Oleh: Nurfarid, Lc.*
Gerakan pembaharuan dan kebangkitan Islam modern tidak terlepas dari gerakan kembali kepada kemurnian Islam. Gerakan itu diserukan oleh para pembaharu di abad ke 19 M.
Para pembaharu menilai bahwa kemunduran dan keterbelakangan umat Islam disebabkan karena maraknya praktek bid’ah dan khurafat. Yang mana, telah mengotori kesucian aqidah dan merusak kebenaran ibadah yang di ajarkan Islam.
Dengan demikian untuk membangkitkan umat Islam, maka umat harus kembali ke ajaran Islam yang murni, kepada sumbernya yang asli, dan mengikuti pemahaman salafu shalih. Gerakan ini disebut dengan gerakan salafiyah.
Dalam bukunya at Tharīq ilā aL Yaqḍah al Islāmiyyah, Prof. Dr. Muhammad Imarah membagi gerakan salafiyah ke dalam dua bagian; Salafi Tekstual dan Salafi Rasional.
Salafi Tektual (Salāfiyah Nushūshiyah)
Gerakan Salafi Tektual muncul pada abad ke 18 M di Tanah Hijaz sebagai respon dari menjamurnya adhrihah (kuburan) yang disucikan dan menjadi tempat pemujaan yang berlebihan. Fenomena ini lahir sebagai efek dari pemahaman Turki Utsmani—yang menguasai negeri Arab ketika itu— yang cenderung sufistik dalam memahami ajaran Islam.
Sedangkan secara ‘geografi pemikiran’ tanah Hijaz merupakan wilayah yang di dalamnya tumbuh pemahaman Islam puritan, secara fikih kaum muslimin di wilayah ini mengamalkan madzhab fikih Maliki yang lebih tektual, dan secara akidah mereka berpegang teguh terhadap madzhab Salafi Imam Ahmad bin Hambal dan Syekh Islam Ibnu Taimiyah yang sangat fundamental.
Oleh karena itu pertemuan antara dua madzhab (fikih Maliki dan aqidah Salafi/Hambali) inilah yang melahirkan idiologi Salafi Tektual.
Gerakan ini kemudian semakin tumbuh subur didukung oleh kondisi geografis yang sangat primitive dan jauh dari peradaban, karena kondisi geografis semacam ini tidak pernah menawarkan tantangan yang menuntut pemecahan akal, tidak juga membantu manusianya untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berakal.
Maka disini rasionalisme tidak berkembang dan tidak terlalu dibutuhkan, karena untuk merespon tantangan yang disediakan zaman mereka cukup kembali kepada tek atau kepada apa yang diamalkan para pendahulu mereka.
***
Gerakan Salafi Tekstual dibangun di atas 3 prinsip: 1) Kembali kepada al Quran dan as Sunnah, dan menolak peran akal dalam memahami tek suci, oleh karena itu sebagai konsekwensinya mereka menolak qiyas walaupun benar, kemudian berpaling dari ta’wil dalam memahami tek syar’i walaupun tepat. 2) Kembali kepada akidah salafu sholeh yang murni dan sesuai dengan ajaran Islam yang asli. 3) Mengamalkan ibadah sesuai dengan tuntunan rasul SAW dan membenarkan amal ibadah yang telah disimpangkan oleh praktek bid’ah dan syirik.
Kalau kita menilai ketiga prinsip di atas menurut skala ruang dan waktu, maka gerakan Salāfiayah Nushūshiyah ini merupakan gerakan pembaharuan dan kebangkitan, dalam arti memurnikan kembali ajaran Islam setelah dinodai bid’ah, syirik dan khurofat.
Akan tetapi yang menjadi catatan adalah dalam usaha pembaharuanya idiologi gerakan ini tidak mampu memisahkan antara wilayah dunia dengan wilayah agama. Sehingga ketika gerakan ini meyakini bahwa pembaharuan dunia bisa dicapai dengan pembahruan agama.
Mmereka menyeru kepada salafiyatid dunyawiyah, sebagaimana menyeru kepada salafiyatid diniyah. Mereka lupa bahwa dalam konsep pembaharuan tsawabit agama harus diwujudkan dengan ittiba’ (mengikuti salaf) tanpa ibtida’(inovasi).
Akan tetapi dalam konsep pembaharuan dinamika keduaniaan harus diwujudkan dengan ibtida’ dalam maqoshid syari’ah ataupun yang terkait dengan kemaslahatan dunia secara umum—dan gerakan Salafi Tektual, khususnya Wahabiyah, tidak menyadari bahwa ittiba’ dalam masalah keduniaan tidak akan membuahkan pembaharuan akan tetapi malah menimbulkan kejumudan.
