Polemik keislamanan pada masa modern menjadi suatu hal yang sangat berpengaruh pada perkembangan masyarakat Islam itu sendiri. Banyak persoalan Islam yang menjadikan masyarakat menjadi lebih memahami Islam secara keseluruhan dan bersikap toleran terhadap masalah yang sering dihadapi. Namun ada permasalahan, yang sebenarnya bersifat, ‘sepele’ menjadi sukar dipahami. Mengapa demikian? Karena persepsinya sendirilah yang mempersulit dalam memahami isinya.
Sehingga, masyarakat awam menjadi bingung akan kebenaran yang dijadikan landasan mereka untuk mengambil suatu keputusan yang benar dalam bersikap bijak terhadap masalah ini. Seperti muncul pertanyaan mengenai apakah Islam boleh lucu?
Hal tersebut menjadi suatu hal yang menarik karena sebagian kalangan mengatakan bahwasanya sah-sah saja mengatakan Islam boleh bercanda atau ‘lucu-lucuan’. Namun bagi sebagian kalangan, hal tersebut menjadi tidak boleh dan tidak relevan ketika membicarakan Islam dengan nuansa humor di dalamnya.
***
Merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW:
عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: أَتَتْ عَجُوزٌ إِلَى النَّبِيِّ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ. فَقَالَ: يَا أُمَّ فُلاَنٍ، إِنَّ الْجَنَّةَ لاَ تَدْخُلُهَا عَجُوزٌ. قَالَ: فَوَلَّتْ تَبْكِي فَقَالَ: أَخْبِرُوهَا أَنَّهَا لاَ تَدْخُلُهَا وَهِيَ عَجُوزٌ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ : إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً. فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا. عُرُبًا أَتْرَابًا
Diriwayatkan dari Al-Hasan radhiallahu ‘anhu, dia berkata, Seorang nenek tua mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Nenek itu pun berkata, “Ya Rasulullah! Berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga! Beliau pun mengatakan, “Wahai Ibu si Anu! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek tua”. Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Beliau pun mengatakan, “Kabarkanlah kepadanya bahwasanya wanita tersebut tidak akan masuk surga dalam keadaan seperti nenek tua. Sesungguhnya Allah ta’ala mengatakan: (35) Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung. (36) Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. (37) Penuh cinta lagi sebaya umurnya. (QS. Al-Waqi’ah).
***
Dari hadis di atas, kita dapat menyimpulkan bahwasanya Nabi pun pernah melakukan sesuatu yang bersifat candaan terhadap sahabat Nabi sehingga candaan atau guyonan menjadi hal yang boleh dilakukan dalam menyampaikan makna agama apalagi hal yang lainnya.
Candaan yang Tidak Diperbolehkan
Namun melakukan candaan yang tidak didasari oleh sesuatu hal yang bersifat dusta atau kebohongan karena Rasullulah SAW melarang hal tersebut. Dusta atau kebohongan hendak dibalut menggunakan candaan atau apapun itu sudah menyalahi ajaran Islam. Karena berdusta adalah hal yang sangat tidak baik bagi yang mengatakan maupun yang mendengar perkataannya hingga bisa menimbulkan fitnah dalam hal tersebut.
Sifat candaan inilah yang harus kita hindari karena menimbulkan fitnah terhadap obyek yang dibicarakan. Sehingga, menjadikan keburukan-keburukan yang lahir dari perkataan itu. Rasullulah SAW bersabda, “Celakalah orang yang berbicara kemudian dia berdusta agar suatu kaum tertawa karenanya. Kecelakaan untuknya. Kecelakaan untuknya.
Dari hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam bercanda itu pun harus benar-benar memahami isi kandungan yang akan dibicarakan agar terhindar dari sifat dusta sehingga candaan kita tidak menyalahi ajaran Nabi Muhammad SAW.
Namun bercanda memang dibolehkan oleh Nabi, akan tetapi mempunyai batasan-batasan sehingga terhindar dari sifat yang dilarang oleh Allah SWT agar dari candaan kita dapat melahirkan suatu kebaikan bukan sebaliknya.
