Dalam pemikiran dan gerakan Islam kontemporer berkembang doktrin Islam Kaffah yang didasarkan pada S. Al-Baqarah ayat 208. Di antara ajaran yang berkembang di dalamnya adalah Islamisme yang menjadikan Islam sebagai ideologi tertutup dan melahirkan radikalisme dan terorisme.
Ajaran ini sebenarnya bukan merupakan doktrin yang otentik dari ayat dimaksud. Hal ini karena ia dirumuskan untuk memenuhi kebutuhan ideologi penyelenggaraan negara yang dirasakan oleh sebagian kalangan Muslim pada zaman pertarungan ideologi antara blok Barat penganut kapitalisme-liberalisme dan blok Timur penganut sosialisme-komunisme yang berlangsung mulai dekade kedua sampai awal dekade ke-9 abad ke-20.
Karena dikembangkan berdasarkan konteks sosiologis, maka perumusan ajaran Islamisme dari ayat tersebut dilakukan dengan mengabaikan munasabah (pertautan antarbagian-bagian tertentu al-Qur’an) yang merupakan salah satu kaedah tasyri’iyah, kaedah penetapan ajaran dalam Islam. Meskipun ada kontroversi penerapan munasabah dalam penafsiran al-Qur’an, kenyataan membuktikan bahwa pengabaiannya dapat mengakibatkan kesalahan fatal dalam perumusan ajarannya.
Islam Kaffah: Peradaban Materiil dan Spirituil
Hal yang perlu dicatat, pembicaraan al-Baqarah, ayat 208 itu berhubungan dengan ayat-ayat yang sebelumnya. Ayat ini memiliki munasabah (pertautan) langsung dengannya adalah ayat 204-207 yang membicarakan dua orientasi peradaban yang berkembang ketika al-Qur’an turun.
Pertama, peradaban materialisme. Peradaban ini dikemukakan dalam ayat 204-206 dan para pendukungnya digambarkan memiliki kecakapan retorika yang mengagumkan, melakukan perusakan lingkungan alam dan keturunan, dan tidak peduli pada agama. Mereka ditegaskan akan mendapatkan balasan Jahanam, seburuk-buruk tempat singgah di akhirat.
Kedua, peradaban spiritualisme. Peradaban ini disinggung dalam ayat 207 dan para pendukungnya yang hanya berorientasi pada spiritualitas diberi komentar sangat dikasihani Tuhan.
Berdasarkan munasabah ini, maka berarti bahwa al-Baqarah, 2 (208) melarang umat Islam mengikuti kedua orientasi peradaban itu dan memerintahkan mereka untuk mengembangkan orientasi peradaban yang ketiga, yakni peradaban spiritual-materiil yang imbang. Jadi doktrin Islam Kaffah sebenarnya memiliki makna peradaban ini, bukan makna ideologi islamisme.
Makna peradaban Islam Kaffah ini sesuai dengan pengertian perdamaian (as-shulh) yang dikemukakan al-Asfahani untuk kata as-silm dalam ayat ke-208 surat al-Baqarah itu. Perdamaian pada dasarnya adalah menghilangkan pertikaian secara suka rela. Masyarakat yang mengembangkan orientasi spiritual dan materiil secara sekaligus, berarti menghilangkan pertikaian orientasi peradaban di antara warganya. Dengan begitu maka mereka telah berdamai secara peradaban.
Dalam bahasa Arab akar kata s-l-m di samping digunakan untuk membentuk as-salm atau as-silm yang berarti damai, juga digunakan untuk membentuk kata as-sullam yang berarti tangga. Kesamaan akar kata ini menunjukkan bahwa perdamaian itu merupakan tangga untuk mencapai kedudukan yang tinggi bagi satu masyarakat. Kedudukan tinggi bagi mereka hanya dapat diperoleh melalui kemajuan peradaban. Melalui al-Baqarah, 2 (208) umat diperintahkan untuk mencapai kemajuan peradaban. Kemajuan peradaban yang diperintahkan untuk dicapai itu bukan hanya kemajuan peradaban spiritual atau materiil saja, tapi kemajuan peradaban spiritual dan materiil secara bersama-sama.
