan politik, apalagi ekonomi. Kejayaan Islam itu, sekali lagi, terbukti lewat produktivitas di ranah sains dan teknologi.

Namun yang perlu dicatat juga adalah bagaimana ilmuwan di masa itu, telah memadupadankan beragam disiplin ilmu dalam mengungkap tabir-tabir semesta. Sesuatu yang saat ini, khususnya untuk kita di Indonesia justru mengotak-kotakkan satu rumpun dengan rumpun ilmu lainnya dengan dalih linieritas sehingga tak jarang menghambat perkembangan ilmu itu sendiri.

Multitalenta adalah kata yang tepat untuk menggambarkan watak ilmuwan di masa keemasan peradaban Islam itu. Dengan kata lain, pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner telah menjelma sebagai produk pemikiran yang diakui sampai ke dunia Barat. Pendekatan yang sayangnya lagi, di banyak perguruan tinggi kita masih terdengar asing, atau cenderung dihindari.

Baca Juga  Membaca Secara Kritis Koalisi Capres dan Ulama di Pemilu 2024
***

Mari kita simak bagaimana satu dekade yang baru dilewati itu melalui narasi optimis vis-a-vis pesimis yang terus berdialektika. Optimisme dalam konteks ini diwakili oleh bagaimana kaum futuristik menatap masa depan yang lebih baik lewat kolaborasi berbagai cabang keilmuan.

Setidaknya, kata revolusi industri itu menunjukkan semangat perubahan di berbagai lini. Bahkan, dengan mempersiapkan diri melalui temuan-temuan mutakhir yang diprediksi akan terjadi secepatnya sepuluh tahun lagi dari sekarang.

Kalaulah kita sepakat bahwa salah satu nature dari ilmu adalah meramal, maka ramalan itu sah adanya, dan kita hanya butuh mengujinya terus menerus. Sebagaimana narasi pesimisme dalam hal ini melihat ketimpangan global, ancaman perubahan iklim, terorisme, hingga pertikaian politik lokal maupun global yang masih menghiasi hari-hari di awal dekade baru ini. Di kolom yang pendek ini, mendebatkan dua pandangan itu tentu tidaklah cukup.

Maka, untuk mahasiswa yang bertanya tadi, saya tidak dapat tidak untuk lebih menawarkan narasi optimis, dengan memposisikan dekade ini sebagai sebuah tantangan untuk lebih solutif dan inovatif. Saya katakan, pelajaran berharga dari masa keemasan Islam itu perlu diterjemahkan kembali dalam situasi saat ini.

Menjadi mahasiswa di bidang sains misalnya, bukan berarti tidak dapat berkolaborasi dengan mahasiswa di bidang humaniora. Innovator 4.0 Indonesia, sebuah wadah bagi generasi muda dari beragam latar belakang keilmuan bisa menjadi contoh untuk itu.

Muktamar Muhammadiyah

Sejujurnya, mengingat forum dialog Desember lalu itu, pikiran saya seketika tertambat ke muktamar Muhammadiyah yang akan diselenggarakan di Solo pada bulan Juli nanti. Perhatian itu terutama pada tema “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta” di mana, sekilas dua frasa ini terkesan sangat visioner terutama dalam konteks tahun 2020 ini sebagai awal dekade baru.

Untuk frasa pertama, ‘Memajukan Indonesia’, adalah bentuk komitmen kebangsaan Muhammadiyah lewat apa yang dikenal dengan gagasan darul ahdi wa syahadah. Sebagai salah satu keputusan muktamar lima tahun lalu, semangat kebangsaan itu tampak ingin dipertegas kembali terutama bagaimana Muhammadiyah hand in hand dengan pemerintahan saat ini yang bervisi Indonesia maju di tahun 2045 kelak.

Baca Juga  Perlukah Menggugat Hari Kartini?

Akan tetapi, dalam menghadapi dekade baru ini, ‘Memajukan Indonesia’ juga perlu dimaknai sebagai mempersiapkan generasi muda yang dalam istilah buya Syafii, antisipatif. Karena generasi inilah yang diharapkan mendongkrak peringkat daya saing kita yang rendah bila merujuk pada Global Talent Competitiveness Index, dan sedang menjadi perhatian bersama baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Sementara frasa kedua, ‘Mencerahkan Semesta’ bila ditarik pada sejarah pemikiran maka dengan mudah kita mengenang abad pencerahan di Eropa di mana lagi-lagi kemajuan teknologi beriringan jalan dengan kreativitas seni dan budaya yang bernilai tinggi.

Tapi tentu frasa kedua dari tema muktamar ini berada dalam konteks yang berbeda. Dalam pandangan saya, frasa ini bukan lagi visioner melainkan cukup futuristik. Karena semesta di sini tidak dapat dikerdilkan dalam pemahaman spasial semata melainkan bentang kehidupan yang masih menyimpan tidak sedikit misteri untuk terus diselidiki.

Sehingga, menyusun semacam peta jalan menjadi sebuah keniscayaan. Karena futuristik, maka Muhammadiyah di abad kedua ini hendaknya berkontribusi dengan jangkauan yang lebih jauh lagi. Kalau saat ini, kepengurusan organisasinya telah berdiri di hampir setiap benua. Namun menurut hemat saya, dibutuhkan sebuah gerakan keilmuan yang mampu melampaui zaman guna menghadapi bermacam kemungkinan perubahan revolusioner dari kemajuan sains dan teknologi.

***

Termasuk misalnya mengenalkan pemikiran-pemikiran yang ada ke masyarakat global lewat translasi ke bahasa-bahasa resmi internasional. Hal-hal yang berada di level kreasi, jika merujuk konsep taksonomi bloom mestilah menjadi semangat baru.

Akhirnya, jikalau garda depan peradaban saat ini adalah internet, seperti yang ditulis sosiolog Manuel Castells, maka tidak cukup bagi kita melakoninya hanya sebagai pengguna. Lebih-lebih Castells mengatakan kalau pengetahuan kita masih sengat sedikit untuk memahami situasi saat ini apalagi masa depan. Sementara bila kinerja sains kian tak terbendung, maka ikut dalam arus itu merupakan cara terbaik merespon zaman.

Baca Juga  Otoritarianisme: Awal Mula Terjadinya Arab Spring di Tunisia dan Libya
*Sosiolog Universitas Krisnadwipayana; Innovator 4.0 Indonesia; Departemen Riset PP Pemuda Muhammadiyah
*Editor: Yahya FR
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds