Islam Nusantara: Islam Jenis Baru?
Manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Di antara jenis mamalia, kita adalah salah satu yang paling lemah. Butuh belasan tahun lamanya untuk kita diasuh oleh keluarga, sampai benar-benar berani dan mampu berdiri sendiri. Ketidaktahuan dan kelemahan tersebut begitu terasa, seringkali menyiksa batin dengan amukan rasa khawatir dan rasa panik yang diciptakannya. Begitu lemahnya kita, sehingga kita pun sadar bahwa tanpa sandaran bernama Tuhan dan tanpa tuntunan bernama agama rasanya sulit menerima dan melanjutkan kehidupan.
Oleh karena itulah agama menjadi begitu sakral bagi manusia. Anda bisa saja menghina nama atau leluhur seseorang, besar kemungkinan orang itu akan bersabar dan mengacuhkan Anda. Namun, cobalah sodorkan satu hal yang berbeda mengenai agama yang selama ini orang itu sakralkan; besar kemungkinan Anda akan menjadi musuhnya. Anda telah menyinggung satu-satunya pedoman hidup orang itu.
Ribuan bahkan lebih orang Muslim Indonesia sontak merasa tersinggung sewaktu Nahdlatul Ulama (NU), pada 2015, menyodorkan gagasan dan slogan Islam Nusantara. Alasan dangkal dijadikan kontra-argumen, bahwa hanya ada satu Islam.
NU dinilai sedang menjalankan proyek menciptakan Islam jenis baru; bahkan sebuah agama baru. Di masjid tempat saya bersembahyang yang jaraknya hanya sepuluh langkah dari rumah, bapak-bapak yang budiman punya julukan sayang untuk NU dan jamaahnya: JIN, akronim untuk Jaringan Islam Nusantara.
Sering Salah Paham
Delapan ratus tahun yang lalu, Averroes aktif mengisi kelas dan pelajaran di Andalusia. Khalifah Abu Ya’qub Yusuf memang menunjuk ia sebagai hakim agung Cordoba dan dokter resmi istana. Namun pekerjaan utamanya tetap saja pendidik. “Tidak ada halangan oleh syariat untuk menjamah kitab-kitab pengetahuan para ilmuwan Yunani,” ajar Averroes kepada santri-santrinya.
Di sudut masjid yang tidak terlihat oleh banyak orang, beberapa sarjana mengelus-elus dada mendengar gagasan Averroes itu. Mereka membatin, “bagaimana mungkin kita harus belajar dari ilmuwan kafir Yunani. Padahal kita sudah punya sumber segala ilmu: kitab dan sunnah.”
Menurut sebagian besar fuqaha Andalusia saat itu, Averroes menganut sebuah pikiran yang berbahaya. Averroes menggambarkan dunia secara cosmopolitan, sehingga berlawanan dengan naluri sectarian kebanyakan sarjana fikih dan kalam. Dunia bagi Averroes bukan sebuah wilayah khusus bagi kekuasaan dan hegemoni Muslim. Dunia dan realitas adalah panggung bagi semua orang. Dan pertunjukan terbaiknya adalah berupa filsafat dan ilmu pengetahuan.
Di pembuka Fashl al-Maqal (1179 M) ia berpesan: Filsafat tidak lebih daripada investigasi ilmiah atas realitas untuk memahami secara seksama Sang Seniman yang telah mencipta realitas. Jika demikian hakikat filsafat –dan sebenarnya, sains juga– maka hukum mendalami filsafat adalah wajib, simpul Averroes.
Namun, secemerlang apa pun gagasan Islam Filsafat –nama yang saya buat sendiri– yang Averroes sodorkan, hal itu justru disalahpahami. Ia dikira menomorduakan agama, dan menomorsatukan Aristoteles. Dan seperti selalu dibuktikan lagi dan lagi oleh sejarah, salah paham ini disebarluaskan, dibumbui dengan berita palsu yang berlebihan, dan mereka yang menyebarkan dipuja sebagai pahlawan.
Kondisi Islam Nusantara tidak begitu berbeda. Naluri negativitas banyak orang membuat mereka mudah terjebak untuk menyalahpahami gagasan ini. Penceramah dengan sejuta pengekor berbusa-busa mengecam Islam Nusantara. Umat polos yang banyak di antaranya doktor dan dokter, tertipu dengan semua retorika tukang pidato yang mereka frame sebagai ulama.
Mereka mengirimi Anda berita palsu bahwa Islam Nusantara ber-tawaf dan ber-sa’i sambil melagukan Indonesia Raya. Belum lagi setelah mereka ingat bahwa NU tidak berdiri di barisan demonstrasi sejuta umat di Monas. Kini, di hati mereka telah bertambah satu lagi musuh agama setelah Syi’ah dan orientalis: itulah Islam Nusantara.
