Wacana formalisasi syariat Islam tidak pernah usai sejak NKRI lahir. Wacana ini diusung oleh gerakan Islam syariat yang berpaham Salafiyah Ideologis. Gerakan ini dilakukan oleh Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, dan kelompok-kelompok umat lainnya di sejumlah daerah.
Di tengah kelompok Islam arus utama seperti Muhammadiyah dan NU yang lentur dan kultural, gerakan Islam syariat menunjukan kegigihan dan militansi. Pertanyaannya mengapa gerakan ini menunjukkan militansi yang tinggi? Bagaimana gerakan ini bangkit mengalami reproduksi (cetak ulang)? Sejauh mana dinamikanya dalam kehidupan masyarakat Indonesia?
Dalam sebuah buku Islam Syariat: reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2013) karya Prof. Dr Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah diulas secara komprehesif tentang pandangan dunia, kontek kemunculan, dan pola reproduksi gerakan ini. Berikut ulasannya:
Pandangan Dunia: Islamisme
Gerakan Islam syariat menunjukkan militansi yang tinggi karena adanya system keyakinan atau pandangan dunia (worldview) yang serba syariat. Syariat ditempatkan sebagai ajaran utama yang penerapannya melalui pelembagaan secara formal dalam institusi negara atau pemerintahan, hingga pembentukan negara Islam (Khilafah). Karena pandangan dunia yang serba-syariat, maka gerakan Islam syariat tampil serbadoktriner dan serbakaku (rigid).
Logika mereka dibangun atas prinsip al-ahkam al-khamsah (lima prinsip hukum Islam), yakni wajib, haram, mubah, sunnah dan makruh. Dunia yang begitu kompleks dikonstruksi serbanormatif dan baku dalam system berfikir fikih abad pertengahan. Akibatnya melahirkan fanatisme: bahwa menegakkan syariat Islam secara formal termasuk dalam institusi negara adalah soal hidup dan mati sebagaimana perintah jihad dalam Islam.
Pandangan dunia ini semakin mengukuhkan militansi ketika bersenyawa dengan paham integralisme Islam yang menyakini Islam sebagai totalitas dalam klaim “Islam Kaffah”. Bagi kelompok Islam syariat, konsep “Kaffah” dala perintah Allah “masuklah ke dalam Islam secara kaffah”, dimaknai secara absolut. Kaffah dilekatkan dengan “syamil” (menyeluruh), maksudnya masuk Islam secara totalitas (h. 549).
Pandangan Islam Kaffah dalam pandangan kelompok Islam Syariat melahirkan kesatuan antara Islam, Syariat dan Negara dengan idiom al-Islam din, wa al-daulat wa al-syari’atsebagai doktrin kemenyeluruhan Islam (al-syumuliyat al-Islam) dalam kehidupan. Pandangan ini semakin membentuk militansi ketika bersenyawa dengan ideologyipolitik Islam (Islamiyah,Islamisme) yang menyatukan ajaran Islam dengan kekuasaan politik atau negara.
Pandangan Islam syariat dibangun dari doktrin pemahaman Alqur’an dan Sunnah secara tekstual, tidak bisa diubah. Keompok Islam syariat meyakini sepenuhnya tentang kesempurnaan Islam yang tidak memerlukan pemikiran lain: buatan manusia (h.554).
Pandangan yang serba-syariat, integralistik dan ideologis memiliki cita-cita sosial dari “Muslim Syariat”, “Masyarakat Syariat”, “Negeri Syariat”, hingga “Negara Syariat”. Formalisasi syariat dalam bentuk Khilafah sebagai system Islam dari Tuhan, kemudian dihadapkan dengan sistem buatan manusia yaitu demokrasi.
Konteks Gerakan
Gerakan Islam syariat secara kotekstual lahir dan berkembang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dinamika era reformasi. Pertama, fenomena siklus krisis. Kondisi ini ditandai kondisi umat Islam yang oleh kelompok Islam syariat dipandang berada dalam “sistem kufur” (tidak Islami) yang memerlukan pembebasan. Kemudian krisis global dan dunia Barat yang memusuhi serta mengancam umat Islam. Selain itu, juga krisis multidimensi dalam kehidupan nasional. Dalam situasi ini kelompok Islam syariat menawarkan syariat Islam sebagai system alternatif.
