Islam adalah sebuah agama yang diturunkan untuk memudahkan hidup para pemeluknya. Idealnya, pemeluk agama Islam akan merasakan kemudahan, ketentraman, dan kenyamanan hidup, jauh dari hal-hal yang menyusahkan dan memberatkan hidupnya.
Tapi sayangnya, umat Islam hidup di semesta yang tak melulu dikelilingi hal-hal ideal. Banyak distraksi sana-sini yang menjadikan nilai-niai ideal harus berkompromi dengan kenyataan lapangan. Yang seharusnya pemeluk agama Islam bisa hidup dengan mudah, menjadi susah karena satu dua hal.
Penulis kali ini ingin “membocorkan” salah satu distraksi tersebut. Distraksi yang bikin hidup orang Islam susah, gak maju, dan terbelakang. Ia adalah paham Salafi literal.
Apa itu Salafi?
Salafi memiliki akar kara salaf. Menurut Ibnu Mandzur, kata ini bermakna pendahulu. Dari penggunaannya, istilah ini sering dipakai untuk merujuk kepada periode Nabi Muhammad, sahabat, dan tabiin. Karena mengacu pada salah satu hadis Nabi, “Sebaik-baik periode adalah periodeku, periode sesudahku, dan periode sesudahnya”(HR. Muslim).
Menurut Muhamad Rafiq (2013), paham atau gerakan Salafi (Salafisme) ini diinisiasi oleh para pembaru Islam di abad 19 s/d 20, antara lain; Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Akan tetapi, beberapa sarjana menganggap bahwa penggunaan istilah Salafisme sudah ada sejak munculnya gagasan tekstualisme Ahmad bin Hanbal, gerakan purifikasi Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (1350).
Ada perbedaan yang cukup mencolok antara gerakan Salafisme yang digagas oleh gerbong Abduh dengan yang lainnya. Salafisme gerbong Abduh adalah sebuah gerakan intelektual untuk merespon kolonialisme Eropa dan keterbelakangan dunia Islam di abad-abad modern. Salafisme Ibnu Taimiyyah merupakan upaya perlawanan atas laku-laku sinkretisme dan jatuhnya kekhilafahan Islam di abad pertengahan. Sementara Salafisme Ahmad bin Hanbal adalah sebuah respon atas rasionalitas kalam Muktazilah saat kekuasaan Abbasyiah.
Salafi ala Abdul Wahab
Menurut Muhammad Imarah dalam Tayyarat al-Fikr al-Islami (1997), di era kontemporer ini, Salafisme jadi identik sebagai gerakan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1702) di Nejad (sekarang Arab Saudi). Nejad adalah sebuah wilayah yang tak tersentuh kemajuan peradaban dan dinamika pemikiran Islam yang canggih yang sudah berkembang di daerah-daerah Arab yang lain.
Karakter Salafi ala Abdul Wahab (Wahabi) ini, adalah pemikirannya yang simplistis. Simplisitas pemikiran ini tertanam kuat akibat respon mereka terhadap penyimpangan keagamaan yang terjadi di Nejad era Abdul Wahab, buah dari keterkejutan budaya (cultural shock) atas pemikiran keislaman maju (sophisticated), serta kemajuan peradaban yang mereka tuduh tak memiliki percontohan, preseden, dan akar saat zaman Nabi Muhammad.
Selain itu, gerakan Wahabi ini, secara politik, merupakan simbol perlawanan kepada kekuasaan Dinasti Utsmaniyah yang menjajah Arab Saudi kala itu.
Karakter Pemikiran Salafi Wahabi
Salafi Wahabi ini memiliki model pendekatan skriptural dalam memahami nas-nas (al-manhaj an-nushushi), anti rasionalitas, anti pluralitas, tak bisa toleran dengan keragaman (less of tolerant of diversity), dan tidak akomodatif terhadap modernitas.
Khaled Abou el-Fadl dalam bukunya Atas Nama Tuhan, dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (2004), bahkan mengatakan bahwa Salafi Wahabi suka melebih-lebihkan peran teks keagamaan dalam mengatur kehidupan manusia dan mengkerdilkan peran rasio/akal manusia sebagai piranti dalam menginterpretasikan teks-teks keagamaan.
Mereka kerap kali membikin fatwa yang cenderung semena-mena karena hanya berpijak pada pemahaman tekstual saja. Akibat dari sempitnya cara paham yang terbatas pada teks semata, banyak terjadi eksploitasi nas-nas keagamaan yang melahirkan despotisme dan otoritarianisme.
Menurut Muhammad Rafiq (2013), di tahun 1970-an, sejumlah tokoh-tokoh puritan yang didukung oleh kekuatan perekonomian negara “petrodollar”, semakin menguatkan asimilasi antara Salafi dan Wahabi. Gerakan itu direpresentasikan oleh pemikiran neo-puritanis yang sejalan dengan visi Muhammad bin Abdul Wahab dan Sayid Qutb tentang masyarakat ideal.