Kisah Nu’aiman yang Suka Bercanda
Seperti sahabat Rasulullah SAW yang penuh dengan jenaka, yaitu Nu’aiman. Banyak kisah tentang kelucuannya yang membuat Rasullulah SAW tertawa dan senang. Suatu hari, ada seorang pedagang yang berjualan madu di Madinah, tetapi setelah sekian lama ia berdagang, satu pun belum terjual. Lalu muncullah Nu’aiman dan memberitahukan pada pedagang tersebut bahwa ada orang yang ingin membeli madunya itu.
Pedagang tersebut di antarnya ke dekat rumah Nabi Muhammad SAW dan berkata, “Fulan tunggulah di sini dan aku membawakan satu botol ini ke rumah tersebut, karena ia suka sekali madu”. Maka Nu’aiman masuk ke rumah Rasullulah SAW untuk memberikan madunya sambil berkata “Wahai, Rasullulah ini ada madu kuhadiahkan untukmu”.
Setelah keluar dari rumah Nabi Muhammad SAW, ia pun berkata kepada pedagang itu untuk menunggunya karena si pembeli akan keluar dan membayarnya. Nu’aiman pun pergi meninggalkan pedagang tersebut dengan alasan ada kerjaan lainnya.
Setelah beberapa waktu menunggu, si pedagang pun tak didatangi oleh pembeli yang dikatakan Nu’aiman, sehingga ia pun mengetuk pintu dan mengatakan, “Wahai penghuni rumah, bayarlah madu ini.” Sontak Nabi Muhammad pun terkejut. Tetapi Nabi tidak memberitahukannya pada si pedagang dan langsung membayarnya.
Di kemudian hari setelah kejadian itu, Rasulullah SAW bertemu dengan Nu’aiman sambil tersenyum, menanyakan perihal madu seraya berkata, “Apa yang telah kau lakukan pada keluarga Nabimu, wahai Nu’aiman?”.
Sambil tersenyum, Nu’aiman menjawab, “Ya Rasulullah, aku tahu engkau suka sekali menikmati madu. Tapi aku tidak punya uang untuk membeli dan menghadiahkan kepadamu. Maka, aku mengantarkan saja kepadamu dan semoga aku mendapat taufiq ke arah kebaikan.” Ucap Nu’aiman.
Dakwah dengan Bercanda itu Penting
Maka bagi sebagian da’i melakukan praktik menyebarkan dakwah melalui sifat ‘guyon’ atau candaan itu menjadikan suatu kesenangan dalam mendengarkan dakwah agama. Inilah yang harus kita pahami bersama karena bercanda dalam berdakwah itu penting. Mengapa demikian?
Jawabannya adalah agar orang-orang yang ingin pergi ke tempat maksiat dengan niat mencari kesenangan menjadi urung niatnya tidak ke tempat maksiat. Maka diberikanlah nuansa dalam dakwah itu yang lucu, karena itu salah satu sumber kesenangan. Sehingga orang yang mencari kesenangan melalui dakwah bisa perlahan-lahan memahami esensi agama Islam dan semakin cinta terhdap Islam.
Bayangkan saja, bilamana nuansa dakwah dipenuhi dengan ketegangan dan konflik. Sehingga di pikiran orang awam menjadi hal yang sangat susah untuk dipahami, apalagi menghadiri ceramah atau dakwah itu lagi karena sifat tertekan dari luar, sehingga ketika mendengarkan dakwah dengan penyampaian seperti itu menjadikannya malas untuk mendengarkan. Karena hanya akan membebaninya lebih banyak dengan segala tuntutan dan tekanan. Padahal Islam agama yang mudah dan ramah.
Sikap itulah yang harus kita benahi agar masyarakat yang mendengarkan dakwah Islam bukan menjadikannya tertekan, namun dihiasi oleh kesenangan dan kedamaian sehingga mereka dapat memahami bahwa agama Islam mengajarkan orang melalui hal yang menyenangkan.
Dengan begitu, orang yang dulunya mencari kesenangan melalui sarana kemaksiatan, kini dapat beralih pada hal yang lebih baik. Yakni yang sesuai dengan keislaman itu sendiri.
Editor: Yahya FR