Salah seorang cucu Ali bin Abi Thalib, Imam Al-Askari, pernah menyebutkan bahwa di antara tanda-tanda pengikut Ali adalah, “Orang yang berjuang di jalan Allah; mereka tidak peduli apakah maut menjemput mereka atau mereka menjemput maut. Pengikut Ali adalah mereka yang mendahulukan saudara-saudara mereka, walaupun mereka sendiri kepayahan. Kamu tidak akan melihat di dalam diri mereka perilaku yang dilarang Allah. Kamu tidak akan kehilangan perilaku yang diperintahkan Allah di dalam diri mereka. Pengikut Ali adalah mereka yang mengikuti Ali dalam memuliakan saudara-saudaranya yang muslim.”
Cucu Ali yang lain, Ja’far Shadik, menambahkan bahwa pengikut mazhab Ali adalah “Orang yang memberikan apa yang dipandang baik dan menahan apa yang dipandang jelek. Menampakkan yang indah dan bersegera melakukan hal-hal yang mulia.” (Islam Aktual, 1994: 36).
Sebagai seorang ulama Syi’ah, Jalaluddin Rakhmat atau yang diakrab disapa Kang Jalal, termasuk di antara sedikit orang yang menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai patron atau teladannya. Cendekiawan muslim asal Bandung itu menyebut Ali sebagai seorang penegak Islam mazhab ukhuwah. Ali adalah sosok yang cinta pada perdamaian dan sangat benci pada pertikaian. Karenanya, Kang Jalal tidak menyebut semua kalangan Syi’ah sebagai pengikut mazhab Ali. Dia menulis:
“Banyak orang menyebut Syi’ah sebagai pengikut Ali. Apakah semua Syi’ah itu bermazhab Ali? Tidak. Orang Syi’ah yang merasa diri paling benar tetapi berakhlak rendah, yang memperbesar perbedaan pendapat tetapi lupa meningkatkan kualitas pribadinya, yang memuji-muji Ali tapi tidak menirunya, bukanlah pengikut Ali.”
“Orang Syi’ah yang ekslusif”, lanjutnya, “memisahkan diri dari jamaah kaum muslim, meremehkan Ahlus-Sunnah, juga bukan pengikut Ali.” Sebaliknya kata Kang Jalal, “Ahlus-Sunnah menjadi pengikut Ali ketika ia berlomba-lomba melakukan kebaikan, menyucikan dirinya dari kemaksiatan, menghindari kecaman terhadap golongan yang tidak satu paham, dan –sekali lagi – hanya mengukur baik atau buruknya orang dari akhlaknya.”
***
Menghadirkan sosok seperti Ali bin Abi Thalib adalah hal yang penting di era saat ini. Di mana umat Islam mudah bertengkar hanya karena perbedaan pendapat. Kita perlu belajar pada Ali tentang cara menghargai orang lain dan cara memuliakan saudara-saudara sesama muslim. Apa yang dilakukan dan dicontohkan Kang Jalal selama hidupnya adalah upaya yang juga menuju ke arah itu.
Dia resah dengan keadaan umat Islam yang mudah terpecah-belah. Dia gelisah dengan umat Islam yang sangat mudah terprovokasi oleh isu-isu murahan. Jalaluddin Rakhmat sangat merindukan masa di mana umat Islam dapat hidup harmoni dan saling berdampingan.
“Alangkah indahnya peristiwa ketika kaum muslim berkumpul di Muktamar Islam di Masjidil Aqsha, Palestina. Mereka shalat berjamaah diimami oleh seorang tokoh mujtahid Syi’ah Imamiah Al-Ustadz Al-Syaikh Muhammad Al-Husain Ali Kasyif Al-Ghitha. Tidak terdapat perbedaan antara yang mengaku Sunni dengan yang mengaku Syi’ah. Semua menjalin saf-saf yang kokoh di belakang seorang imam. Mereka berdoa kepada Tuhan yang satu, menghadap kiblat yang satu.” (Menuju Persatuan Umat: 2012)
Benar, salah satu harapan terbesar Jalaluddin Rakhmat, khususnya di Indonesia, adalah dapat melihat umat Islam Sunni dan Syi’ah hidup damai, tentram dan penuh kasih. Karenanya dia merasa sangat miris dan menyayangkan ketika mendengar ada sebagian dari umat Islam yang menyerang umat Islam Syi’ah. Baginya Sunni dan Syi’ah adalah saudara. Oleh karenanya tidak perlu untuk dipertentangkan.
