Berseliweran di sosial media reaksi atas seorang muslimah yang melakukan social experiment di salah satu tempat terkenal di Jogja yaitu Malioboro. Awalnya saya merasa malas untuk ikutan ngerumpiin hal ini, namun dari saking seringnya hal itu dibincangkan akhirnya saya jadi kepo, kenapa ini bisa viral?
Langsung menuju akun Youtubenya, di situ tertulis Islamic Sosial Experiment. Saya kira istilah Islamic itu hanya ada pada istilah-istilah akademis seperti Islamic Studies, Islamic Law, Islamic Theology, dll.
Saya baru tau ternyata ada juga sosial eksperimen yang pakai embel-embel Islam, entah yang dimaksud apakah sosial eksperimen yang sesuai sunah? Saya kira tidak sedangkal itu, jika emang iya? Keblinger!
Yang jelas, pelaku utama dalam akun Youtube yang bernama ZavildaTV adalah muslimah berkerudung dan bercadar, lalu yang menjadi objek eksperimen rata-rata perempuan yang tidak berkerudung dan bahkan perempuan beragama Kristen.
Belum juga membuka video, melihat judulnya saja, sudah bikin kaget. Judul videonya tidak sungkan menggunakan kata cewek seksi, cewek bertato, cewek tomboy, dan ungkapan-ungkapan lain yang mengundang pertanyaan kembali tentang embel-embel “Islamic” tadi.
Ekspresi Beragama Kita yang Keseringan Ngonten
Semenjak adanya akses sosial media, hal itu mengubah sikap dari semua umat manusia dan terkhusus seorang muslim. Islam yang saya kenali dari corong-corong pengajian di langgar dan masjid saat ini berubah, Islam yang banyak melakukan kajian mendalam atas suatu kitab kini berubah untuk kepentingan konten.
Orang lebih suka upload foto dengan caption kalam ulama, ketimbang datang langsung ke pengajian. Islam yang seperti ini telah menjadi sebuah simbol kesalehan baru bagi umat Islam.
Orang saat ini seperti belum cukup mencantumkan identitas agamanya di KTP, dia juga harus mencantumkan agamanya di semua hal. Tak ayal agama Islam saat ini hanya ada di ujung jari pemeluknya saja, dengan ujung jari itu jagat sosial media sudah menumpuk konten-konten.
Salah satu contohnya adalah kasus ZavildaTV ini, dengan berpakaian ala muslimah-muslimah dan lengkap dengan cadar, dia membuat konten yang dianggap ajaran Islam dalam video-videonya.
Alih-alih mendapatkan simpati dari viewer indonesia, justru dia malah masuk dalam kesalahan yang fatal. Netizen Indonesia yang sudah muak dengan politisasi agama, nampak sudah sangat cerdas membedakan mana kepentingan agama dan agama kepentingan.
Contoh lain adalah seorang Youtuber muallaf Daud Kim yang mendadak rame karena kontennya yang banyak membawa nilai Islam. Sebagai seorang Korea yang tidak lahir sebagai seorang muslim, dia lalu menggunakan Islam sebagai alat agar Youtubenya banyak ditonton dan hal itu terbukti ampuh hingga videonya ditonton oleh jutaan orang.
***
Contoh kongkret yang bisa kita perhatikan adalah sosial media kita yang banyak diisi oleh orang-orang yang teriak Islam, namun nyatanya secara ilmu mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Berusaha berdakwah dengan konteks yang tidak tepat namun jawaban mereka selalu “Maaf, hanya mengingatkan”. Garang saat bikin konten provokatif untuk menyalahkan pemahaman Islam yang berbeda, namun saat diminta membaca kitab jawabannya “Afwan, ana masih proses belajar bahasa Arab, Akhi”
Melihat contoh kasus tersebut, Islam yang saya pahami sejak kecil di kampung itu seolah tecerabut dari identitas aslinya. Islam yang memiliki budaya kajian komprehensif itu, kini menjadi bahan eksistensi, ditunggangi berbagai hal, dan nampak ruwet.
Wajah Islam kemudian dihiasi oleh berbagai hal yang banyak ditunggangi, berislam hanya untuk like di sosial media, kolom komentar dipenuhi nasehat sok suci, atau yang parah seperti aksi pemaksaan untuk menggunakan atribut Islam dengan anggapan itu adalah bagian dari dakwah.
Konten Berlandaskan pada Ilmu
Saya tidak hendak keberatan dengan hadirnya realitas sosial media, banyak manfaat yang bisa diambil dari adanya media online ini. Namun dengan mudahnya akses sosial media ini, harus juga bisa diimbangi dengan kapasitas ilmu dan etika yang sebanding. Bukan hanya handphone saja yang pintar (smartphone) namun manusianya juga harus pintar dalam menggunakannya.
Sebagai alumni wabah Covid-19, kita semua sudah banyak berinteraksi dengan media online, tak ayal pada saat ini banyak sekali kajian agama yang ditayangkan di sosial media.
Namun hal itu memang dilakukan oleh orang yang punya kapasitas ilmu dan etika yang baik, serta tujuan para ulama itu memang untuk ilmu dan bukan untuk konten.
Banyak konten Islam yang saya tau memiliki kapasitas ilmu dan etika, baik itu dalam video-video pendek maupun dalam video berdurasi panjang. Hal itu menjadi sebuah hal yang positif, karena memang dialah orang yang harus turun mengisi jagat sosial media dari orang-orang yang hanya menarik viewers dengan menunggangi agama.
Islam kita hari ini, Islam yang tak lagi banyak dikaji, tak lagi menyehari dengan kita, tak sesimpel memakai sarung dan kopyah. Islam kita hari ini lebih menarik untuk ditunggangi, menarik untuk di buat konten tanpa kapasitas ilmu dan etika, dan serumit mempersiapkan hp dengan kamera bagus, menemukan yang katanya objek dakwah, mempersiapkan kuota, dan dengan ujung jari saja itulah Islam kita dianggap kaffah.
Editor: Yahya FR