Mengenai definisi, saya mengutip Dr. Mujamil Qomar dari IAIN Tulungagung yang melihat Islam Nusantara sebagai “sebuah model pemikiran, pemahaman, dan implementasi ajaran-ajaran Islam yang dikemas melalui pertimbangan budaya dan tradisi yang telah berkembang di wilayah kepulauan Asia Tenggara” (Qomar, 2015).
Tidak lebih daripada itu, Islam Nusantara hanyalah sebuah nama untuk ekspresi (ingat, ekspresi, bukan norma apalagi dogma!) berislam kita di wilayah kepulauan ini. Dengan segala ragam istiadat religiusnya seperti ziarah, slametan, kendurian, solawatan; hingga ragam intelektualisme religiusnya seperti Pancasila, hubbu-l-wathan, dan ekonomi kerakyatan. Untuk soal intelektualisme religius ini, saya mem-paraphrase pandangan Dr. Mohammad Hatta mengenai Islam dan budaya Indonesia, dalam buku Demokrasi Kita (1960).
Mengapa Butuh Islam Nusantara?
Pada Agustus 2015, NU menyelenggarakan Muktamar mereka yang ke-33 di kota Jombang. Untuk muktamar ini, mereka memilih tema: Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Peran ketua umum PBNU saat itu, KH. Said Agil Siradj sangat besar dan menentukan dalam prioritas tema ini. Sejak sebelum menjabat ketua hingga menjabat dua periode, Kiai Siradj terbilang begitu aktif menyuarakan Islam a la Nusantara sebagai antithesis kebangkitan Islamisasi a la Timur Tengah di Indonesia pasca-Reformasi.
Apa bahaya paling laten dari sebuah hasrat Islamisasi yang konservatif ini? Terhadap Indonesia sebagai negara dan bangsa, bahaya itu tentu saja adalah hilangnya rasa percaya terhadap Pancasila sebagai nilai pertama yang harus dijunjung oleh setiap warga negara. Selanjutnya, hilang rasa percaya pada UUD 1945 sebagai konstitusi dalam mengatur setiap urusan warga negara.
Sewaktu dua fondasi kenegaraan ini berhasil dilumpuhkan, tempat yang kosong lalu diisi oleh imajinasi tentang Islam sebagai ideologi menggantikan Pancasila. Khilafah sebagai format menggantikan nation-state, dan syariat sebagai konstitusi mengganti UUD 1945.
Indonesia yang belum berumur seabad ini mengidap banyak sekali masalah sosial. Pada 1975, dalam buku The Sociology of Corruption, Syed Hussein Alatas mendemonstrasikan satu masalah fundamental yang menggerogoti kekayaan natural dan intelektual di Indonesia: budaya korupsi para pejabat.
Kemiskinan yang melanda banyak sekali keluarga di negeri merah putih bukan terutama disebabkan oleh minimnya keterampilan, melainkan oleh tidak adilnya pemerataan hasil produksi negara. Namun, seberat-beratnya kondisi sosial dan ekonomi kita, membubarkan negara nasional ini tidak pernah dapat diterima sebagai solusi yang rasional.
Pekerjaan rumah untuk menghabisi korupsi dan menciptakan keadilan sosial, terus menerus dilakukan oleh banyak insan Indonesia yang jujur dan berintegritas. Di luar lingkungan pejabat pemerintahan, PR ini dikerjakan pula oleh NU dan Muhammadiyah. Lebih dari itu, sebagai civil society mereka merambah pikiran-pikiran kita supaya tetap setia pada Pancasila, UUD, dan NKRI.
Praktis, dalam soal mendidik dan menanamkan nasionalisme dalam dada Muslimin-Muslimat Indonesia, civil society ini lebih berperan daripada negara itu sendiri. Dr. Mohammad Hatta (1960) mengatakan bahwa andai bukan berkat didikan para kiai di masjid dan surau kampung, tak akan sampai semangat nasionalisme, progresivisme, dan moderatisme ke masyarakat akar rumput.
Melembaganya Islam Nusantara oleh NU pada 2015 itu merupakan sebuah wujud materialisasi nilai-nilai perjuangan Islam masyarakat Indonesia arus utama. Dalam kondisi kepala dan hati kita dihantui oleh narasi Islamisasi dari kelompok konservatif, siapa lagi yang bisa kita harap memberi kontra-narasi yang efektif jika bukan civil society sebesar NU dan Muhammadiyah.
