Pada dasarnya, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah reaksi dari para cendekiawan muslim. Karena mereka merasa khawatir terhadap ilmu-ilmu yang lahir di dunia Barat dapat mengancam kayakian umat muslim yang mempelajarinya.
Di samping itu, kita tahu bahwa dunia Barat sengaja memberi jurang pemisah antara agama dan dunia (sekularisasi). Lantaran trauma yang cukup mendalam atas agamanya.
Salah satu intelektual muslim yang gencar sekali menggagas Islamisasi ilmu pengetahuan adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Ia menilai bahwa ilmu pengetahuan yang dilahirkan di Barat tidaklah bebas nilai. Dalam artian, gagasan atau ide-ide yang tertuang ke dalam ilmu-ilmu tersebut telah terkontaminasi oleh kebudayaan serta peradaban mereka.
Awal Mula Kemunculan Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Awal mula munculnya gagasan Islamisasi ilmu pengtahuan yakni saat konferensi dunia pertama yang membahas tentang pendidikan muslim di Makkah yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University pada tahun 1997 Masehi.
Yang pertama kali melontarkan ide islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah Ismail Raji Al-Faruqi dan Muhammad Naquib Al-Attas. Mereka berdua saling beranggapan dan saling berpendapat menurut pandangannya masing-masing.
Dalam hal ini, Al-Faruqi dan Al-Attas sama-sama memandang bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam adalah ilmu pengetahuan yang ada di Barat telah merasuk dan menyebar ke dunia Islam.
Dan sasarannya adalah sistem pendidikan Islam, yang menurut Al-Faruqi akan mencetak sebuah karikatur Barat. Yang mana, sains Barat telah terlepas dari nilai dan harkat manusia dan nilai spiritual dan harkat dengan Tuhan
Menurut kacamata Al-Faruqi, pendekatan yang seharusnya diterapkan adalah dengan cara menuangkan kembali seluruh khazanah sains Barat dalam kerangka atau ketubuhan Islam.
Konsep Islamisasi Al-Attas
Lain lagi kacamata Al-Attas, yang mememulai konsep Islamisasinya dengan membersihkan dahulu ilmu-ilmu tersebut dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kemudian, merumuskan kembali dengan disisipi unsur-unsur esensial dalam Islam. Sehingga, dapat menghasilkan komposisi yang merangkum pengetahuan inti.
Secara umum, Islamisasi ilmu pengetahuan berarti pembaiatan ilmu-ilmu yang kafir menjadi ilmu-ilmu yang Islam. Dengan kata lain, Islamisasi berarti penyucian kembali ilmu-ilmu pengetahuan yang jauh dari agama dan bebas nilai, menjadi ilmu-ilmu yang bernuansa agamis serta bernilai positif.
Sehingga, ilmu-ilmu yang di produksi di Barat dapat dikonsumsi dengan sehat dan tidak menyesatkan akal pikiran umat Islam. Dengan begitu, ilmu-ilmu tersebut akan bercorakkan nilai-nilai keislaman yang berdasarkan keimanan dan kemaslahatan umat manusia.
Biografi Al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas di lahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah Sayyid dalam keluarga Ba’lawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai kepada imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Di antara leluhurnya ada yang menjadi wali dan ulama. Salah seorang di antara mereka adalah Syed Muhammad Al-Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani Syed Abu Hafs, Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-Din Al-Raniri, salah seorang alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyah.
Ibunda Syed Muhammad Naquib Al-Attas yaitu Syarifah Raquan Al-Ayadrus, berasal dari Bogor Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura (Abdul Ghoni, 2017).
Melalui pandangan filosofisnya, Al-Attas telah berhasil mendiagnosa penyebab kemunduran umat Islam. Menurutnya, Islam mundur bukan karena sistem ekonomi, politik, atau yang lainnya.
Akan tetapi, ada suatu persoalan yang fundamental. Yakni, kehancuran pada tingkat metafisisnya, yang mana umat Islam telah mengalami corruption of knowledge (korupsi ilmu pengetahuan). Keadaan inilah yang menjadi sebab terjadinya kemerosotan nilai adab umat Islam.
Upaya yang dilakukan Al-Attas ini sebenarnya adalah gerak estafet dari apa yang telah dilakukan oleh Al-Ghazali dalam konsep “ihya ulum ad-din”, yang berupaya memulihkan kembali nilai adab umat Islam.
Islamisasi Melawan Sekularisme
Dan Al-Attas sendiri, berupaya mereaktualisasikan konsep tersebut pada zaman yang telah modern. Yang tak lain demi menghadapi unsur-unsur negatif dan sekularis yang ikut terbawa oleh khazanah ilmu pengetahuan dari Barat yang menyebar secara cepat.
Menanggapi hal tersebut, Al-Attas di sini mencoba mendefinisikan ilmu sebagai sebuah makna yang datang kedalam jiwa bersamaan dengan datangnya jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri.
Dengan kata lain, hadirnya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber pengetahuan. Sedangkan hadirnya jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai penafsirnya.
Sementara itu, proyek Islamisasi ilmu bukan khazanah sains modern-kontemporer. Sebab masa-masa itulah yang dianggap telah mengalami sekularisasi, yang mana telah ditemukan dan dikembangkan oleh peradaban Barat.
Sudah barang tentu tidaklah benar jika dikatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada di Barat telah dijamin keuniversalannya dan bebas nilai. Syed Naquib Al-Attas mengatakan, “Ilmu tidak bersifat netral. Ia bisa disusupi oleh sifat dan kandungan yang menyerupai ilmu”.
Al-Attas telah menjelaskan secara gamblang bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan, ialah pembebasan akal dan bahasa manusia dari magis, mitologis, animisme, nasionalisme buta, dan penguasaan sekularisme.
Ini bermakna bahwa umat Islam semestinya memiliki akal dan bahasa yang terbebas dari pengaruh magis, mitos, animisme, nasionalisme buta, dan sekularisme.
Islamisasi Proses Pengembalian kepada Fitrah
Islamisasi juga membebaskan manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang cenderung menzhalimi dirinya sendiri. Karena sifat jasmani adalah cenderung lalai terhadap hakikat dan asal muasal manusia. Dengan demikian, Islamisasi tidak lain adalah proses pengembalian kepada fitrah.
Tujuan Islamisasi menurut Al-Attas adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar dan dengan demikian menyesatkan. Sebaliknya, dengan ilmu seorang muslim diharapkan akan semakin bertambah keimanannya. Demikian pula, Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, dan keadilan bagi umat manusia.
Al-Attas juga menjelaskan bahwa kemerosotan ilmu pengetahuan Islam terutama sekali berhubungan dengan epistemologi. Problem umat Islam muncul ketika sains modern diterima di negara-negara Muslim modern, di saat kesadaran epistemologis Muslim amat lemah.
Padahal epistemologi sains modern berpijak pada landasan pemisahan agama dalam ilmu pengetahuan. Sementara epistemologi Islam tidaklah berangkat dari keraguan sebagaimana sains modern barat, melainkan berangkat dari keyakinan akan adanya kebenaran itu sendiri.
Kebenaran yang secara inheren telah terkandung dalam Al-Qur’an sebagai petunjuk Tuhan. Bagi Al-Attas sendiri, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program Islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan masalah epistimologi ilmu pengetahuan.
Wallahu A’lam Bishawab.
Editor: Rozy