Oleh: Hamzah Fansuri*
Islam dan Muhammadiyah
Akhir tahun lalu, dalam sebuah forum diskusi, seorang mahasiswa dari perguruan tinggi Islam di Yogjakarta bertanya ke saya perihal apa yang semestinya generasi muda muslim lakukan dalam menghadapi revolusi industri keempat. Ia bertanya setelah sebelumnya saya mengurai secuil masalah pendidikan dan tantangannya di abad internet.
Merespon pertanyaan itu, saya menawarkan sebuah ilustrasi sejarah berabad silam. Tepatnya, bagaimana kekhalifahan Abbasiyah tercatat sebagai salah satu periode emas peradaban Islam (the golden age of Islamic civilization). Selain tentunya kerajaan Ummayah yang membentang sampai ke daratan Eropa.
Masa pemerintahan Harun Al Rasyid di era Abbasiyah yang terkemuka itu, tidak hanya berhasil mendirikan Baitul Hikmah, sebuah lembaga akademik yang menyejarah berkat diantaranya proses translasi karya-karya filsuf Yunani, Persia dan India. Namun juga menjadikan peradaban Islam dikenal kuat dalam tradisi keilmuan. Boleh jadi ini juga dipengaruhi oleh kejumudan berpikir merundungi Eropa di saat yang sama.
Lantas apa relevansi dari pertanyaan mahasiswa tadi? Poinnya adalah keilmuan itu yang menjadi lokomotif peradaban, bukan politik, apalagi ekonomi. Kejayaan Islam itu, sekali lagi, terbukti lewat produktivitas di ranah sains dan teknologi.
Namun
yang perlu dicatat juga adalah bagaimana ilmuwan di masa itu, telah
memadupadankan beragam disiplin ilmu dalam mengungkap tabir-tabir semesta.
Sesuatu yang saat ini, khususnya untuk kita di Indonesia justru
mengotak-kotakkan satu rumpun dengan rumpun ilmu lainnya dengan dalih
linieritas sehingga tak jarang menghambat perkembangan ilmu itu sendiri.
Multitalenta adalah kata yang tepat untuk menggambarkan watak ilmuwan di masa
keemasan peradaban Islam itu. Dengan kata lain, pendekatan interdisipliner,
multidisipliner, dan transdisipliner telah menjelma sebagai produk pemikiran
yang diakui sampai ke dunia Barat. Pendekatan yang sayangnya lagi, di banyak
perguruan tinggi kita masih terdengar asing, atau cenderung dihindari.
***
Mari kita simak bagaimana satu dekade yang baru dilewati itu melalui narasi optimis vis-a-vis pesimis yang terus berdialektika. Optimisme dalam konteks ini diwakili oleh bagaimana kaum futuristik menatap masa depan yang lebih baik lewat kolaborasi berbagai cabang keilmuan.
Setidaknya, kata revolusi industri itu menunjukkan semangat perubahan di berbagai lini. Bahkan, dengan mempersiapkan diri melalui temuan-temuan mutakhir yang diprediksi akan terjadi secepatnya sepuluh tahun lagi dari sekarang.
Kalaulah
kita sepakat bahwa salah satu nature dari ilmu adalah meramal, maka
ramalan itu sah adanya, dan kita hanya butuh mengujinya terus menerus.
Sebagaimana narasi pesimisme dalam hal ini melihat ketimpangan global, ancaman
perubahan iklim, terorisme, hingga pertikaian politik lokal maupun global yang
masih menghiasi hari-hari di awal dekade baru ini. Di kolom yang pendek ini,
mendebatkan dua pandangan itu tentu tidaklah cukup.
Maka, untuk mahasiswa yang bertanya tadi, saya tidak dapat tidak untuk lebih
menawarkan narasi optimis, dengan memposisikan dekade ini sebagai sebuah
tantangan untuk lebih solutif dan inovatif. Saya katakan, pelajaran berharga
dari masa keemasan Islam itu perlu diterjemahkan kembali dalam situasi saat ini.
Menjadi mahasiswa di bidang sains misalnya, bukan berarti tidak dapat berkolaborasi dengan mahasiswa di bidang humaniora. Innovator 4.0 Indonesia, sebuah wadah bagi generasi muda dari beragam latar belakang keilmuan bisa menjadi contoh untuk itu.
Muktamar Muhammadiyah
Sejujurnya, mengingat forum dialog Desember lalu itu, pikiran saya seketika tertambat ke muktamar Muhammadiyah yang akan diselenggarakan di Solo pada bulan Juli nanti. Perhatian itu terutama pada tema “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta” di mana, sekilas dua frasa ini terkesan sangat visioner terutama dalam konteks tahun 2020 ini sebagai awal dekade baru.
Untuk frasa pertama, ‘Memajukan Indonesia’, adalah bentuk komitmen kebangsaan Muhammadiyah lewat apa yang dikenal dengan gagasan darul ahdi wa syahadah. Sebagai salah satu keputusan muktamar lima tahun lalu, semangat kebangsaan itu tampak ingin dipertegas kembali terutama bagaimana Muhammadiyah hand in hand dengan pemerintahan saat ini yang bervisi Indonesia maju di tahun 2045 kelak.
Akan
tetapi, dalam menghadapi dekade baru ini, ‘Memajukan Indonesia’ juga perlu
dimaknai sebagai mempersiapkan generasi muda yang dalam istilah buya Syafii,
antisipatif. Karena generasi inilah yang diharapkan mendongkrak peringkat daya
saing kita yang rendah bila merujuk pada Global Talent Competitiveness Index,
dan sedang menjadi perhatian bersama baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Sementara frasa kedua, ‘Mencerahkan Semesta’ bila ditarik pada sejarah
pemikiran maka dengan mudah kita mengenang abad pencerahan
di Eropa di mana lagi-lagi kemajuan teknologi beriringan jalan dengan
kreativitas seni dan budaya yang bernilai tinggi.
Tapi tentu frasa kedua dari tema muktamar ini berada dalam konteks yang berbeda. Dalam pandangan saya, frasa ini bukan lagi visioner melainkan cukup futuristik. Karena semesta di sini tidak dapat dikerdilkan dalam pemahaman spasial semata melainkan bentang kehidupan yang masih menyimpan tidak sedikit misteri untuk terus diselidiki.
Sehingga, menyusun semacam peta jalan menjadi sebuah keniscayaan. Karena futuristik, maka Muhammadiyah di abad kedua ini hendaknya berkontribusi dengan jangkauan yang lebih jauh lagi. Kalau saat ini, kepengurusan organisasinya telah berdiri di hampir setiap benua. Namun menurut hemat saya, dibutuhkan sebuah gerakan keilmuan yang mampu melampaui zaman guna menghadapi bermacam kemungkinan perubahan revolusioner dari kemajuan sains dan teknologi.
***
Termasuk misalnya mengenalkan pemikiran-pemikiran yang ada ke masyarakat global lewat translasi ke bahasa-bahasa resmi internasional. Hal-hal yang berada di level kreasi, jika merujuk konsep taksonomi bloom mestilah menjadi semangat baru.
Akhirnya, jikalau garda depan peradaban saat ini adalah internet, seperti yang ditulis sosiolog Manuel Castells, maka tidak cukup bagi kita melakoninya hanya sebagai pengguna. Lebih-lebih Castells mengatakan kalau pengetahuan kita masih sengat sedikit untuk memahami situasi saat ini apalagi masa depan. Sementara bila kinerja sains kian tak terbendung, maka ikut dalam arus itu merupakan cara terbaik merespon zaman.