Oleh: Puput Dwi Lestari*
Perbincangan tentang Islam jalan tengah (Islam Wasathiyah) saat ini menjadi diskursus yang sering dibicarakan baik di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), seminar, maupun diforum-forum diskusi keagamaan. Perbincangan tentang Islam Wasatathiyah mulai populer dibicarakan oleh kalangan akademisi semenjak fenomena terorisme, radikalisme, dan istilah-istilah lain tentang kelompok garis keras mulai naik daun di Indonesia.
Keberagamaan Eksklusif
Islam Wasathiyah seolah dianggap sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang meresahkan masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat Internasional pada umumnya. Mengapa dapat dikatakan sebagai obat mujarab? Jika kita melihat pada faktor internal munculnya kelompok radikalisme, terorisme, dan kelompok garis keras adalah dikarenakan mereka menganut “madzhab” Islam eksklusif dalam beragama.
Dalam konteks Indonesia, sikap keberagamaan kaum eksklusif cenderung fundamentalis-radikalis identik dengan gerakan salaf. Karena kehadiran gerakan ini diinspirasi oleh orang-orang Arab dan Hadramaut, Yaman ke Indonesia dengan ideologi baru yang dapat mengubah konstelasi umat Islam Indonesia. Maka akibatnya adalah munculnya fenomena beragama yang berlebihan.
Kata “berlebihan” ini dapat dimaknai negatif, karena Islam eksklusif ini menciptakan sistem kesetiaan umat terhadap agamanya secara negatif. Mereka hanya akan menganggap bahwa pendapatnya adalah yang paling benar dan yang lain salah. Akibatnya adalah munculnya fanatik dalam beragama, sehingga yang lain harus ditiadakan. Bahkan, apabila perlu harus dimusnahkan dengan kekerasan.
Penguatan Gerakan Radikalisme
Menguatnya gerakan radikalisme di Indonesia dimulai sejak pasca-kemerdekaan hingga pasca reformasi. Ditandai dengan dijadikannya Kartosuwiryo sebagai pemimpin orasi dibawah bendera Darul Islam (DI) pada tahun 1950-an sebagai gerakan politik yang mengatasnamakan agama (namun gerakan ini ditumbangkan oleh Orde Baru).
Tidak lama kemudian muncul Komando Jihad (Komji) pada tahun 1976, diikuti oleh beberapa gerakan keagamaan lainnya. Gerakan-gerakan tersebut antara lain Front Pembebasan Muslim Indonesia (1997), Front Pembela Islam, (FPI), Laskar Jihad, dan yang terbaru adalah kelompok Hizbul Tahrir Indonesia (HTI) yang menginginkan dibentuknya negara Islam Indonesia (khilafah) menjadi salah satu bentuk ancaman yang serius bagi kesatuan dan persatuan umat.
Selain radikalisme, ancaman lain adalah aksi terorisme yang telah meledakkan bom di beberapa kota besar. Seperti pemboman di Jakarta dan Bali turut merupakan fenomena yang harus mendapatkan perhatian serius.
Kondisi ini diperparah dengan adanya para ulama, tokoh masyarakat, lembaga, dan ormas keagamaan yang hanya sibuk menyampaikan penjelasan bahwa Islam tak ada hubungannya dengan kelompok-kelompok garis keras, radikalisme, apalagi terorisme. Namun, realitas di lapangan setiap individu di luar Islam sudah memiliki stigma yang sering mereka dengungkan dan sering kita dengar bahwa “Islam adalah agama teroris”.
Selain itu kondisi terpecahnya umat di Indonesia juga disebabkan karena situasi politik yang seolah memecah kepada dua kelompok besar yang serba ekstrem. Sejumlah pihak kemudian mulai banyak berbicara tentang perlunya penguatan empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai landasan untuk mengembalikan umat Islam Indonesia agar tidak terpecah menjadi dua ekstrem.
Namun nyatanya bagi umat Islam perbincangan mengenai empat pilar tersebut sudah harga mati, final. Konsensus hanya dapat tercapai apabila umat Islam memegang erat pemahaman dan sikap wasathiyah.
Islam Jalan Tengah
Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beagama, menjelaskan bahwa Wasatiyyah adalah sebuah kerangka berpikir, bersikap dan bertingkah laku yang ideal. Penuh keseimbangan dan proporsional dalam syariat Islam serta sebuah prinsip dasar yang melandasi semua ajaran Islam, baik aqidah, syariah, maupun akhlak.
Dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah: 143 disebutkan bahwa umat Islam sebagai ummatan wasatha, umat yang ideal, penuh keseimbangan dan menegakkan keadilan. Selanjutnya ayat ini dijelaskan oleh ayat lainnya surah al-Imran: 110, bahwa maksud ummatan wasatha adalah khoira ummah (umat terbaik).
Dengan demikian Islam menampilkan diri sebagai sebuah agama yang toleran, moderat, adil tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip intrinsiknya. Didalamnya tersirat pengakuan akan adanya berbagai pandangan, kemungkinan, alternatif, dan tafsiran tentang Islam yang satu. Karenanya, sebagian besar ahli tafsir sepakat bahwa wasathiyah mengandung makna yang terbaik, yang ideal, yang seimbang, yang proporsional.
Azyumardi Azra ketika menjadi pembicara pada acara Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif periode ke-3 Desember 2019 lalu menyampaikan bahwa Islam Jalan Tengah (Islam Wasathiyah) berarti kondisi beragama yang proporsional. Artinya tidak berlebihan ke ekstrem kanan (moderat) atau ke ekstrem kiri (liberal). Menurut Azra, apabila umat Islam ingin mecapai persatuan umat maka setiap individu harus melekat sikap ini, tidak fanatik dalam beragama. Sambil terus belajar dan mendalami agama serta menghindari perdebatan kontradiktif tentang masalah khilafiyah ijtihadiyah.
***
Dengan menjadi wasathiyah maka kita menyediakan ruang terbuka yang tepat dan nyaman bagi siapapun termasuk agama lain. Sehingga mereka yakin bahwa Islam hanya membawa ajaran kabaikan bukan ajaran kekerasan dan kita dapat meniru Rasulullah yang rahmatan lil’alamin.
Bagaimanapun persatuan umat adalah hal yang sangat didambakan saat kondisi keagamaan Indonesia sedang berada di titik terlemah. Demi terciptanya suasana keagamaan yang kondusif dan damai.
*) Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Ma’arif periode ke-3.
Editor: Nabhan Mudrik Alyaum