Perspektif

Islam: Rahmatan lil ‘Alamin, bukan lil Mu’minin

3 Mins read

Islam adalah agama sekaligus rahmat bagi seluruh alam. Rahmat ini dapat didefinisikan sebagai penebar kasih sayang dan kabar gembira serta optimisme bagi semua makhluk yang ada. Baik itu manusia, jin, hewan, tumbuhan, maupun alam sekitar. 

Manusia adalah Makhluk yang Diberikan Amanah

Kasih sayang merupakan naluri yang ada pada setiap makhluk, termasuk hewan buas. Seperti kasih sayang harimau pada anak-anaknya, kasih sayang ayam pada anak-anaknya, dan kasih sayang hewan-hewan lainnya.

Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa kasih sayang tersebut terdapat pula pada naluri manusia (secara insting maupun secara naluri). 

Selain sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan sebaik-baiknya (fi ahsani taqwim), manusia merupakan makhluk yang diberikan amanah agung untuk menampuk risalah kenabian dan khalifatul fil ardl; atau pengelola serta pembuat peradaban di bumi.

Tentu, dalam penyebaran risalah kenabian ini para nabi dibekali akhlak terpuji, seperti kasih sayang terhadap sesama makhluk.

Hal ini dapat terbaca pada salah satu sejarah yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. menolak tawaran malaikat Jibril AS untuk menghancurkan penduduk kota Thaif yang menyakiti dan menolak dakwah Nabi saw..

Akan tetapi, Nabi saw. malah mendoakan kebaikan pada mereka dan melarang malaikat Jibril melakukan hal tersebut, sebab rasa kasih sayang yang begitu besar, dan paham bahwa mereka (penduduk kota Thaif) belum mengerti atas ajaran risalah yang dibawanya itu. 

Nabi saw. optimis bahwa seandainya mereka mengetahui ajaran yang dibawanya, niscaya mereka akan beriman. Kalaupun tidak, Nabi saw. tetap optimis bahwa suatu saat di antara keturunan mereka pasti akan ada orang yang mengimani risalahnya itu, bahkan menjadi pembela risalahnya. 

Lebih dari itu, terdapat penegasan pada sebuah hadis Nabi saw. yang menyebutkan bahwa orang yang mengasihi makhluk di bumi akan dikasihi oleh makhluk yang ada di langit (para malaikat).

Baca Juga  Ma'ruf Amin: Citra Islam Telah Dirampas oleh Sebagian Kecil Umat Islam

Makhluk yang terdapat di bumi itu bermacam-macam. Ada yang berupa benda mati seperti batu; benda hidup tapi tidak bergerak seperti tanaman; benda hidup, bergerak tetapi tidak berpikir seperti hewan; dan ada pula benda hidup, bergerak, berpikir dan memiliki perasaan, yakni manusia.

Mereka yang Diampuni Dosanya karena Kasih Sayang

Kasih sayang ini perlu disebarluaskan pada segala jenis makhluk, karena sejatinya setiap makhluk itu saling membutuhkan. Sehingga akan terjalin simbiosis mutualisme dan terjalin siklus kehidupan yang harmonis berupa rantai kehidupan yang terus berputar dan bergulir.

Terdapat sebuah hadis riwayat Bukhari yang menyebutkan bahwa seorang pelacur diampuni dosanya dan dimasukkan ke surga sebab memberi minum seekor anjing yang kehausan. Hal tersebut dilakukan karena dia merasa kasihan pada anjing tersebut. 

Kemudian, dalam kitab Nashaihul Ibad, Syekh Nawawi menceritakan terkait pengampunan dosa Imam Al-Ghazali yang membiarkan lalat untuk mengambil setetes tinta ketika dirinya sedang menulis.

Masih dalam kitab yang sama tetapi berbeda halaman, Syekh Nawawi menyebutkan bahwa Imam Syibli dimasukkan ke surga hanya karena merasa kasih sayang dan pernah menyelimuti kucing yang kedinginan. 

Selain itu, terdapat kisah yang menyebutkan bahwa seseorang diampuni dosanya hanya karena berniat ingin membantu, tetapi dirinya dalam keadaan susah.

Bahkan dalam kitab Ushfuriyyah, disebutkan bahwa Umar bin Khattab diampuni dosanya hanya karena dirinya pernah membeli seekor burung pipit dari seorang anak kecil. Kemudian, Umar melepaskan dan membebaskan burung pipit tersebut.

Oleh karena itu, sepatutnya bagi seorang muslim untuk saling menebar kasih sayang di antara sesama manusia. Sebab, menebar kasih sayang pada hewan saja mendapatkan imbalan yang luar biasa, apalagi jika hal itu dilakukan pada sesama manusia. Tentu akan lebih luar biasa.

Baca Juga  Ramadan Penuh Toleransi: Telaah Konten Login Habib Ja'far dan Onad

Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin, bukan Sekadar Rahmatan lil Mu’minin

Selain itu, penyebaran rasa kasih sayang ini sudah merupakan insting setiap makhluk. Sehingga dalam ajaran filsafat Sunda, ada sebuah pepatah yang memerintahkan untuk “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh” (saling mencerdaskan, saling mengasihi dan saling menjaga), sehingga ajaran Islam sudah terserap dan terjalin rapi di dataran Sunda (Indonesia) ini.

Wajar saja jika ada yang berkata bahwa Sunda teh Islam, Islam teh Sunda; urang Sunda mah geus Islam samemeh datang Islam (Sunda itu Islam, Islam itu Sunda; orang Sunda itu sudah masuk Islam sebelum Islam itu datang).

Berdasarkan istilah tersebut, maka dapat diketahui bahwa nilai-nilai Islam sudah ada di Indonesia sebelum ajaran Islam itu datang. Jadi, wajar kalau orang Indonesia lebih mudah memeluk agama Islam.

Selain ajaran Islam yang disebarkan para wali melalui jalan damai, ajaran Islam juga telah berjalan beriringan dengan falsafah yang telah mendarah daging di setiap jiwa raga orang Indonesia.

Dengan demikian, nilai-nilai keislaman telah mengakar-ranting di bumi Nusantara atau Indonesia sejak sebelum Islam datang, yang dalam hal ini terdapat pada ajaran Sunda yang notabene merupakan salah satu suku yang ada di Nusantara atau Indonesia.

Dengan kata lain, orang Indonesia tidak akan begitu kesulitan untuk menebarkan pesan Islam yang rahmatan lil ‘alamin; bukan sekadar rahmatan lil mu’minin.

Editor: Zahra

Ujang Azwar
6 posts

About author
Pendidik di Pesantren Al-Atiqiyah Sukabumi
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds