Oleh: Yopi Kusmiati
Minggu yang lalu, Kamis 10 Oktober 2019 kita terhenyak dengan peristiwa penyerangan terhadap Menkopolhukam Wiranto di Menes Pandeglang Banten. Selain berupaya melakukan penusukan dengan senjata tajam kepada Wiranto, kedua pelaku pasangan suami istri itu juga menyerang beberapa korban. Di antaranya ialah Haji Fuad, seorang tokoh masyarakat, Komisaris Driyono Kepala Kepolisian Sektor Menes, dan Inspektur Jenderal Tomsi Tohir Kepala Kepolisian Daerah Banten.
Hingga kini, kasus ini masih ditangani oleh pihak berwajib. Dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Jumat 11 Oktober 2019, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia Birgadir Jenderal Dedi Prasetyo mengungkapkan motif pelaku penusukan di atas adalah karena takut ditangkap. Kedua pelaku merasa tertekan
“Organisasi dakwah harus menawarkan tiket surga bagi umatnya dengan cara-cara yang empatik dan simpatik”Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah |
ketika mengetahui beberapa nama dalam jaringan Jamaah Anshorut Daulah (JAD) Bekasi telah tertangkap. Dalam pengakuannya, pelaku menyebut bahwa tindakan penyerangan tersebut adalah sebuah amaliah. Keduanya siap mati syahid untuk melawan aparat keamanan.
Dari peristiwa ini, perlu menjadi kewaspadaan bersama. Bahwa salah paham terhadap ajaran-ajaran agama, ternyata masih tumbuh di tengah-tengah masyarakat kita. Agama Islam yang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi manusia dan alam semesta, masih belum sepenuhnya dipahami dengan baik oleh penganutnya. Imbasnya, upaya pembunuhan terhadap aparat negara yang sebenarnya sama-sama beragama Islam ternyata diyakini sebagai amaliah, jalan meraih mati syahid.
Padahal, Islam didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw dengan jalan damai. Bermartabat dan mengedepankan akhlak karimah. Bukan dengan cara kekerasan yang tidak berperikemanusiaan. Bukan dengan ujaran kebencian dan permusuhan. Demikian halnya, Islam masuk ke bumi Nusantara juga melalui jalan damai. Bukan dengan peperangan dan menghunus pedang. Jalur perdagangan, kebudayaan, pendidikan, dan pernikahan adalah beberapa contoh nyata dari
“Islam di Indonesia itu timbul dari basis kebudayaan. Jika itu dihilangkan, maka kemungkinannya ada dua, yaitu pertama, kebudayaan akan mati, kedua,Islam akan hancur” K.H. Abdurrahman Wahid (1940-2019) |
dakwah Islam. Dengan cara-cara beradab inilah, Islam dapat diterima luas oleh masyarakat Indonesia.
Larangan menyakiti orang lain
Salah satu ajaran Islam adalah membimbing pemeluknya untuk tidak berbuat buruk bagi sesama. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw, seorang muslim adalah mereka yang tidak merugikan orang lain, baik melalui perkataan maupun perbuatannya. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (194-256 H) ditegaskan bahwa ukuran kualitas keislaman seseorang dapat dilihat dari sikap dan perilakunya, yakni apakah ia mudah menyakiti sesama muslim dengan lisan dan tangannya atau tidak.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam riwayat:
Dari Shahabat Jabir ra, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lain merasa aman (tidak terganggu) dari lisan dan tangannya.” (H.R. al-Bukhari)
Lebih lanjut, Imam Badr al-Din al-‘Aini (885 H) dalam kitab ‘Umdah al-Qari, syarah dari kitab Shahih al-Bukhari menjelaskan bahwa hadis di atas memberi penegasan bahwa perilaku tidak menyakiti sesama muslim merupakan bagian integral dari keimanan seseorang. Dalam artian, kuat lemahnya iman di lubuk hati dapat dilihat dari apakah ia terbiasa menyakiti orang lain atau tidak, baik melalui perkataannya maupun melalui perbuatannya.