Di akhir dekade tersebut, akuisisi istilah Salafisme oleh Wahabisme sudah berjalan dengan sempurna. Salafi kemudian identik dengan produk pemikiran opresif terhadap wanita, menentang rasionalisme, keras terhadap segala bentuk ekspresi kesenian, serta literalisme kaku; hal-hal yang bikin hidup susah dan sulit maju.
Pasca periode tersebut, makna Salafi sudah tereduksi habis-habisan dan menjadi sangat negatif. Bahkan di dunia Barat, Salafi diidentikkan dengan kaum ekstremis yang militan.
Selanjutnya, penulis akan paparkan karakteristik pemikiran literal Salafi dan beberapa hasil fatwa yang kaku bahkan opresif sebagai konsekuensi dari karakter pemikiran itu:
Pertama, Pemaknaan yang Literal dan Parsial
Karakter pemikiran ini meniscayakan bahwa pemahaman kepada satu teks tak bisa melampaui bentuk literalnya (dzahiriyyat al-nash). Dampaknya, mereka menolak adanya fleksibilitas hukum dan abai terhadap tujuan hukum yang relevan dengan kepentingan manusia dan kemajuan zaman.
Paham literal-tekstual ini diperparah dengan penggunaan metode pembacaan yang bersifat parsialistik atau atomistik. Menurut mereka, suatu dalil bisa dibaca secara independen dan terpisah dari dalil-dalil yang lain.
Misalnya, mereka bersikeras bahwa hukum isbal (menjulurkan celana di bawah mata kaki) adalah haram. Ini karena mereka hanya menyimpulkan dari satu hadis dan tak mengindahkan pemaknaan alternatif dari hadis yang lain. Contoh lainnya adalah pengharaman musik dan zakat perniagaan.
Kedua, Tasyaddud (Memilih Pendapat yang Sulit)
Logika kehati-hatian diterapkan secara kaku oleh kelompok ini. Jika mereka menganggap sedikit hal saja berpotensi menjerumuskan pada perbuatan haram, maka tak tanggung-tanggung langsung menghukuminya haram.
Misal: haram melihat televisi dan fotografi karena 14 abad lalu nabi melarang umatnya menggambar orang. Mereka tak melihat sisi lain bahwa televisi dan fotografi adalah kebutuhan zaman yang tak dapat dihindari.
Ketiga, Mengerdilkan Peran Wanita di Ruang Publik
Menurut Khaled Abou el-Fadl, kaum Salafi menganggap bahwa kuatnya pengaruh wanita di ruang publik adalah suatu bentuk invasi kultur Barat dalam dunia Islam. Ajaran Islam menurut Salafi adalah memarginalkan wanita ke ruang domestik dan ruang privat.
Fatwa Syaikh Ibnu Fauzan (Al-Muntaqa, V, 1997: 243-5) menyebut bahwa perempuan cukup bisa menulis dan membaca, dan perempuan salehah tidak perlu bercita-cita lebih dari itu.
Larangan lainnya yang bisa ditemukan antara lain larangan wanita melakukan perjalanan lebih dari 20 km tanpa mahram (Utsaimin, Fatwa Syaikh, 1991, II: 898), suara wanita dianggap aurat, dan larangan menunaikan salat di masjid karena terjadi pencampuran dengan laki-laki (Fatawa Lajnah al-Da’imah, 1996, I: 141).
Keempat, Anti Sains
Karena berpikiran tekstualis, mereka juga berusaha menundukkan sains agar selalu sesuai dengan wahyu (yang sebenarnya hanya interpretasi prematur) bukan mengharmonisasikannya.
Seperti yang bisa kita temui dalam fatwa Ibnu Utsaimin (Arkan al-Islam, 200: 43). Ia ngotot beranggapan bahwa bumi lah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Ayat Al-Qur’an yang mendasari kengototannya adalah surat al-Kahfi ayat 17 yang diinterpretasikannya secara serampangan.
Kelima, Intoleran terhadap Perbedaan Pendapat
Kebenaran yang absolut adalah kebenaran versi mereka. Penafsiran yang paling otoritatif adalah penafsiran mereka. Itulah yang pada akhirnya membuat mereka tak memiliki sikap toleran yang lapang terhadap perbedaan pendapat.
Heterogenitas penafsiran agama dianggap bencana bagi mereka. Fakta yang paling menyedihkan adalah kaum literalis tidak segan mengeluarkan fatwa kafir terhadap orang yang dianggap keluar dari penafsiran mereka.
Menjadi salafi itu mudah sebagai mana agamanya generasi Salaf. Agama menjadi rumit , susah dan mahal krn byk hal baru dlm agama dan byk tandingan Allah
Ngarti apa lu tong…