Salafi Rasional (Salāfiyah ‘Aqlāniyah)
Gerakan Salafi Rasional lahir sebagai sintesa dari kotradiksi antara idiologi gerakan Salafi Tektual dengan idiologi gerakan Sekuler-Liberal. Hal ini bisa dilihat dari apa yang diserukan oleh pengusung gerakan ini Imam Muhammad Abduh ketika ingin mengenalkan idiologi pembaharuannya: “Dan dalam menyerukan pembaharuan itu aku telah bertentangan dengan dua ide kelompok besar yang membentuk tubuh umat ini: ide pembaharuan yang dibawa oleh para sarjana agama beserta orang-orang yang sejenisnya dan ide pembaharuan para sarjana ilmu-ilmu modern beserta orang yang berada pada barisan mereka…”
Para tokoh pembaharu yang mengusung gerakan ini meyakini bahwa jalan satu-satunya untuk mengembalikan kejayaan umat Islam dengan kembali ke manhaj salaf. Sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Abduh “…pemahaman agama mengikuti manhaj salafil ummah sebelum munculnya khilaf, dan mengembalikan usaha pencarian niali-nilai pada sumber-sumbernya yang asli…” Namun demikian konsep ini harus dibarengi dengan peran akal dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam.
Gerakan ini tumbuh di Mesir, dibesarkan oleh suasana kota yang cenderung berpikir rasional dan prosedural, berbeda dengan gerakan Salafi Tektual yang tumbuh besar dalam suasana desa yang primitive dan cenderung irasional.
***
Sebagaimana gerakan ini juga mengakar kuat pada pemikiran keislaman klasik dibandingkan para pengusung gerakan Sekular-Liberal yang lebih kental pemikiran Barat modern-nya.
Dalam menyerukan pembaharuannya, Muhammad Abduh meletakkan dasar-dasar kebangkitan yang akan melatari bangunan idiologinya. Dasar-dasar kebangkitan itu berupa: pertama, teori epistemologi yang berfungsi untuk mem-back up pemikiran umat Islam dalam mencari ilmu dan nilai-nilai kehidupan, yang beliau sebut dengan Hidayāh Arba’; Insting, panca indra, akal dan agama. Kedua, merekontruksi dasar-dasar pemikiran Islam yang tidak hanya difungsikan untuk mengokohkan akidah umat Islam namun juga mengembalikan efektifitasnya dalam kehidupan social. Dalam hal ini Muhammad Abduh meletekan 8 pondasi yang mendasari agama Islam: 1) Perenungan akal untuk menghasilkan iman. 2) Mengedepankan akal atas syariat ketika terjadi pertentangan. 3) Menjauhi takfir. 4) Mempertimbangkan sunnah Allah dalam ciptaan-Nya. 5) Menumbangkan pemerintahan agama/teokrasi. 6) Menjaga dakwah untuk mencegah terjadinya fitnah. 7) Toleransi terhadap pemeluk agama lain. 8) Memadukan antara kemaslahatan dunia dan akhirat.
***
Sang Imam juga memperbaharui tema-tema teologis yang ada dalam khazana klasik Islam. Dalam karyanya Risalah Tauhid, beliau menyajikan kembali ilmu kalam dengan bahasa sederhana namun ilmiah yang mampu dicerna oleh ammah (masyarakat) maupun khosshoh (ulama), menghindari masalah-masalah yang menimbulkan perpecahan diantara madzahib, dan berusaha merangkul ide-ide kalam yang mereka yakini dengan memberikan pemaknaan baru atau ijtihad baru.
Beliau juga mengkaji tema-tema yang memiliki relevansi kuat dengan pembangunan pemikiran dan jiwa manusia muslim sehingga dengan ini diharapkan lahirnya manusia muslim yang mampu berinteraksi dengan setiap perubahan zaman—tema-tema yang tentunya bisa menyokong proyek kebangkitan yang beliau jalankan.
Beberapa tema sentral dan sakral yang dikaji beliau adalah tema Af’al al‘Ibad (perbuatan manusia), Ikhtiyar al Insan (ikhtiyar manusia), Husnu al ‘Amal wa Qobhuha (baik dan buruknya perbuatan) yang sepanjang zaman telah menimbulkan perdebatan sengit serta banyak menyita waktu dan menguras pemikiran kaum muslimin.
Ketika Muhammadiyah menyatakan diri sebagai sebuah gerakan pembaharuan, bakan menjadi mata rantai dari gerakan Pan Islami Muhammad Abduh, maka sudah pasti ia akan membawa manhaj salaf.
Akan tetapi para kader harus menyadari perbedaan antara salaf yang didengungkan Muhammad bin Abdul Wahab dengan yang diserukan Muhammad Abduh, yaitu rasionalitas, karena ia adalah syarat dari pencerahan dan kemajuan setiap bangsa.
Wallahu’alam bis Sowwab.
*Kandidat Master, Akidah Filsafat, Fak. Ulum Islamiyah, Univ. Al Azhar, Kairo.