Dalam salah satu tulisannya, Jalaluddin Rakhmat sangat menaruh harap pada anak-anak muda Islam. Sebagai seorang terdidik dan terpelajar, Jalaluddin Rakhmat berharap agar anak-anak muda tidak lagi larut dan hanyut dalam konflik masa lalu. Sebab ada tantangan yang lebih besar yang mesti dihadapi oleh umat Islam selain daripada perbedaan Sunni dan Syiah.
***
Anak-anak muda Islam diharapkan dapat mengarahkan perhatiannya pada isu-isu besar tersebut. Anak-anak muda diharapkan sudah tidak lagi memperdebatkan masalah mana yang disebut sunnah dan mana yang disebut sebagai bid’ah. Mereka harusnya sudah berdiskusi tentang islamisasi sains, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Mereka tidak lagi ribut tentang bagaimana cara berhaji yang sah, tetapi sudah mempersoalkan bagaimana menghadapi pejabat yang tidak mau naik haji. Mereka tidak lagi berdebat tentang perbedaan fakir dan miskin, tetapi telah berbicara bagaimana cara meningkatkan kualitas hidup keduanya. (Islam Aktual, hal. 22)
Itulah Kang Jalal. Dia adalah orang sangat visioner. Dia memiliki mimpi-mimpi yang sangat besar terhadap bangsa dan negara Indonesia. Dia ingin agar bangsa Indonesia sudah berbicara gagasan-gagasan besar, sehingga tidak punya waktu lagi untuk terseret pada pembahasan mengenai masalah-masalah kecil yang seharusnya telah selesai dan telah ditinggalkan.
Dalam menanggapi perpecahan, Kang Jalal berulang kali mengingatkan kepada umat Islam bahwa pertengkaran itu tidak baik. Dia meminta agar umat Islam mampu belajar pada tradisi sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud. Sebab Ibnu Mas’ud adalah orang yang benar-benar kecewa ketika mendengar Utsman bin Affan shalat Zuhur dan Ashar sebanyak masing-masing empat rakaat di Mina.
Ia menganggap Utsman telah keluar dari garis yang ditentukan oleh Rasulullah. Namun ketika Ibnu Mas’ud shalat berjamaah di Mina tepat di bekalang Utsman, ia shalat sebagaimana shalatnya Utsman. Ketika orang bertanya mengapa ia melakukan itu, Ibnu Mas’ud menjawab, “Bertengkar itu jelek!” (HR. Abu Dawud)
Bagi Kang Jajal, sebagaimana yang diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib, kemuliaan seseorang tidak dilihat dari pikirannya yang luas, tetapi dilihat dari akhlaknya yang luhur. Mereka yang berwawasan luas tapi tidak berakhlak, justeru hanya akan melahirkan perpecahan. Lihatlah orang-orang yang bertengkar karena perbedaan pendapat, apakah mereka bukan orang yang pintar? Tentu tidak. Mereka adalah orang-orang yang pintar. Mengapa mereka bisa bertengkar? Itu karena mereka lebih mendahulukan pikirannya dibanding akhlaknya.
***
Penulis adalah orang yang merasa sangat kehilangan ketika mendengar kabar Kang Jalal meninggal (15/2). Kang Jalal adalah salah satu di antara cendekiawan muslim yang penulis kagumi pikiran-pikirannya. Penulis merasa belum beruntung karena belum pernah bertemu secara langsung dengan beliau. Namun itu bukanlah perkara penting. Yang terpenting ialah bagaimana gagasan-gagasan Kang Jalal tentang perdamaian Sunni-Syi’ah di Indonesia dapat terus diperjuangkan dan diwujudkan. Karena hanya dengan cara itulah kita dapat membuat Kang Jajal legah dan tersenyum di alam sana.
Selamat jalan Kang Jalal! Semoga namamu akan terus dikenang sebagai seorang yang pluralis, cinta damai dan penuh perhatian dan pembelaannya terhadap mereka yang lemah dan dilemahkan.
Editor: Yahya FR