Tidak lama ini, saya baru saja mengkhatamkan sebuah buku yang menurut saya sangat menarik untuk dibaca. Sebuah buku berjudul Islam yang Menyenangkan, Etika Kemanusiaan Sebagai Puncak Keimanan dan Keislaman buah tangan Edi AH Iyubenu. Meskipun buku ini termasuk buku yang sudah terbit 2017 yang lalu, entah kenapa buku ini saya pikir masih sangat relevan dalam menyikapi fenomena keberagamaan dan isu-isu fundamental dewasa ini.
Saya rasa inilah sisi menarik dari sebuah buku, bahwa kualitas buku tidak boleh dilihat dan diukur kapan ia terbit, tapi seberapa jauh buku itu akan tetap relevan mengarungi zaman. Buku ini banyak mengulas tentang bagaimana menyikapi berbagai macam paham yang berkelindan, mulai persoalan ikhtilaf yang problematis hingga persoalan pemaknaan yang salah terhadap sebuah agama.
Agama, seperti yang kita pahami bersama adalah sebuah keyakinan yang mengedepankan kedamaian dan kebaikan. Selama masih menjadi sebuah agama, bisa dipastikan tidak ada satu pun agama yang tidak demikian. Bahkan yang termasuk paling sederhana semacam animisme, juga menuntun terhadap kebaikan dan kedamaian. Sehingga atas dasar inilah, segala bentuk atau praktik keburukan (kekerasan misalnya) adalah musuh semua agama di dunia.
Melalui definisi inilah, agama yang satu dengan yang lainnya mempunyai relasi yang akan selalu bergandeng tangan dalam usaha menemukan titik fokus dan tujuan yang sama berupa kebaikan dan kedamaian.
Relasi agama yang satu dengan yang lainnya dalam menemukan kebaikan dan kedamaian setidaknya bisa dilihat dari bagaimana tuntunan orientasi kebaikan dari masing-masing agama. Misalnya dalam ajaran agama Buddha yang mengajarkan semacam “meditasi kesunyian laut di dalam batin” sebagai bentuk atau jalan untuk menuju “Puncak Pencerahan”. Kemudian dalam ajaran agama Kristen yang terkenal mengenalkan pangkat “Santo” untuk menunjuk sosok yang suci.
Begitu pun dalam Islam itu sendiri, tuntunan dari orientasi pada kebaikan setidaknya telah terekam jelas dalam salah satu hadis Nabi Muhammad yang populer “Khoirun an-Naas Anfa’uhum Linnas” (Sebaik-baik manusia, adalah orang yang bisa memberi manfaat bagi orang lain).
Kesalahan Pemaknaan Agama
Tentu akan menjadi ironi bersama, ketika melihat konteks keberislaman sekarang. Berdalih atas nama agama seringkali dijadikan senjata utama untuk memenuhi kepentingan demi kepentingan. Kekerasan berbentuk wacana maupun fisik, dewasa ini banyak berseliweran dengan dilatarbelakangi distorsi tafsir tekstual yang liberal terhadap Al-Qur’an dan hadis.
Artinya, sekarang ini Islam sedang diuji oleh beragam paham menyimpang yang berkelindan, baik dalam ranah teologis, maupun sosiologis keberagamaan. Kekerasan wacana yang meliputi ujaran kebencian, juga kekerasan seperti bom bunuh diri yang dijadikan sebagai justifikasi klaim kebenaran (truth claim) dengan disponsori klaim keselamatan (salvation claim), menjadi dua hal dari banyaknya paham menyimpang yang berkelindan.
Dalam hal ini, menurut Edi akan menjadi sangat problematis dan destruktif ketika pembenaran tunggal yang dimiliki Tuhan Dzat Yang Maha Semau Gue (istilah Gus Mus)__ dirampas manusia, oleh siapa pun, atas nama apapun, termasuk pekik atau caption membela Tuhan.
Berawal dari semua itu, Edi berusaha menghidupkan kembali nalar kritis kita bahwa membela Tuhan tidaklah sama dengan memaksa orang lain sepaham dengan pandangan dan keyakinan kita. Apa yang diyakini sebagai ‘jalan kebenaran Tuhan’ semestinya selalu kita tempatkan hanya sebagai “satu jalan di antara ribuan jalan lainnya.”
Permasalahan Ikhtilaf Setamsil
Permasalahan lain dalam beragama adalah kepongahan. Seperti kepongahan Fir’aun yang mengaku Tuhan, bukanlah menjadi akhir dari kepongahan manusia yang sebenarnya. Hingga dewasa ini, ternyata masih banyak yang sering luput dari perhatian. Edi menyebutnya, kepongahan mengangkat diri sebagai “staf ahli Gusti Allah”.
Kepongahan ini bisa dilihat bagaimana permasalahan seputar tahlilan masih kerap menyeruak tak terbendung perbedaannya. Ada yang menyebutnya sunnah hingga haram atas dasar bid’ah. Keduanya mempunyai landasan dan argumen yang berangkat dan berdiri di atas kaki penafsiran berbeda. Sehingga pada akhirnya tidak ditemukan titik temu antara keduanya.
Seketika akan menjadi miris juga, ketika dari ikhtilaf ini justru menampilkan wajah yang sangat problematis. Bahkan tidak jarang menyeret umat Islam pada pertikaian sosial yang berkepanjangan.
Itulah kenyataannya, Islam kembali terlukai disebabkan ekspresi ikhtilaf setamsil. Hingga akhirnya, prinsip Islam yang jelas-jelas mengedepankan ukhuwah islamiyah menjadi terbebani.
Berangkat dari problem ikhtilaf ini, Edi berusaha memberikan solusi bijak dengan mengingatkan kembali bahwa hikayat perbedaan pendapat di antara umat Islam sebenarnya bukanlah hal kekinian. Pasca sepeninggal Rasulullah, para sahabat di Madinah berbeda pendapat tentang siapa yang pantas menjadi penerus pemimpin umat Islam.
Pada akhirnya, melalui pembentukan Ahlul Halli wal Aqdi, masalah itu dapat diselesaikan dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Terpilihnya Abu Bakar meski tak memuaskan semua pihak, tetap berhasil diselesaikan dengan baik berkat kuatnya sikap tawadhu’ di kalangan para sahabat.
Sebagai penutup dari penjelasannya itu, Edi melontarkan pertanyaan “Apa yang sejatinya sedang kita perjuangkan?” Jawabannya tidak ada. Karena pada intinya, kita sungguh tidak sedang membela agama, Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sama sekali tidak. Sebab, selalu dan selalu, Islam bermuara pada Puncak Cinta bernama akhlak karimah (Innama Bu’itstu Liutammima Makarimal Akhlaq).
Walhasil, dengan ini Islam menempatkan ihwal kemanusiaan sebagai puncak keimanan yang arif sebagai manifestasi konkret ketakwaan kepada Tuhan. Beragama Islam berarti menumbuhkan dan mengedepankan spirit kemanusiaan, bukan malah melakukan kekerasan kepada sesama atas dalih keagamaan. Wallahu A’lam.
Daftar Buku
Judul Buku : Islam yang Menyenangkan, Etika Kemanusiaan Sebagai Puncak Keimanan dan Keislaman
Penulis : Edi AH Iyubenu
Editor : Rusdiyanto
Penerbit : IRCiSoD
Tahun Terbit : 2017
ISBN : 978-602-391-277-3
Tebal Halaman : 224 halaman; 20 cm
Editor: Soleh