Islam liberal merupakan salah satu aliran pemikiran yang berkembang di Indonesia pada akhir abad ke-20. Kemunculan Islam liberal di Indonesia bisa dikatakan paling belakangan dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya seperti Mesir dan Pakistan yang sudah lebih dahulu mengenalkan pemikiran ini.
Wacana terkait pemikiran Islam liberal muncul kali pertama di Indonesia oleh Greg Barton yang dipaparkan dalam bukunya yang berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Pemikiran neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid).
Pandangan Islam Liberal tentang Metode Tafsir
Aliran Islam liberal memiliki hasrat ingin menyesuaikan ajaran Islam yang sesuai dengan konteks kekinian, sejumlah pemikir dan para cendekiawan Islam liberal telah berusaha sejak lama melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan (Al-Qur’an). Sebab dalam perspektif kalangan pegiat Islam liberal model atau metodologi penafsiran Al-Qur’an yang digunakan oleh para ulama’ selama ini cenderung banyak mengandung kelemahan dan tidak mampu menjawab problem yang terjadi di era modern ini.
Kelemahan metodologi tafsir yang digunakan selama ini dinilai terlalu “men-Tuhan-kan” teks dan mengabaikan fenomena serta realitas yang ada, memandang rendah kemampuan akal manusia, dan kurang maksimal dalam penggunaan untuk merumuskan konsep kemaslahatan.
Oleh karenanya, metodologi tafsir yang digunakan oleh para ulama klasik tidak perlu dipertahankan lagi, sebab sudah tidak selaras dengan realita yang ada dan harus diganti dengan metodologi tafsir yang mengapresiasi kemodernan.
Berdasarkan wacana tersebut golongan Islam liberal mencoba menawarkan penafsiran Al-Qur’an kontekstual yang menekankan nilai etis-religius, bukan penafsiran yang menekankan makna literal teks, dengan tujuan agar penafsiran Al-Qur’an dapat selaras dengan konteks kemodernan dan Islam akan selalu berjalan secara dinamis.
Metode penafsiran tersebut dikenal dengan sebutan hermeneutika. Sebuah metode yang mengkombinasikan antara teori-teori disiplin ilmu dalam Al-Qur’an dengan teori-teori sains kemasyarakatan modern.
Golongan Islam liberal meyakini bahwa metode hermeneutika mampu menjawab permasalahan penafsiran ayat-ayat yang “tidak akomodatif” terhadap isu-isu kemanusiaan modern saat ini seperti halnya kesetaraan gender, pernikahan beda agama, kebebasan beragama atau tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan hak asasi manusia secara universal.
Kaidah dan Contoh Penafsiran Islam Liberal
Untuk menguatkan metode hermeneutika, para pemikir Islam liberal memunculkan beberapa kaidah baru dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ada beberapa kaidah-kaidah baru yang telah mereka rumuskan sebagai berikut:
1. Al-‘ibrah bi al-maqaṣid la bi al-alfaẓ
Maksud dari kaidah ini menurut golongan Islam liberal ialah bahwa pengambilan suatu hukum harus berdasarkan maqaṣid al-shari’ah bukan didasarkan dari zahir lafadznya.
Kaidah ini menuntut para mufassir untuk melakukan pergeseran paradigma dari menjadikan teks sebagai pusat perhatian tafsir untuk mencari ideal moral (maqaṣid al-shari’ah) teks Al-Qur’an, dengan kaidah ini menghasilkan penafsiran Al-Qur’an model Islam liberal sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan dunia modern saat ini.
2. Jawaz naskh al-nuṣuṣ al-juz’iyyah bi al-maṣlaḥah
Pada kaidah ini golongan Islam liberal ingin menegaskan bahwasannya maṣlaḥah boleh menghapus ketentuan hukum yang termaktub dalam teks partikular (temporal). Dari sini dapat dipahami bahwa kemaslahatan memiliki otoritas untuk menganulir ketentuan-ketentuan legal spesifik teks suci.
3. Tanqiḥ al- nuṣuṣ bi al-‘aql mujma’alaih yajuz
Kaidah ini menjelaskan bahwa akal publik memiliki sebuah kewenangan untuk menyortir sejumlah ketentuan partikular agama yang menyangkut urusan publik, sehingga apabila terdapat suatu pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik memiliki otoritas untuk mengedit, memodifikasi, dan menyempurnakannya.
Sampai sini bisa dipahami berdasarkan konsep maqasid, maslahah, serta ‘aql al-mujtama’ aliran Islam liberal menempatkan akal pada posisi yang sangat tinggi, akal dinilai sejajar atau bahkan lebih tinggi daripada teks. Bagi mereka akal bisa mengamandemen dan merubah makna literal teks, misalnya terdapat beberapa ayat yang diamandemen berdasarkan akal pikiran mereka.
Sejauh yang diketahui sampai saat ini belum ditemukan karya tafsir lengkap yang ditulis oleh golongan Islam liberal. Tafsir mereka hanya tertuju pada beberapa ayat Al-Qur’an yang memuat topik tertentu seperti ayat tentang syariat Islam dan ayat yang dianggap tidak merepresentatifkan kesetaraan gender dan ayat-ayat yang menurut mereka secara tekstual tidak menjunjung HAM.
Contoh Penafsiran Ayat
Contoh model penafsiran ayat Al-Qur’an yang pernah dilakukan oleh Islam liberal, yakni sebagai berikut:
Pertama, tafsir terhadap Surat Al-Ahzab ayat 59:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا
Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pemikir aliran Islam Liberal menafsirkan ayat hudud (hukum Islam) secara kontekstual-historis-substantif. Dalam pandangan mereka ketentuan hukum partikular tersebut hanyalah bagian dari budaya Arab, oleh karenanya tidak perlu untuk diikuti.
Pada konteks tersebut, para pemikir Islam liberal mengajak untuk melakukan penafsiran yang membedakan antara tradisi Arab lokal dengan nilai-nilai fundamental Islam.
Kedua, tafsir terhadap Surat Al-Anbiya’ ayat 69:
قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ
Kami berfirman, wahai api! Jadilah kamu dingin dan penyelamat bagi Ibrahim
***
Berdasarkan pada asas berfikir secara rasional yang merupakan sebuah ciri khas dari manhaj berfikir Islam liberal, mereka beranggapan bahwa perubahan api yang sifatnya panas menjadi dingin adalah hal yang sangat tidak logis, sebab sifat dari api itu panas dan tidak akan bisa berubah dingin.
Oleh karena itu, agar ayat tersebut masuk akal, maka pemahamannya harus ditarik kepada tafsir metaforis. Sehingga penafsiran ayat tersebut adalah bahwa Nabi Ibrahim dibakar oleh suasana masyarakat yang sangat panas bagaikan api karena terbakar kondisi emosi.
Tampak terlihat dari dua contoh penafsiran di atas terlihat jelas bagaimana golongan Islam liberal mendewakan rasio. Segala teks keagamaan yang dianggap tidak sesuai dengan rasio, maka hal tersebut harus direkayasa sedemikian rupa sehingga akal dapat menerimanya.
Secara sepintas memang sah-sah saja jika ayat tersebut ditarik kepada makna tersebut dan sesuai dengan rasio, namun bagi saya, sangat tidak tepat kiranya apabila ayat di atas ditafsirkan sesuai dengan pemahaman Islam liberal.
Sebab tidak terdapat qarinah yang menghendaki pengalihan dari makna hakiki kepada makna majazi, apalagi yang menghendaki api menjadi dingin adalah Allah dan segala sesuatu tidaklah mustahil apabila Allah menghendaki. Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Soleh