Karena konsepsi peradabannya demikian, maka al-Qashash, 28 (77) mengajarkan umat hidup seimbang dengan berusaha mencapai kebahagiaan akhirat tanpa melupakan kesejahteraan hidup di dunia. Ayat ini merupakan ayat muhkam yang mengemukakan ajaran pokok dan ayat-ayat lain yang sepintas tidak sejalan dengannya harus dipahami sesuai dengannya. Ayat-ayat lain itu adalah ayat-ayat yang menurut lahirnya memandang rendah kehidupan dunia, seperti Ali Imran, 3 (185) yang menyatakan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya dan al-An’am, 6 (32) yang menyatakan bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau.
Ayat-ayat ini sebenarnya tidak memandang rendah dunia, tapi untuk menjelaskan jebakan kebahagiaan yang banyak dialami manusia karena mengira bahwa kebahagiaannya terletak pada kekayaan, kesuksesan dan kesenangan duniawi. Ketiga hal ini tidak dengan sendirinya membuat orang bahagia. Ia hanya alat untuk memperoleh kebahagiaan, sehingga seharusnya dia tidak terjebak di dalamnya, dan untuk meraihnya jangan sampai melupakan Tuhan, akhirat, akhlak dan keluarga.
Al-Ghuluww fid Din: Islam Kaffah Bukan Islamisme
Dari tafsir berdasarkan munasabah di atas, sangat jelas bahwa doktrin Islam Kaffah dalam al-Baqarah, 2 (208) sama sekali tidak berhubungan dengan Islamisme. Islamisme adalah doktrin ideologi yang mengajarkan Islam tidak hanya sebagai sistem kepercayaan dan peribadatan, tapi sebagai sistem yang secara total, tetap dan tertutup mencakup seluruh bidang kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial, mulai dari urusan di kamar mandi sampai urusan negara, termasuk politik, hukum dan ekonomi.
Sayyid Quthb, sebagai ideolog islamisme, menjadikan al-Baqarah, 2 (208) sebagai basis teologi. Dia mengartikan as-silm yang umat beriman diperintahkan untuk memasukinya dengan al-manhaj ar-rabbani yang membawa kedamaian. Dikatakannya bahwa al-manhaj ar-rabbani adalah sistem kehidupan yang diajarkan Tuhan yang didasarkan pada akidah yang membuat damai kehidupan pribadi dan menjadi satu-satunya ikatan sosial yang menyatukan masyarakat dengan melebur ras dan daerah, bahasa dan warna kulit, dan seluruh ikatan artifisial lain yang tidak berhubungan dengan subtansi kemanusiaan.
Sistem itu dilawankan dengan al-manhaj al-jahili, yakni sistem kehidupan sekuler yang diciptakan manusia, baik di masa lalu maupun sekarang, yang dipahaminya dari frasa “dan jangan mengikuti langkah-langkah syetan” dalam ayat tersebut.
Quthb menjadikan kata kaffah (keseluruhan) dalam ayat itu sebagai keterangan bagi as-silm. Karena itu menurutnya umat Islam wajib mengikuti al-manhaj ar-rabbani secara total dalam seluruh aspek kehidupan mulai dari kehidupan pribadi sampai ke kehidupan sosial dengan cakupan menyeluruh seperti itu.
Selanjutnya Quthb menjadikan munasabah (pertautan) antara dua frasa dalam al-Baqarah, 2 (208) (perintah masuk ke dalam as-silm dan larangan mengikuti langkah-langkah syetan) dalam bentuk perlawanan (tadladd), sehingga ia memahaminya secara dikotomis: masuk Islam secara total atau mengikuti langkah-langkah syetan. Dia mengatakan: “Tidak ada lain kecuali dua arah ….. petunjuk atau kesesatan, Islam atau jahiliah, jalan Allah atau jalan syetan, petunjuk Allah atau penyesatan syetan.”
Pemahaman dengan dikotomi ini tidak sesuai dengan kebiasaan al-Qur’an ketika memerintahkan sesuatu dengan diiringi larangan mengikuti langkah-langkah syetan. Pengiringan seperti ini merupakan bagian dari pola yang biasa digunakan al-Qurán dan dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tertentu. Frasa “jangan mengikuti langkah-langkah syetan” yang dikemukakan setelah frasa yang mengemukakan perintah untuk melakukan sesuatu, dalam al-Qur’an tidak digunakan dengan pengertian yang dikotomik atau diametral di antara dua frasa itu, tapi digunakan untuk menunjukkan pengertian yang integral.
Hal ini tampak dengan jelas dalam al-Baqarah, 2 (168) dan al-An’am, 6 (146) yang mengemukakan larangan mengikuti langkah-langkah syetan setelah perintah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik. Kedua ayat itu menunjukkan bahwa dalam melakukan konsumsi, orang Islam tidak boleh mengikuti langkah-langkah syetan.