Kedua, fenomena gerakan “revitalisasi agama”. Dimana kondisi-kondisi yang mengharuskan agama untuk bangkit. Hal itu antara lain: kondisi infiltrasi budaya global serta politik yang mengancam umat Islam sebagai bentuk “demam” konflik antar-peradaban. Pada saat yang sama, di tingkat nasional terjadi transisi rezim dan krisis di Indonesia. Gerakan Islam syariat sebagaimana gerakan revitalisasi agama yang memiliki visi Milenari (Millennarian Vision) tampil untuk mengubah dunia yang dianggap “serbarusak” dan menganti dengan “sistem Islam berbasis syariat”.
Ketiga, fenomena konflik. Gerakan Islam syariat lahir dalam kondisi “ketegangan struktural” dan “ketegangan kultural”. Secara struktural merupakan bentuk perlawanan ideologi negara dan dunia internasional (Barat). Adapun dalam konteks Indonesia, ketegangan diwarnai konflik ideologis dalam mengisi reformasi sebagai bentuk arus balik pasca marjinalisasi Islam oleh Orde Baru. Dalam konteks kultural, menunjukkan semangat konflik dan persaingan dengan kelompok-kelompok lain yang membawa ideologi seperti Ateisme, Liberalisme-Kapitalisme, Komunisme, Sekulerisme, Zionisme, Salibisme, Singkretisme, Paganisme, dll.
Keempat, respons sektarian. Kondisi yang penuh ancaman bagi umat Islam memberikan legitimasi teologis, ideologis dan sosiologis terhadap gerakan Islam syariat muncul untuk “menyelamatkan keadaan”. Corak penyelamatan cenderung scriptural danmilitant, yakni: “menyelamatkan umat dari musuh-musuh Islam”. Sikap yang ditampilkan menunjukkan sektarian yang kuat, baik terhadap pihak luar maupun sesama umat Islam sendiri. Sikap sektarian semakin kuat dengan peneguhan “politik identitas”.
Kelima,fenomena marginalisasi sosial. Lahirnya gerakan Islam syariat merupakan bentuk ekspresi dari perasaan terampas hak-haknya. Keyakinan kelompok ini, bahwa “penghapusan tujuh kata” dalam Piagam Jakarta 1945 merupakan penghianatan kaum nasionalis-sekuler dan non-Islam minoritas. Gerakan yang lahir karena kekecewaan atau frustasi untuk mengubah tatanan sosial, termasuk mengubah nilai menuju tatanan baru dengan format syariat Islam sebagai pilihan.
Pola Reproduksi Salafiyah Ideologis
Dari fenomena gerakan Islam syariat tersebut, maka reproduksi gerakan salafiyah ideologis menampilkan pola islamisasi baru yang doktriner, tekstual dan formalistik. Formalisasi syariat melalui negara selalu muncul dan mengalami reproduksi dalam setiap perkembangan sejarah umat Islam di Indonesia. Haedar Nashir menunjukkan ada persambungan dan perubahan gerakan ini:
Pertama, aspek paham dan praktik keagamaan. Kehadiran gerakan Islam syariat merupakan cetak ulang Islam yang serbaharfiah (tekstual). Islam yang sederhana dalam memahami dan mempraktikkan ajaran Islam. Sebagaimana madzhab Hambali atau “ahl al-atsar” (ahl al-hadits) pada masa awal Islam.
Model paham ini dalam perkembangannya disebut dengan “madzhab Salafiyah”, sebuah aliran tertua yang tumbuh bersama Mu’tazilah, Maturudiyah, dan Asy’ariyah. Paham Islam Salafiyah ingin mengkonstruksi Islam masa kini, sama persis dengan Islam pada masa Nabi, generasi Sahabat, Tabiin, dan Tabiin-Tabiin (Salaf al-Shalih).
