Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa Islam merupakan agama yang menakutkan. Ada banyak alasan terkait citra Islam seperti itu sebagaimana yang banyak disiarkan oleh TV maupun media mainstream pada beberapa tahun terakhir. Hal tersebut memang cukup beralasan, misalkan Maurice Bejart, seorang kareografer terkenal dan muallaf, ketika ditanya oleh wartawan Prancis, “Apakah ia tidak malu memiliki agama yang untuk memperkenalkan namanya telah menumpahkan banyak darah?”.
Artis ini pun menjawab, “Kenapa? Saya memiliki visi dunia, kepada sebuah etnik dan tidak bermain dalam kekuasaan”. Di lain cerita, seorang orientalis yang terkenal yang telah mencurahkaan kehidupannya agar kebudayaan Islam bisa dipahami oleh publik Eropa menceritakan kekecewaannya.
“Jangan berbicara lagi tentang Islam kepada saya. Dalam Islam, saya menyaksikan tragedi terjadi setiap hari. Setiap kali saya menjelaskan kepada mahasiswa tentang manfaat sisi humanitas agama ini, penjelasan saya mengesankan omong kosong”.
Kisah di atas memang cukup menarik perhatian baik di kalangan muslim maupun non muslim. Akan tetapi, berita tentang buruknya Islam tidak sampai disitu saja, karena juga banyak buku yang membahas terkait Revolusi Islam Iran di Timur Tengah.
Maka dalam hal ini, penting untuk melampaui peristiwa-peristiwa dengan suatu pandangan untuk menemukan mekanisme pemikiran dan tindakan yang menentukan hubungan antara individu dan masyarakatnya. Baik itu antara penguasa dengan rakyatnya, antara mereka yang ingkar dan kekuasaan serta apa yang mengantarkan kemajuan dan bencana di negara-negara ini.
Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Islam memang menakut-nakuti dunia? Ataukah memang seperti ini?
Islamisme: Antara Ketakukan dan Harapan?
Buku Islam: Biang Ketakutan Atau Tumpuan Harapan? ini merupakan laporan peritiwa-peristiwa aktual dan juga merupakan esai. Islam adalah subjeknya, sementara Islamisme adalah ketetapannya. Islamisme digunakan dalam pengertian khasnya tentang sebuah tindakan yang dihasilkan oleh militan muslim, sehingga konsep agama mereka menembus sampai pada negara dan masyarakatnya. Lebih disukai untuk menggunakan kata revivalisme atau fundamentalisme yang tidak mencakup semua konteks yang bisa dimilikinya.
Perdebatan yang diusung keduanya bukan sesuatu yang baru, hanya kondisi aksinya saja pada situasi saat sekarang. Bagi umat Islam, ini merupkan persoalan penting tentang nasib keyakinan yang umurnya sudah empat belas abad dan mrupakan masa depan jutaan umat manusia. Maka, untuk memahami ini perlu pengkajian historis sistematik.
Dengan manipulasi sejarah yang dilakukan oleh kelompok Islamis saat ini, opini publik Internasional menunjukkan fiksasi yang pasti kepada Ayatullah Khomeini. Dengan menyadari bahwa patriarki Iran dalam analisis terakhir hanya menawarkan praktisnya sebagai sebuah tema meditasi kelompok militan di negara-negara Islam lain.
Sebenarnya, orang-orang militan ini lebih dipengaruhi oleh ide-ide Maududi dari Pakistan dan Sayyid Qutb dari Mesir. Jika pada suatu waktu Islamisme menang di kawasan dunia yang lain, itu bukan kemenangan Khumainisme, tetapi lebih dikarenakan teori kedua pemikir tadi yang telah dikenal di hampir seluruh dunia Islam.
Rekonstruksi Tatanan Spiritual
Buku yang ditulis oleh mantan menteri Kebudayaan dan Informasi Tunisia ini, berkesimpulan bahwa munculnya agama kelompok Islamis telah mendatangkan serangan kepada nilai-nilai moral tradisional Islam. Namun, meskipun hal ini benar, Islamisme telah menunjukkan aspek yang paling radikalnya kepada dunia. Keyakinan Islamisme untuk merepresentasikan dalam bentuknya yang paling asli yang diklaim oleh kelompok radikal itu tidak perlu melahirkan ketakutan.
Boularies menyarankan, bahwa dalam agama apapun tidak perlu dipusingkan dengan agama politik. Jika seperti agama besar yang lain, Islam adalah fundamentalis dengan pengertian doktrinnya yang telah mengacu pada kebenaran abadi, yang wahyunya mengarahkan pembentukan kebudayaan moral yang agung. Maka, Islamisme mengekspos sisi keyakinan yang lebih gelap, dimana manusia menghancurkan kebenaran untuk membentuknya menjadi bermanfaat.
Karena Islamisme adalah kebenaran yang dipolitisir, ia mengembangbiakkan militansi bodoh; komentar agama popular telah mengembangkan loyalitas buta para pengikutnya; menyalakan api semangat mereka dan mengantarkannya ke arah yang bertabarakan dengan otoritas sekuler. Kelompok Islamis baru ini menentang moralisme rigid, dangkal, dan konsep tradisional yang baru lahir dari rahim komunitas orang-orang beriman.
Maka, bisa dikatakan bahwa buku ini tidak hanya sebuah analisis, tetapi juga sebuah harapan. Dengan bahasa yang jelas dan lugas Boularies juga menganalisa pandangan dunia kelompok Islamis dan men-demistifikasi misi kelompok Islamis dengan argumentasi yang cukup rasional.
Penegasan Nilai Sejarah Konstruksi Islam
Ia mengekspos konsep pelaksanaan perang suci mereka yang problematis. Ia memperingatkan bahwa ketika kelompok Islamis menunjukkan tingkah lakunya sebagai yang benar dan tepat. Maka, itu berarti mereka telah melumpuhkan kekuatan keyakinan yang sudah lebih dari satu milenium telah mengikat umat Islam dalam masyarakat global yang fleksibel.
Ia menegaskan dengan penuh semangat bahwa kesetiaan kepada negara teritorial, suatu konsep yang secara langsung mereka perangi. Tidak perlu bertolak belakang dengan persyaratan loyalitas transendental Islam kepada komunitas agama yang lebih besar. Dalam hal ini penulis melihat bahwa Islamisme sebagai penangkal dalam menegaskan kembali nilai-nilai sejarah konstruksi Islam.
Esai-esai dalam buku ini mengajak kepada kontinuitas pemahaman orang-orang beriman dengan masa lalunya. Karena ketiadaan kontinuitas itu telah melupakan kredo humanistik dan manusiawi, umat Islam disarankan untuk merekonstruksi tatanan spiritual baru yang relevan dengan dunia modern dan dunia yang akan datang.
Islam saat ini mampu untuk mengintegrasikan umat manusia dengan alam semesta sebagaimana yang terjadi pada masa silam. Dalam Islam “keputusan dikutuk” dan “harapan diagungkan”, merupakan pesan sejati Nabi dan inilah pesan Habib Boularies yang ditegaskan kembali dalam setiap halaman volume ini.
Karena spirit Islam untuk mengalahkan distorsi Islamisme, maka setiap muslim mesti memikul tanggung jawab personal demi pembaharuan dan regenerasi moral, sosial, ekonomi, dan politiknya.
Editor: Nirwansyah/Nabhan