Dalam konteks kekinian, ajaran ini sangat relevan sekali untuk diteguhkan kembali, terlebih untuk mengikis sebaran kebencian dan tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Masyarakat muslim harus sadar dan dapat menahan diri untuk tidak terseret dalam arus sebaran kebencian dan radikalisme. Lebih dari itu, diharapkan juga mampu berperan aktif untuk memerangi maraknya radikalisme dan ekstremisme.
Seruncing dan serumit apapun perbedaan yang ada, harus diselesaikan secara beradab sebagaimana telah diajarkan oleh agama. Bukan malah sebaliknya. Perbedaan yang sudah menjadi sunnatullah harus dipahami sebagai titik pijak untuk saling mengenal dan saling menasehati. Bukan untuk saling mencaci dan mendengki. Bukan pula untuk saling menyerang dan memusnahkan.
Hal ini sebagaimana telah diwasiatkan oleh Nabi Muhammad saw dalam banyak redaksi hadis. Salah satunya ialah:
Dari shahabat Abi Hurairah ra, berkata Rasulullah saw: “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling memata-matai, dan saling bersaing dalam penawaran jual beli. Adalah kalian semua sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.”(H.R. Muslim)
Imam al-Nawawi (676 H) dalam kitab Syarh Muslim menyatakan bahwa hadis di atas tidak hanya sekedar melarang umat Islam untuk saling mendengki dan mencaci, tetapi juga melarang ragam tindakan yang dapat menyebabkan dan menyulut kedua perilaku buruk tersebut. Oleh karenanya, tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagian pihak yang mengatasnamakan agama tidaklah dapat dibenarkan. Penyerangan dan pembunuhan terhadap sesama saudara muslim adalah larangan agama.
Etika berdakwah
Mendakwahkan ajaran agama kepada orang lain adalah tindakan mulia. Namun perlu dipahami bahwa agama juga telah mengajarkan bagaimana etika berdakwah. Jangan sampai tujuan dan keinginan mulia menyebarkan pesan-pesan luhur agama berubah menjadi mala petaka bagi masyarakat. Oleh karenanya, tidak dapat dibenarkan jika dakwah dilakukan dengan cara menebar ujaran kebencian dan teror kekerasan. Ujaran saling membid’ahkan ataupun saling mengafirkan adalah salah satu hal yang secara tegas dilarang oleh Rasulullah saw.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam hadis shahih yang diriwatkan oleh Imam al-Bukhari (194-256 H) dalam kitab Shahih al-Bukhari:
Dari shahabat Ibni Umar ra. dari Nabi Muhammad saw. bersabda: “Barang siapa mengafirkan saudaranya, maka sungguh telah kafir salah satu di antara keduanya.”(H.R.al-Bukhari)
Dalam penjabarannya, imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (852 H) dalam kitab Fath al-Bari menyatakan bahwa hadis di atas oleh sebagian ulama dipahami sebagai bentuk larangan keras terhadap ujaran saling mengafirkan antar sesama muslim. Sebaliknya, Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya untuk berdakwah dengan menggunakan cara yang beradab dan bermartabat. Ajakan kepada jalan kebenaran harus dilakukan dengan hikmah dan nasihat.
Etika berdakwah ini, salah satunya dapat ditemukan dalam surat al-Nahl ayat 125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Q.S. al-Nahl: 125)
Sekali lagi, dari uraian ini, dapat dipahami bahwa sebaran ujian kebencian dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kalangan yang mengatasnamakan agama adalah tindakan yang akan merusak citra kemuliaan agama itu sendiri. Oleh karenanya, masyarakat dan generasi muda harus diajak untuk memahami hal ini.
Kita berharap masyarakat muslim Indonesia tidak mudah terpapar oleh pihak yang membajak agama. Sedari kita terus berdoa, semoga saudara-saudara kita yang terpapar ajaran agama yang penuh kekerasan segera sadar dan insaf. Kembali menjadi umat yang mendakwahkan Islam dengan penuh cinta damai. Sebagaimana dakwah yang telah dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. Dakwah yang penuh integritas, moralitas, dan akhlak karimah. Bukan dakwah dengan kekerasan dan kerusakan.
Semoga. Selanjutnya baca di https://muslimmudaindonesia.co.id/islam-tidak-menebar-kekerasan/
Format pd Buletin Media Muslim Indonesia: Edisi 65; Islam Menebar Perdamaian, Bukan Kekerasan