Dengan demikian jika al-Baqarah, 2 (208) itu dipahami secara integral seperti dua ayat lainnya yang mengemukakan perintah dan larangan dengan pola yang sama, maka pengertiannya adalah dalam masuk Islam secara kaffah, umat tidak boleh mengikuti langkah-langkah syetan. Langkah-langkah syetan dalam berislam itu, sebagaimana dalam konsumsi, adalah berlebih-lebihan dalam beragama yang secara khusus disebut dengan istilah al-ghuluww fiddin (melampaui batas dalam beragama)
Dengan demikian Islamisme merupakan aliran al-ghuluww fid din yang dilarang al-Qur’an. Banyak varian dalam aliran ini yang salah satunya menganut klaim khilafah Islam. Para pengikut varian ini berjuang untuk menjadikan Islamisme sebagai ideologi negara yang ditegakkan oleh pemerintahan yang berkuasa di seluruh negara-negara Muslim sebagai satu kesatuan geo-politik, di bawah pimpinan seorang khalifah. Dengan ini mereka menjadikan khilafah sebagai sistem penyelenggaraan negara yang dikenal dengan khilafah islamiyah.
Islam Kaffah dan Klaim Khilafah
Menjadikan khilafah sebagai sistem politik yang baku sebenarnya juga merupakan bentuk al-ghuluww fid din yang lain. Hal ini karena pembicaraan al-Qur’an dalam hubungannya dengan politik, khilafah merujuk kepada kepemimpinan politik Nabi Daud yang disebut sebagai khalifah dalam pengertian sebagai pemimpin politik atau raja yang menggunaan kekuasaan untuk kesejahteraan.
Pengertian khilafah Nabi Daud demikian dapat dipahami dari kisahnya yang disebutkan dalam beberapa surat. Dalam Shad, 38 (17-30) disebutkan sosok idealnya sebagai raja dengan kapasitas-kapasitas berikut: terampil, melakukan desakralisasi terhadap alam, membangun kerajaan yang kuat, bijaksana, memiliki kecakapan berkomunikasi, adil, menyelenggarakan negara dengan kebenaran, dan tidak tunduk kepada kepentingan pribadi dan kelompok. Kemudian dalam al-Anbiya, 21 (78-79) di samping desakralisasi terhadap alam, disebutkan 2 kapasitas lain: memiliki legitimasi kekuasaan dan berilmu.
Selanjutnya dalam an-Naml, 27 (15-16), di samping berilmu, disebutkan 2 kapasitasnya yang lain: bersyukur dengan mengaktualisasikan anugerah kelebihan yang dimiliki dan menyiapkan penerus (Nabi Sulaiman). Terakhir dalam Saba’, 34 (10-13), di samping desakralisasi terhadap alam, disebutkan kemampuannya yang lain, yakni mengolah baja untuk menjadi peralatan. (Dari kesaksian ini diketahui bahwa Nabi Daud berperan dalam pengembangan teknologi pengolahan baja).
Nabi Daud dengan semua kapasitas itu dan praktek penyelenggaraan negara berbentuk kerajaan sesuai dengan zamannya, menggunakan kekuasaan yang dipegangnya sebagai raja, untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan negaranya. Karena itu kepemimpinan politik atau khilafah-nya dijadikan model kepemimpinan politik ideal dalam Islam. Idealisasi ini dilakukan dengan menyebut khilafah-nya sebagai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Hudzaifah (bin al-Yaman) yang populer pada beberapa waktu terakhir.
Dalam perspektif teologi sistematis, Islam Kaffah merupakan doktrin tentang organisasi agama dalam pengertian umat sebagai himpunan pemeluk agama harus mencapai tujuan risalah Islam mewujudkan hidup baik (hayah thayyibah), yakni hidup sejahtera damai dan bahagia bagi semua.
Dalam doktrin ini diajarkan bahwa untuk mencapainya, umat harus melaksanakan tugas pengembangan peradaban spiritual-materiil dan juga tugas pengembangan keberagamaan tri-dimensi dan mewujudkan integrasi sosial dan politik. Dengan pelaksanaan tiga tugas ini ada jaminan tercapainya tujuan risalah Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Bagaimana dengan Islam Kaffah sebagai ajaran islamisme-khilafah? Saya yakin para pembaca sudah tahu jawabannya.