Negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis. Artinya negara merupakan adanya ketiga elemen tersebut, dalam hal ini kesatuan politis diartikan sebagai sebuah sistem yang menyatukan.
Negara juga bisa diartikan sebagai lembaga pusat yang memiliki tanggung jawab penuh atas hak-hak mahkluk hidup yang ada di sebuah wilayah. Dalam ilmu politik, negara adalah kekuasaan yang digunakan untuk mengatur hubungan antar individu dengan individu, negara dengan negara lainnya (Ni’matul Huda, Ilmu Negara, 2015).
Adapun dalam Islam, negara memiliki beberapa istilah yang maknannya berbeda-beda. Misalnya, al-dawlah yang biasa diartikan dengan merujuk kata al-balad dalam Al-Qur’an. Yakni tempat tinggal, kota atau daerah, dan negeri. Seperti yang tertulis di surat al-Balad ayat 1-2.
Kata al-balad jamak dari al-bilad yang disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 19 kali dalam berbagai bentuk. Namun tidak ada satu ayat pun yang secara konkrit dan akurat menjelaskan tentang bentuk negara itu sendiri. Hal ini menununjukkan bahwa tidak ada anjuran atau bahkan perintah dari Al-Qur’an untuk mendirikan sebuah negara tertentu, negara Islam misalnya.
Islam adalah Sistem Nilai
Bagi Islam yang terpenting adalah negara itu memegang nilai-nilai etik agama Islam dan menjadikannya sebagai ruh dalam bernegara. Nilai keislaman itu melingkupi segala aspek kehidupan yang dijalani oleh manusia, termasuk dalam bernegara.
Dalam Al-Qur’an, terma agama disebut dengan al-diin dan al-millah. Dalam hal ini, Raghib al-Isfahani menjelaskan bahwa kedua kata tersebut memiliki arti yang sama dan memiliki konteks penggunaan yang berbeda.
Kata al-millah seringkali digunakan untuk menunjukkan agama nabi-nabi dan umat-umat terdahulu. Sedangkan al-diin merujuk pada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yaitu agama Islam (Jurnal Tahkim, Mahmud Ishak, Hubungan antara Agama dan Negara dalam Pemikiran Islam, 2014).
Hamka pernah mengatakan dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Modern bahwa orang yang beragama adalah orang yang memiliki landasan dan pendirian yang sifatnya immaterial. Artinya agama adalah sistem nilai bersifat metafisis yang menjadi ruh dan pedoman seseorang dalam menjalankan segala aktivitasnya, termasuk aktivitas bertata negara.
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa antara agama (Islam) dan negara merupakan dua unsur yang sejatinya dapat berpadu. Semua agama secara universal mengajarkan nilai-nilai kebaikan, mengarahkan pemeluknya pada kebahagiaan yang sifatnya batiniah. Dan negara merupakan sebuah tatanan yang di dalamnya terdapat masyarakat, wilayah, dan sistem pemerintahan.
Terbentuknya sebuah negara tentu tidak terlepas dari tradisi dan budaya yang melekat padanya yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam konteks ini, walaupun Indonesia mayoritas pendudukanya beragama Islam, akan tetapi secara sosio-historis Indonesia bukanlah negara Islam dan Islam juga bukanlah negara. Lebih tepatnya Islam adalah sistem nilai yang mengatur seluruh aspek manusia termasuk bernegara.
Relevansi Islam dengan Sistem Negara Demokrasi
Menurut Nur Cholis Madjid, nilai Islam tidak bertentangan dengan konsep demokrasi di Indonesia. Agama Islam memiliki semangat egaliter, terbuka, dan demokrasi yang menjunjung tinggi as-syura.
Serta menjadi wadah bagi seluruh aspek kehidupan dengan ragam suku, budaya, dan agama. Islam tidak membutuhkan dirinya bertransformasi menjadi bentuk sebuah negara, akan tetapi cukup menjadi bagian terpenting yang selalu menjadi pedoman dalam sebuah negara.
Hamka dalam bukunya Pandangan Hidup Muslim juga mengatakan bahwa intisari ajaran yang dibawa nabi Muhammad Saw: “Manusia itu satu dan semuanya terikat oleh tali persaudaraan, serta kesatuan menjadi sendi utama dan yang pertama”.
Artinya dalam konteks Indonesia yang seharusnya dijunjung tinggi adalah subtansi rahmatan lil ‘alamiin. Implementasi nilai demokrasi yaitu perdamaian, kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, kebebasan, dan al-syura.
Sejauh ini, tidak terdapat pertentangan antara Islam dan demokrasi, keduanya bersinergi dengan kesamaan nilai. Misalnya, pertama, musyawarah (al-syura) terdapat di surat An-Nahl: 125 dan Ali-Imran: 159. Kedua, keadilan (al-‘adl atau al-qisth): An-Nisa’: 135, 58, Al-Ma’idah: 8, Al-An’am: 152, Al-A’raf: 29-30, 181, Al-Nahl: 76, As-Syura: 15. Ketiga, Hak asasi manusia (HAM): Al-Ma’idah: 32, Al-Dzariat: 19, dan Al-Isra: 33.
Keempat, toleransi (Tasamuh) dan Kebebasan (al-Hurriyah): Al-Baqarah 256, Yunus 99-100, Al-An’am 108, Al-Kahfi 29, An-Naml 92. Kelima, kesetaraan (al-Musawah): al-Hujurat 13. Keenam, kesejahteraan (al-Rafahiyah): Al-A’raf: 96, An-Nisa’ 9, Al-Isra’ 26, Al-Baqarah 126, as-Saba’ 15.
Uraian di atas menunjukkan bahwa agama Islam memiliki nilai-nilai yang relevan, bahkan lebih dari sistem demokrasi.
Telah diurai di muka: Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia—urusan keluarga hingga urusan negara. Islam tidak hanya menghendaki nilai-nilai kebaikan untuk umatnya akan tetapi bagi semua mahluk di alam semesta.
Islam untuk Alam Semesta
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamiin artinya Islam menjadi sebuah payung untuk seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah engkau diutus melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam ini”
Kata Islam berasal dari kata aslama-yuslimu derivasi kata salima yang memiliki variasi makna dalam Al-Qur’an salah satunya adalah selamat. Artinya Islam adalah agama yang membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia.
Dan telah diurai di muka bahwa Islam merupakan agama yang mengatur seluruh aspek manusia termasuk bernegara. Kendati demikian, Islam secara eksplisit tidak pernah menyatakan tentang bentuk dan sistem sebuah negara. Tidak ada ayat-ayat Al-Qur’an ataupun perbuatan dan ketentuan nabi yang menyatakan hal itu.
Islam adalah agama untuk alam semesta dan seisinya. Islam tidak memerlukan tranformasi menjadi sebuah negara, karena Islam adalah sistem nilai, petunjuk dan pedoman hidup. Islam menjunjung tinggi keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan. Maka dengan rentetan uraian di atas, menjadi tidak penting untuk mendidirkan “negara Islam”. Alih-alih menciptakan persatuan dan perdamaian justru mempertebal eksklusifitas antar umat beragama, khususnya di Indonesia.
Editor: Yahya FR