Bernegara dengan Baik
Sungguh menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa ketika kita menyadari bahwasannya kita hidup di Indonesia, di mana realitas kehidupan bernegara yang kita nikmati saat ini berada di tengah kemajemukan seperti suku, budaya, juga kepercayaan.
Bahkan, yang lebih nikmat lagi dan tidak dapat kita pungkiri bahwa realitas kehidupan yang majemuk tersebut dijamin keberadaanya oleh konstitusi negara kita yakni Pancasila. Melihat kondisi tersebut, agaknya kita patut berbangga sekaligus mensyukuri akan kenikmatan yang kita nikmati saat ini.
Bayangkan saja, kondisi-kondisi yang kita alami saat ini belum tentu dapat kita nikmati di negara lain, hidup di tengah kemajemukan yang dijamin keberadaanya oleh negara.
Meskipun begitu, hidup bernegara di tengah kemajemukan yang sekalipun dijamin keberadaannya oleh negara, tidak serta-merta membuat realitas kehidupan yang kita alami selalu berjalan ayem dan tentrem.
Realitas tersebut mungkin sering kita alami belakangan ini dengan marak terjadinya konflik horizontal antar masyarakat. Bahkan, tidak jarang pula konflik tersebut memicu ketegangan antar masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda.
Menanggapi realitas belakangan ini, kiranya kita perlu meneguhkan kembali sikap dan pandangan kita terhadap kehidupan bernegara, baik sebagai warga negara Indonesia maupun sebagai seorang muslim.
Sebagai warga negara Indonesia yang baik, sepertinya kita perlu untuk menggali kembali arti dari nilai-nilai Pancasila yang sudah tertimbun dalam di alam bawah sadar kita. Sedangkan sebagai seorang muslim, sudah semestinya kita menafsirkan kembali ajaran Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dalam kehidupan bernegara.
Dengan kata lain, kita perlu untuk memposisikan pandangan dan sikap dalam kehidupan bernegara sesuai dengan landasan Islam, yakni Al-Qur’an.
Islam Wasathiyyah dalam Bernegara
Sebagai seorang muslim, pemaknaan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin sudah sepatutnya kita munculkan kembali ke permukaan, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun kehidupan bernegara. Upaya pemaknaan ini juga dapat kita lakukan dengan cara memposisikan diri sebagai umat muslim tengahan atau ummatan wasathan.
“Dan demikian kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu mejadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatanmu” (Al-Baqarah: 143).
Memposisikan diri pada posisi jalan tengah atau yang biasa disebut wasathiyyah sebagai seorang muslim artinya kita memandang dan memaknai Islam sebagai agama yang merahmati seluruh aspek pada sendi-sendi kehidupan. Yang mana, kita berkeyakinan bahwa Al-Qur’an sebagai pedoman hidup menuntun kita untuk bertindak proposional baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat, dalam hubungan vertikal kepada Allah dan horizontal antar manusia (Nashir, 2000).
Pemaknaan melalui jalan tengah, cenderung membuat pemaknaan kita terhadap Islam sebagai ajaran yang menaungi seluruh aspek kehidupan menjadi lebih esensial dan komprehensif, terutama dalam konteks (sosial) bernegara.
“Sungguh, Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (Al-Hujurat: 13).
***
Dalam konteks hubungan bernegara yang termasuk di dalam koridor hubungan antar manusia atau habluminannas, sesungguhnya Allah telah menampilkan gambaran akan adanya keberagaman dalam kehidupan kita sehari-hari, bahkan pada potongan ayat tersebut secara jelas Allah juga menyampaikan bahwa hendaknya kita menjalin hubungan dalam keberagaman tersebut dengan baik.
Dengan adanya landasan tersebut, maka perwujudan nilai-nilai Islam dalam sikap dan perilaku kehidupan bernegara yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama, tolong menolong, saling menghormati, dan senantiasa menjunjung toleransi merupakan langkah yang ideal dan harus kita upayakan semaksimal mungkin selama tidak menyimpang dari jalur tauhid yang semestinya, sebagaimana Allah telah sampaikan “Untukmu Agamamu, Untukku Agamaku”.
Di sisi lain, upaya tersebut kiranya perlu diiringi dengan rasa tepo seliro atau tenggang rasa yang tinggi secara konsisten. Agar nantinya, perpaduan antara perilaku dan rasa tersebut dapat menghindarkan kita dari percikan-percikan konflik yang ada, terutama yang dipicu oleh sentimen-sentimen keberagaman.
Selain itu, perpaduan antara keduanya merupakan cerminan dari sifat seorang muslim yang sesungguhnya yang diidentikan dengan sikap lemah lembut dan cinta akan kedamaian.
Bernegara ala Islam Wasathiyyah: Alternatif di Tengah Huru-Hara Kehidupan
Pemaknaan Islam melalui Al-Qur’an sebagai landasan kehidupan bernegara sedikit banyak memberi gambaran sekaligus menentukan sikap konkrit bagi kita dalam mengarungi samudera kehidupan. Terkhusus dalam konteks kehidupan bernegara dalam rangka menjalani hubungan hablumminannas yang semestinya.
Implementasi kehidupan bernegara ala Islam wasathiyyah kiranya dapat menjadi alternatif bagi kita untuk menjalani kehidupan bernegara di tengah huru-hara kehidupan. Khususnya, dalam realita kehidupan masyarakat Indonesia saat ini di mana sentimen mengenai keberagaman seperti halnya isu radikalisme dan ekstremisme marak diperbincangkan.
Padahal sejatinya, perpaduan antara nilai Islam dalam konteks hubungan horizontal dan nilai Pancasila sebagai ideologi negara sebagai pedoman hidup bernegara merupakan kolaborasi yang luar biasa apabila disandingkan dengan realita kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan keberagaman di dalamnya.
Dan sudah semestinya, apabila hal tersebut kita upayakan dengan baik secara konsisten, niscaya dapat meredam percikan konflik akibat sentimen yang kerap terjadi belakangan ini. Semoga sedikit coretan ini dapat menjadi refleksi dan motivasi bagi kita semua kedepannya , Aaminnn.
Editor: Yahya FR