Kedua, Islamisasi ala syariat. Kelompok Islam syariat sebagaimana ditunjukkan oleh HTI, MMI dan KPPSI selalu merujuk pada Syaltut. Dimana ajaran Islam itu meliputi akidah dan syariat. Secara sadar kelompok ini mengambil dimensi syariat untuk diaktualisasikan sebagai “tuntunan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan”. Artinya kelompok ini ingin melakukan Islamisasi kehidupan melalui syariat. Islamisasi ala syariat ini mengikuti pola piker “Yuris Abad Pertengahan”, ketika Islam pasca-kejatuhan kekhilafahan Islam di Bagdad tahun 1258.
Islamisasi melalui jalur syariat ini memang memberikan kepastian bagi umat, terutama dalam situasi krisis. Islamisasi serba-syariat ini kemudian mengalami penyederhanaan menjadi “syariatisasi”. Akhirnya mengarah pada Islam ke arah format serba-legal, formal dan doktriner yang berorientasi pada struktur negara.
Ketiga, formalisasi syariat jalur struktural. Formalisasi jalur struktur ini merupakan cetak ulang dari perjuangan “Piagam Madinah” 1945. Kendati tahun 2000 perjuangan kelompok ini terulang kembali. Piagam Jakarta boleh gagal di tingkat “Negara Nasional”, tetapi tidak berarti mati atau berhenti berjuang di tingkat “Negara Provinsi” atau “Negara Daerah” seperti di Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam konteks ini, Piagam Jakarta mengalami metamorphosis menjadi gerakan penerapan syariat di sejumlah daerah di Indonesia. Keseluruhan proses legislasi syariat ditempuh dengan mengikuti jalur konstitusional yang demokratis dalam kerangka NKRI.
Keempat, membangun format ulang negara Islam. Khusus Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indinesia (MMI), keduanya mengusung agenda negara Khilafah. Namun keduanya ada sedikit berbeda dalam mengusung isu khilafah. HTI sangat menonjolkan isu negara Khilafah, bahkan mengusung kehilafahan dunia Islam, bersifat transnasional serta bukan negara bangsa.
Sedangkan MMI lebih fokus pada isu dan agenda penerapan syariat Islam dalam institusi negara. Tetapi ajakan membangun negara khilafah tidak diiringi dengan kejelasan format negara khilafah itu seperti apa. Akan tetapi baik HTI maupun MMI berpandangan sama bahwa negara khilafah itulah syariat Islam, selain itu negara sekuler dan sistem kufur (Barat).
Kelima,perjuangan politik atau politisasi Islam. Gerakan politisasi syariat Islam dalam negara secara mencolok dimulai pada era kebangkitan nasional. Tetapi memiliki akar kesejarahan dalam era kerajaan-kerajaan Islam masa silam. Islam sebagai wilayah politik (ad-Din wa ad-Daulat) tidak akan memiliki tempat di Indonesia yang bercorak negara bangsa yang sudah final dengan Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi (Negara Kesepakatan) dan Dar al-Syahadah (Negara Persaksian).
Dua Kecenderungan
Di era reformasi, formalisasi syariat Islam (Salafiyah) dalam tema penerapan syariat Islam setidaknya dengan dua kecenderungan. Pertama, dari aspek pelaku, muncul gerakan-gerakan pendatang baru seperti MMI, HTI, dan lembaga-lembaga Islam di sejumlah daerah. Organisasi-organisasi Islam yang baru tersebut secara terbuka dan terus-menerus mengusung penerapan syariat Islam, bahkan kadang berhadap-hadapan dengan kelompok Islam arus utama (Muhammadiyah dan NU).
Kedua, gerakan formalisasi syariat dari aspek substansi dan area perjuangan menampilkan pola yang nampak utopis dan idealis. Tetapi dalam wajah lain menujukkan sikap realitis dan pragmatis. Mereka mengambil diksi “Syariat Islam” untuk membangun “Sistem Islam” yang Kaffah, amun dalam praktiknya, nampak akomodatif. Hal ini bisa dilihat dalam retorika yang sering dikemukakan, yaitu tetap berada dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan republik Indonesia).
Gerakan-gerakan Islam seperti yang ditampilkan Islam syariat (Salafiyah) tampaknya akan terus hadir di Indonesia. Mereka terus melakukan reproduksi ideologi, maka mereka akan terus tampil dengan corak yang lama maupun yang baru.