Lagi pula, saya menemukan satu hal unik: Islam Nusantara –dengan nilai perjuangan utama bernama moderatisme– yang melembaga pada 2015 oleh NU itu ternyata sudah disuarakan kebutuhannya pada 2013 oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif, tokoh besar Muhammadiyah. Kata Buya Syafi’i (Nashir, 2013):
Bangkitnya gerakan Islam yang mengusung revivalisme dan fundamentalisme politik saat ini adalah akibat tidak hadirnya kelompok Islam mainstream dalam kontestasi Islam sebagai ideologi melawan modernisme dan westernisasi. Dari kacamata politik global, gelombang liberalisme dan fundamentalisme Islam telah menempatkan arus moderasi Islam dalam posisi sulit. Gerakan Islam mainstream yang selama ini bertindak sebagai arus tengah dinilai gagal menegaskan identitas, posisi, dan orientasi perjuangannya di tengah kuatnya intervensi politik global, liberalisme, dan sekularisme.
Senada dengan kegelisahan Buya Syafi’i ini, Dr. Mujamil Qomar mengakui pula bahwa sebab-sebab efisien yang mendorong kelahiran gagasan Islam Nusantara adalah mengglobalnya konservatisme berbasis Islam. Selain korupsi dan borok lembaga kepolisian/peradilan, conservative turn –istilah yang dipopulerkan Prof. Martin van Bruinessen – juga merupakan PR besar bangsa ini.
Maka, NU pun mengambil bagian penting sebagai satu benteng besar bagi Muslimin-Muslimat kita agar tidak terperosok berbelok menanggalkan moderatisme. Menurut Dr. Mohammad Hatta, moderatisme, komunalitas, dan rasa keadilan adalah karakter otentik Muslim Nusantara, yang sudah menyumbang kesatuan nasional bagi Indonesia.
Mengawal Islam Nusantara
Virus bernama “sempit-pikiran” yang menjangkiti banyak Muslimin-Muslimat taat di negeri ini bukanlah makhluk baru. Sudah sejak lama virus ini ada, dan lewat banyak media pengajian ia menggerogoti akal kita yang tadinya sehat. Setelah Reformasi 1998, virus “sempit-pikiran” makin membuas. Apabila dulu hanya diidap oleh individu, kini ia merasuki partai politik, organisasi masyarakat, sekolah, hingga universitas. Ironis sekali, universitas yang mestinya menjadi arena memupuk pikiran universal dan kebebasan ilmiah, malah penuh dengan lingkar-lingkar pengajian berisi virus “sempit-pikiran”.
Apabila kita yang terjangkiti “sempit-pikiran” terlanjur salah paham mengenai Islam Nusantara –meski ia hakikatnya bukanlah paham-yang-salah– maka hal tersebut sudah diantisipasi sejak awal oleh NU dan setiap elemen moderat di negara ini. Semaju-majunya Averroes saat itu dengan Islam Filsafat, tetap saja ia akhirnya dikucilkan dan kitab-kitabnya dibakar. Namun, alam punya caranya sendiri.
Pikiran rasional Averroes tak dihargai oleh negerinya, namun dipanen besar-besaran oleh negeri tetangga: Barat-Latin. Islam Nusantara tak sampai dibegitukan memang –setidaknya untuk sekarang– sebab kaum moderat Islam di Indonesia juga semakin berani tampil untuk membela kedudukannya.
Namun, mengenai soal kemungkinan berpindahnya energi besar dalam gagasan Islam Nusantara ke negara tetangga, hal tersebut sebaiknya dijadikan peringatan. Pakar Islam in the Malay-Indonesian-world dari National University of Singapore, Azhar Ibrahim, sejak lama sudah melihat bahwa model keislaman yang moderat dan membudaya di Indonesia ini akan menjadi contoh yang ditiru oleh masyarakat Muslim lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Nah, untuk pemudi-pemuda NU dan Muhammadiyah, apabila kalian tidak serius mengawal Islam Nusantara kalian ini, barangkali sebagaimana Averroism bersinar justru di negeri Latin, bisa saja Islam-Nusantara-ism akan bersinar justru di negeri lain.
Selebihnya, selain virus “sempit-pikiran”, tantangan lain bagi penggagas Islam Nusantara terletak dalam pembuktian yang berkelanjutan atas keinginan mereka untuk menghadirkan Islam Nusantara bagi peradaban Indonesia dan dunia. Apabila mereka benar-benar mengerti arti “peradaban”, mereka pasti sadar bahwa racun paling mematikan bagi sebuah peradaban adalah mental dan kebiasaan korupsi dari pejabat maupun warga.
Saya tidak sepesimis Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia mengenai hakikat diri kita. Munafik, malas, dan korupsi memang bisa saja muncul di hati kita dan kita pun tergoda olehnya. Tapi, bahwa begitulah watak asli kita, saya rasa tidak. Tentu tidak elok bila mengatakan bahwa Islam Nusantara adalah Islamnya orang-orang munafik, malas, dan tukang korupsi.
Editor: Yusuf